Gantian Irak Diserang Drone Tak Dikenal Hantam: Menguak Pola dan Aktor di Balik Misteri Langit Irak

Dipublikasikan 24 Juni 2025 oleh admin
Berita Dunia

Fenomena gantian Irak diserang drone tak dikenal hantam telah menjadi sorotan utama dalam dinamika geopolitik Timur Tengah yang bergejolak. Berulang kali, pangkalan militer dan fasilitas penting di Irak menjadi sasaran serangan pesawat nirawak (drone) yang sering kali dilabeli “tak dikenal,” namun selalu memicu spekulasi tentang aktor di baliknya. Kejadian ini bukan sekadar insiden sporadis, melainkan sebuah pola yang mengindikasikan pergeseran taktik konflik dan kompleksitas lanskap keamanan di negara tersebut. Artikel ini akan mengupas tuntas fenomena ini, menyelami siapa saja yang mungkin berada di balik serangan, mengapa drone menjadi senjata pilihan, serta implikasi yang lebih luas bagi Irak dan stabilitas regional.

Gelombang Serangan Drone: Sebuah Pola yang Berulang

Irak, sebuah negara yang masih berjuang untuk pulih dari dekade konflik dan ketidakstabilan, kembali dihadapkan pada ancaman baru dari langit. Berbagai laporan mengkonfirmasi serangkaian serangan drone yang menargetkan pangkalan militer vital. Salah satu insiden yang mencuat adalah serangan terhadap Pangkalan Militer Taji, di utara Baghdad, yang menampung pasukan koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat (AS). Meskipun dilaporkan tidak ada korban jiwa dalam serangan pada Juni 2025 itu, insiden tersebut menegaskan kerentanan fasilitas militer Irak terhadap serangan udara tak berawak.

Pangkalan Taji sendiri memiliki sejarah panjang sebagai target. Pada tahun 2020, pasukan koalisi internasional pimpinan AS telah menarik diri dari pangkalan tersebut dan menyerahkannya sepenuhnya kepada pasukan keamanan Irak. Namun, sebelum penarikan itu, Taji sering menjadi lokasi serangan roket oleh milisi yang didukung Iran yang menargetkan pasukan pimpinan AS. Pola serangan ini seolah berlanjut, meskipun dengan metode yang berbeda.

Tak hanya Taji, pangkalan lain seperti Al-Harir di wilayah Kurdistan Irak juga menjadi sasaran. Pada Juli 2021, sebuah sistem udara tak berawak menghantam pangkalan di Al-Harir, sekitar 70 kilometer timur laut Arbil, ibu kota wilayah otonomi Kurdistan. Serangan ini terjadi menjelang pertemuan penting antara Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhemi dengan Presiden AS Joe Biden, yang berencana membahas kemungkinan penarikan penuh pasukan AS dari Irak. Insiden-insiden ini, yang sering kali tidak menimbulkan korban jiwa, tampaknya lebih bertujuan sebagai pesan politik atau unjuk kekuatan daripada upaya penghancuran masif.

Pada Oktober 2023, gelombang serangan serupa kembali terjadi. Pangkalan udara di Irak yang menampung pasukan AS kembali menjadi sasaran drone. Meskipun Pentagon pada awalnya tidak dapat mengkonfirmasi serangan tersebut, Irak membenarkan adanya insiden yang melibatkan dua drone bunuh diri, di mana satu berhasil dicegat dan satu lagi jatuh karena masalah teknis. Pangkalan-pangkalan yang menjadi target termasuk Ain al-Assad, Al-Harir, dan kamp militer dekat bandara Baghdad. Konsistensi target dan modus operandi ini menunjukkan adanya pola yang terorganisir di balik insiden-insiden tersebut.

Siapa di Balik Serangan? Mengurai Jaringan Aktor dan Motif

Meskipun serangan-serangan ini sering kali dikaitkan dengan aktor “tak dikenal”, tuduhan umum selalu mengarah pada kelompok-kelompok bersenjata tertentu dengan motif yang jelas.

Milisi Pro-Iran: Jari yang Sering Ditunjuk

Mayoritas serangan drone dan roket di Irak yang menargetkan kepentingan AS dan koalisi internasional ditudingkan kepada kelompok-kelompok milisi pro-Iran. Faksi-faksi ini, yang sering menyebut diri mereka sebagai bagian dari “Poros Perlawanan” (Axis of Resistance) di bawah pengaruh Iran, memiliki agenda utama: mendesak penarikan penuh pasukan AS dari Irak.

