Gelombang PHK dan Deindustrialisasi Parah Ancam Industri TPT RI: Alarm Merah untuk Ekonomi Nasional

Dipublikasikan 11 Juli 2025 oleh admin
Finance

Bayangkan jika tiba-tiba jutaan pekerjaan di sektor padat karya hilang, pabrik-pabrik gulung tikar, dan ekonomi nasional terancam. Ini bukan sekadar skenario fiksi, melainkan ancaman nyata yang kini membayangi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia. Dari gempuran kebijakan dagang internasional hingga serbuan produk impor murah, industri yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian dan penyerap tenaga kerja besar ini berada di ujung tanduk.

Gelombang PHK dan Deindustrialisasi Parah Ancam Industri TPT RI: Alarm Merah untuk Ekonomi Nasional

Ilustrasi untuk artikel tentang Gelombang PHK dan Deindustrialisasi Parah Ancam Industri TPT RI: Alarm Merah untuk Ekonomi Nasional

Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa gelombang PHK dan deindustrialisasi parah menjadi momok bagi industri TPT kita, faktor-faktor di baliknya, serta langkah-langkah yang bisa diambil untuk menyelamatkan nasib jutaan pekerja dan keberlangsungan industri ini. Mari kita selami lebih dalam krisis yang sedang terjadi.

Ancaman Nyata: Tarif Trump dan Geopolitik Global

Kondisi ekonomi global yang tidak menentu memang selalu membawa tantangan. Namun, bagi industri TPT Indonesia, ada satu ancaman besar yang datang dari kebijakan dagang salah satu negara adidaya.

Tarif ‘Monster’ 32% dari AS

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, berencana memberlakukan tarif impor tambahan sebesar 32% untuk semua produk asal Indonesia yang masuk ke AS, mulai 1 Agustus 2025. Kebijakan ini, yang telah disampaikan melalui surat kepada Presiden Prabowo Subianto, menjadi pukulan telak. Mengapa? Karena AS adalah pasar ekspor utama bagi TPT Indonesia, menyumbang sekitar 40% dari total ekspor kita.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, mengungkapkan kekhawatiran besar. Jika tarif ini benar diterapkan, biaya produk Indonesia akan semakin mahal, membuat kita kalah bersaing. Alhasil, pemesanan akan berkurang drastis, memaksa perusahaan untuk mengurangi kapasitas produksi, dan ujungnya, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) tak terhindarkan.

Gejolak Global dan Rantai Pasok

Dampak kebijakan tarif ini tidak hanya mengguncang sektor tekstil Indonesia, tapi juga mengganggu ekosistem rantai pasok global. Direktur Eksekutif API, Danang Girindrawardana, menyebut kebijakan ini muncul di tengah ketegangan geopolitik dan rivalitas dagang antara AS dan blok negara-negara BRICS yang kian tajam.

“Supply chain global ekonomi akan bergeser dan perseteruan ekonomi AS dengan BRICS akan meruncing. Polarisasi terjadi,” ujar Danang. Ini berarti, Indonesia harus segera beradaptasi, mencari pasar baru, dan memperkuat pasar domestik untuk bertahan.

Badai Impor dan Kebijakan Dalam Negeri

Selain ancaman eksternal, industri TPT juga menghadapi tekanan dari dalam negeri, terutama terkait arus barang impor dan regulasi yang ada.

Banjir Produk Impor Murah Merusak Pasar Lokal

Salah satu biang keladi utama krisis TPT adalah serbuan produk tekstil impor murah, terutama dari China, yang mengalir deras ke pasar domestik. Produk-produk ini seringkali dijual dengan harga yang jauh lebih rendah, membuat produk lokal sulit bersaing.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, bahkan memperingatkan bahwa industri TPT nasional mengalami deindustrialisasi yang parah. Banyak pabrik kini beroperasi hanya pada kapasitas 45-70%. “Jika dibiarkan, industri TPT di Indonesia bisa punah, meninggalkan hanya konsumen tanpa produsen,” katanya.

Nailul Huda dari Center of Economic and Law Studies (Celios) menambahkan, fenomena ini mirip “sejarah runtuhnya batik Indonesia di tahun 1990-an gegara batik print dari China.” Ditambah lagi, ada isu impor ilegal yang semakin menggerus pasar domestik.

Polemik Permendag 8/2024

Kondisi ini diperparah dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Regulasi ini, yang seharusnya menyederhanakan perizinan impor, justru dituding mempermudah masuknya barang impor, termasuk pakaian jadi, alas kaki, dan tas, dengan menghapus syarat pertimbangan teknis (pertek) dari Kementerian Perindustrian.

Plt Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Reny Yanita, mengungkapkan bahwa Permendag ini berdampak signifikan pada utilitas industri TPT yang merosot hingga 70%. “Pasar IKM dan konveksi hilang, berimbas ke industri hulunya (kain dan benang). Hilangnya harapan berusaha dan ketidakpastian bisnis mempercepat penutupan pabrik,” ujar Reny.

Dampak Domino: PHK Massal dan Deindustrialisasi

Kombinasi faktor eksternal dan internal ini menciptakan efek domino yang mengerikan, berujung pada hilangnya lapangan kerja dan kemunduran industri.