  • Tuntutan Penarikan Pasukan AS: Kelompok-kelompok seperti Brigade Hizbullah secara terbuka menuntut agar pasukan AS “meninggalkan” Irak, mengancam akan “merasakan api neraka” jika tidak mematuhi. Mereka menganggap kehadiran pasukan AS sebagai bentuk “pendudukan” yang harus diakhiri.
  • Reaksi Terhadap Konflik Regional: Serangan drone ini sering kali meningkat intensitasnya seiring dengan eskalasi konflik di wilayah yang lebih luas, terutama setelah pecahnya perang Israel-Hamas. Kelompok-kelompok bersenjata pro-Iran di Irak secara eksplisit menyatakan dukungan mereka terhadap Palestina dan Lebanon, serta mengancam kepentingan AS sebagai respons atas dukungan Washington terhadap Israel. Misalnya, “Perlawanan Islam di Irak” mengklaim bertanggung jawab atas serangan pada Oktober 2023, menegaskan operasi mereka akan terus berlanjut.
  • Koneksi ke Jaringan Regional: Serangan drone yang dilancarkan dari Irak tidak hanya terbatas pada target di Irak sendiri. Ada laporan mengenai “Perlawanan Islam Irak” yang meluncurkan drone ke target vital Zionis di Eilat, selatan Palestina yang diduduki, pada September 2024. Ini menunjukkan koordinasi dan kemampuan untuk menyerang target lintas batas, sebagai bagian dari strategi regional yang lebih besar yang melibatkan Iran, Houthi di Yaman, dan Hizbullah di Lebanon.

Peran Pasukan Asing dan Koalisi Internasional

Kehadiran pasukan AS di Irak merupakan salah satu pemicu utama ketegangan. AS saat ini memiliki sekitar 2.500 tentara yang ditempatkan di tiga pangkalan utama di Irak, sebagai bagian dari koalisi internasional yang dibentuk pada tahun 2014 untuk memerangi kelompok ISIS. Meskipun jumlah ini telah berkurang dari sekitar 3.500 anggota koalisi sebelumnya, pasukan yang tersisa secara resmi digolongkan sebagai penasihat dan pelatih untuk tentara Irak dan unit kontra-terorisme.

Peran ini, meskipun diklaim sebagai non-tempur langsung, tetap menjadi titik gesekan dengan faksi-faksi pro-Iran yang melihatnya sebagai pelanggaran kedaulatan. Diskusi tentang penarikan pasukan AS, seperti yang dijadwalkan antara Biden dan al-Kadhemi, adalah upaya untuk meredakan ketegangan ini, namun serangan drone menunjukkan adanya kelompok yang tidak sabar atau tidak percaya pada jalur diplomatik.

Ancaman Lain dan Kompleksitas Keamanan Irak

Selain milisi pro-Iran, lanskap keamanan Irak juga diperumit oleh ancaman berkelanjutan dari kelompok teror seperti ISIS. Meskipun tidak ada sumber yang secara langsung mengaitkan ISIS dengan serangan drone terbaru yang menargetkan pangkalan militer koalisi, ISIS tetap menjadi ancaman asimetris yang signifikan. Pasukan keamanan Irak, dibantu oleh koalisi, terus memerangi sisa-sisa ISIS, yang dilaporkan telah kehilangan banyak wilayah di Irak dan Suriah. Namun, fokus utama serangan drone “tak dikenal” ini jelas tertuju pada kepentingan AS dan koalisi, mengindikasikan motivasi yang berbeda dari sekadar terorisme klasik.

Senyap dan Mematikan: Mengapa Drone Menjadi Pilihan Utama?

Drone telah menjadi senjata pilihan bagi aktor negara dan non-negara di era modern karena beberapa keunggulan strategis yang signifikan. Serangan-serangan di Irak adalah contoh nyata dari efektivitas dan daya rusak yang dapat ditimbulkan oleh teknologi ini.

  • Sulit Dideteksi dan Dicegat: Salah satu alasan utama mengapa drone dijuluki “gaib” atau “tak dikenal” adalah kemampuannya untuk menghindari deteksi radar. Drone sering terbang sangat rendah, menggunakan medan sebagai penutup, dan memiliki tanda radar yang minimal. Banyak drone modern, terutama yang diproduksi dengan biaya rendah, terbuat dari plastik atau komposit karbon, membuat radar lama yang dirancang untuk mendeteksi benda logam menjadi tidak efektif. Ini memaksa sistem pertahanan udara untuk mengandalkan perpaduan radar, kamera, dan pusat akustik, seperti yang digunakan Ukraina melawan drone Iran.
  • Biaya Efektif vs. Biaya Pertahanan: Ketidakseimbangan ekonomi adalah faktor kunci. Sebuah drone sederhana dapat dibuat dengan biaya kurang dari US$ 1.000. Bahkan drone yang lebih canggih yang digunakan oleh kelompok seperti Houthi (seringkali buatan Iran) mungkin hanya berharga US$ 30.000. Bandingkan dengan biaya satu rudal pencegat yang bisa mencapai US$ 700.000. Ini membuat upaya menembak jatuh drone menjadi sangat tidak ekonomis, memungkinkan penyerang untuk meluncurkan serangan dalam jumlah besar dengan biaya yang relatif rendah.
  • Aksesibilitas dan Kemudahan Penggunaan: Produksi dan pengoperasian drone semakin mudah diakses. Ini memungkinkan kelompok-kelompok non-negara untuk memiliki kemampuan serangan udara yang sebelumnya hanya dimiliki oleh militer negara.
  • Unjuk Kekuatan Asimetris: Drone memungkinkan aktor yang lebih lemah untuk menantang kekuatan militer yang jauh lebih besar. Dengan kemampuan serangan yang presisi tanpa risiko langsung terhadap personel, drone menjadi alat yang efektif untuk mengirim pesan politik, mengganggu operasi lawan, dan menimbulkan kerugian tanpa memicu respons skala penuh yang tidak diinginkan. Jumlah drone yang lebih sedikit juga sulit dideteksi oleh sistem pertahanan lama, berbeda dengan serangan besar-besaran yang lebih mudah dicegat.

Dampak dan Implikasi Geopolitik Regional

Fenomena gantian Irak diserang drone tak dikenal hantam memiliki implikasi serius bagi stabilitas Irak dan dinamika geopolitik di seluruh Timur Tengah.

  • Peningkatan Ketidakstabilan Internal Irak: Serangan drone ini terus mengikis upaya Irak untuk membangun kembali stabilitas dan kedaulatan penuhnya. Kehadiran milisi bersenjata yang beroperasi di luar kendali negara, didukung oleh kekuatan regional, melemahkan otoritas pemerintah pusat dan menghambat investasi serta pembangunan kembali.
  • Risiko Eskalasi dengan Pasukan AS: Setiap serangan drone membawa risiko eskalasi konflik antara milisi pro-Iran dan pasukan AS. Meskipun AS dan koalisi telah menunjukkan upaya untuk menahan diri atau merespons secara proporsional, salah perhitungan atau peningkatan serangan dapat memicu respons militer yang lebih besar, menyeret Irak ke dalam konflik yang lebih luas.
  • Bagian dari Konflik Proksi Regional: Serangan ini tidak terlepas dari “perang bayangan” yang lebih besar antara Iran dan AS/Israel di Timur Tengah. Irak sering kali menjadi medan pertempuran proksi, di mana berbagai aktor regional memproyeksikan kekuatan mereka. Serangan drone Irak terhadap Israel, seperti yang diklaim oleh “Perlawanan Islam Irak”, menunjukkan bagaimana konflik internal Irak terhubung dengan ketegangan regional yang lebih luas, termasuk konflik Israel-Hamas dan blokade Laut Merah oleh Houthi. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahkan menyatakan bahwa Israel diserang oleh Iran dan proksinya di tujuh front, termasuk milisi Syiah di Irak dan Suriah.
  • Tantangan bagi Kebijakan Luar Negeri AS: Serangan-serangan ini menimbulkan tantangan bagi kebijakan luar negeri AS di Irak. Di satu sisi, AS ingin menarik pasukannya untuk mengurangi gesekan, namun di sisi lain, mereka ingin memastikan ISIS tidak bangkit kembali dan menjaga stabilitas regional. Keseimbangan ini sulit dicapai di tengah serangan drone yang terus-menerus.
  • Transformasi Perang Modern: Fenomena ini juga menegaskan transformasi sifat peperangan modern. Drone murah dan “gaib” telah mengubah keseimbangan kekuatan, memungkinkan aktor non-negara untuk menantang militer konvensional dengan cara yang sebelumnya tidak mungkin. Ini memaksa negara-negara untuk berinvestasi dalam teknologi deteksi dan pertahanan yang lebih canggih, sementara penyerang terus berinovasi dalam taktik mereka.

Kesimpulan

Fenomena gantian Irak diserang drone tak dikenal hantam adalah cerminan kompleksitas dan kerapuhan keamanan di Irak, sekaligus indikator perubahan lanskap perang modern. Meskipun identitas penyerang sering kali diselimuti misteri, pola serangan yang konsisten dan tuduhan yang mengarah pada milisi pro-Iran menunjukkan motif politik yang jelas terkait dengan kehadiran pasukan asing dan dinamika konflik regional.

Drone, dengan kemampuan “gaib” dan biaya yang efisien, telah menjadi alat yang ampuh dalam perang asimetris, memungkinkan aktor yang lebih kecil untuk menantang kekuatan besar. Selama ketegangan geopolitik di Timur Tengah terus membara dan masalah kedaulatan Irak belum terselesaikan sepenuhnya, sangat mungkin kita akan terus menyaksikan lebih banyak serangan drone yang menguji batas-batas keamanan dan stabilitas di negara yang bergejolak ini. Memahami fenomena ini bukan hanya tentang melacak insiden, tetapi juga tentang mengurai jaringan kepentingan, teknologi, dan ambisi yang membentuk masa depan Irak dan wilayah tersebut.