Angka PHK yang Mengkhawatirkan

Sejak awal tahun 2024, gelombang PHK terus menerjang industri TPT. Data dari berbagai sumber menunjukkan skala masalah ini:

  • Lebih dari 15.000 pekerja kehilangan pekerjaan sejak awal 2024 (Kementerian Perindustrian).
  • Sekitar 250.000 karyawan terkena PHK dalam dua tahun terakhir (APSyFI).
  • 45.000 karyawan dirumahkan sepanjang tahun 2022 akibat penurunan permintaan ekspor (API).
  • 11.000 pekerja di-PHK akibat Permendag 8/2024 (Kemenperin).

Beberapa perusahaan besar yang terdampak termasuk:

  • PT Sri Rejeki Isman (Sritex): Pailit dan merumahkan puluhan ribu pekerja (Februari 2025).
  • PT Bitratex Semarang, PT Primayuda Boyolali, PT Sinar Panja Jaya Semarang: PHK massal.
  • Dua pabrik sepatu di Tangerang, PT Adis Dimension Footwear (1.500 karyawan) dan PT Victory Ching Luh (2.000 karyawan), juga melakukan PHK massal.
  • Sebanyak 60 perusahaan tekstil telah bangkrut atau melakukan PHK massal antara 2022-2024. Beberapa di antaranya: PT Dupantex, PT Alenatex, PT Kusumahadi Santosa, PT Sai Apparel, dan lainnya.

Ekonom Achmad Nur Hidayat memperingatkan, “Peningkatan angka pengangguran dan menurunnya daya beli masyarakat bisa menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi dalam jangka menengah.”

Deindustrialisasi: Hilangnya Kemampuan Produksi

Deindustrialisasi adalah kondisi di mana kontribusi sektor industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menurun secara signifikan. Redma Gita Wirawasta (APSyFI) menyebut industri TPT sudah mengalami deindustrialisasi selama 10 tahun terakhir.

Jika pabrik-pabrik TPT terus tutup, ini bukan hanya masalah bagi para pekerja, tetapi juga berdampak pada sektor-sektor terkait seperti industri petrokimia, produksi bahan baku tekstil (PTA), bahkan konsumsi listrik dan logistik. Indonesia berisiko kehilangan kemampuan produksinya sendiri, hanya menjadi pasar bagi produk impor.

Langkah Penyelamatan: Apa yang Bisa Dilakukan?

Krisis ini membutuhkan respons cepat dan terkoordinasi dari berbagai pihak. Ada harapan, namun juga pekerjaan rumah besar.

Peran Pemerintah dan Harapan Pengusaha

Pengusaha menaruh harapan besar pada tim negosiasi pemerintah Indonesia, yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, untuk mendapatkan hasil terbaik dalam negosiasi tarif dengan AS.

Selain itu, Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdhani, dan Ekonom Indef, Esther Sri Astuti, menyarankan beberapa langkah konkret:

  • Pemberian insentif fiskal dan moneter: Seperti penangguhan pembayaran pajak, subsidi bunga, dan kredit murah bagi industri padat karya. Suku bunga untuk industri padat karya bisa disamakan dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
  • Penghapusan biaya perizinan perusahaan: Mengurangi beban biaya operasional.
  • Minimalisasi biaya energi dan logistik: Biaya energi dan logistik Indonesia dinilai masih terlalu tinggi dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.
  • Penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Seperti penghapusan PPN bahan baku pembantu dan PPN untuk Kawasan Berikat.
  • Proteksi pasar domestik: Melindungi dari serbuan barang impor ilegal dan memberlakukan kebijakan yang lebih ketat, seperti Domestic Utilization Obligation Policy.
  • Mendorong pemberdayaan UMKM: Sektor UMKM memiliki kontribusi besar dalam penciptaan lapangan kerja.

Perkuat Pasar Domestik dan Efisiensi

Penguatan pasar domestik adalah prioritas utama untuk meminimalkan dampak PHK. Selain itu, Indonesia juga perlu secepat-cepatnya membuka pasar baru dan terus mendorong efisiensi produksi, termasuk melalui otomatisasi, agar tetap kompetitif di kancah global.

Kesimpulan

Gelombang PHK dan deindustrialisasi yang mengancam industri TPT adalah alarm merah bagi perekonomian Indonesia. Ini adalah hasil dari kombinasi kompleks antara kebijakan dagang global seperti tarif Trump, serbuan produk impor murah, dan regulasi domestik yang kurang mendukung. Dampaknya sangat nyata: hilangnya jutaan pekerjaan, penurunan daya beli, dan potensi kemunduran industri.

Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Dengan langkah-langkah strategis dari pemerintah, dukungan bagi pengusaha, serta penguatan pasar domestik, kita bisa menghadapi badai ini. Masa depan industri tekstil dan produk tekstil Indonesia, serta nasib para pekerjanya, sangat bergantung pada sinergi dan kebijakan yang tepat dan cepat. Mari kita berharap yang terbaik dan terus mendukung upaya penyelamatan industri penting ini.