Ketegangan di Timur Tengah kembali memanas, dan kali ini, sorotan tertuju pada sebuah insiden yang mengejutkan banyak pihak: serangan Netanyahu gagal total, ‘jam kiamat israel’ masih utuh di iran. Klaim kemenangan Israel atas hancurnya simbol perlawanan Iran ini dengan cepat terbantahkan oleh fakta di lapangan, memicu gelombang pertanyaan tentang efektivitas strategi militer dan akurasi intelijen di tengah pusaran konflik yang kian kompleks. Artikel ini akan mengupas tuntas insiden tersebut, menganalisis implikasinya, dan menelaah lebih dalam realitas geopolitik yang melingkupinya.
Di tengah hiruk pikuk berita konflik global, insiden yang terjadi di jantung kota Teheran, Iran, ini menjadi pengingat penting akan dinamika kekuatan dan narasi yang saling bersaing. Sebuah jam digital raksasa yang dikenal sebagai “Jam Kiamat Israel” di Palestine Square, Teheran, menjadi pusat perhatian. Jam ini, yang telah menghitung mundur sejak tahun 2017, melacak hari-hari menuju kehancuran negara Zionis, sebuah prediksi yang dicanangkan oleh Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Netanyahu, melalui Menteri Pertahanan Israel Israel Katz, mengklaim bahwa serangan yang dilancarkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah menghancurkan simbol ini. Namun, tak lama kemudian, rekaman video yang dirilis oleh kantor berita Mehr membuktikan sebaliknya: jam tersebut masih berdiri tegak, beroperasi penuh, dan terus menghitung mundur menuju September 2040.
Mengapa insiden ini begitu penting? Lebih dari sekadar kegagalan operasional, ini adalah pukulan telak terhadap narasi Israel tentang dominasi dan kemampuan mereka untuk menetralisir ancaman. Ini juga menyoroti kerentanan klaim yang seringkali berputar di tengah kabut perang informasi, sekaligus mempertegas ketahanan dan simbolisme perlawanan Iran. Mari kita selami lebih dalam.
Misteri di Balik Klaim: Insiden ‘Jam Kiamat Israel’ yang Tak Tergoyahkan
Pada Senin, 23 Juni 2025, Menteri Pertahanan Israel Israel Katz menggembar-gemborkan keberhasilan serangan militer ke Teheran. Melalui akun X pribadinya, ia mengklaim, “sesuai arahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan saya sendiri, IDF saat ini menyerang dengan kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap target rezim dan badan-badan penindas pemerintah di jantung kota Teheran.” Katz bahkan secara spesifik menyiratkan bahwa salah satu target yang berhasil dihancurkan adalah jam “penghancuran Israel” tersebut.
Namun, hanya berselang beberapa jam, klaim tersebut runtuh. Kantor berita Mehr, sumber media Iran, merilis rekaman video yang secara gamblang memperlihatkan “Jam Kiamat Israel” masih utuh dan berfungsi normal di Palestine Square. Angka-angka LED merah menyala terang, terus menghitung mundur menuju September 2040, dikelilingi oleh lalu lintas dan pejalan kaki yang hilir mudik seolah tak terjadi apa-apa. Video ini, yang tampaknya direkam pada hari yang sama, menjadi bukti tak terbantahkan yang membantah narasi kemenangan Israel.
Apa Itu ‘Jam Kiamat Israel’?
“Jam Kiamat Israel” bukanlah sekadar jam biasa. Ini adalah sebuah penghitung waktu mundur digital yang monumental, didirikan di Palestine Square, Teheran, sejak tahun 2017. Fungsinya adalah untuk melacak hari-hari hingga berakhirnya entitas Zionis, sesuai dengan prediksi Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Pada tahun 2016, Khamenei pernah menyatakan keyakinannya bahwa “rezim Zionis” akan binasa dalam waktu 25 tahun, yang mengacu pada sekitar tahun 2040. Jam tersebut ditempatkan di samping tulisan tegas: “Waktu tersisa hingga kehancuran Israel.”
Jam ini berfungsi sebagai simbol kuat narasi perlawanan Iran, sebuah pengingat visual akan keyakinan mereka terhadap masa depan kawasan. Kegagalan Israel untuk menghancurkannya, terlepas dari klaim agresif, secara ironis justru semakin memperkuat simbolisme dan narasi yang dihembuskan Teheran. Analis Timur Tengah, Reza Fahimi, bahkan menyatakan bahwa kegagalan ini “menunjukkan titik lemah strategi ofensif mereka [Israel]. Ini bisa mempercepat narasi kehancuran Zionis yang selama ini dihembuskan Teheran.”
Kontradiksi Intelijen AS: Program Nuklir Iran yang ‘Tak Hancur Total’
Insiden “Jam Kiamat” hanyalah puncak gunung es dari serangkaian kontradiksi yang lebih besar terkait klaim Israel dan Amerika Serikat (AS) mengenai program nuklir Iran. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sebelumnya dengan tegas menyatakan bahwa Israel telah melakukan serangan yang menargetkan fasilitas nuklir dan lokasi militer Iran di Teheran, dengan tujuan melukai infrastruktur nuklir dan pabrik rudal balistik Iran. Ia bahkan mengklaim bahwa “Operasi ini akan memakan waktu selama yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas menangkal ancaman pemusnahan terhadap kami.”
Namun, di balik klaim yang bombastis ini, realitas intelijen AS justru menceritakan kisah yang berbeda. Laporan awal dari Badan Intelijen Pertahanan (DIA), unit intelijen utama Pentagon, secara terang-terangan bertentangan dengan pernyataan Presiden Donald Trump yang berulang kali mengklaim bahwa serangan tersebut “sepenuhnya dan total melenyapkan” kemampuan pengayaan uranium Iran.
- Laporan DIA: Penilaian intelijen AS menyebutkan bahwa serangan udara besar-besaran terhadap fasilitas nuklir Iran tidak mencapai hasil maksimal. Kemampuan utama Iran dalam memperkaya uranium masih tetap utuh.
- Estimasi Penundaan Minimal: Tiga narasumber yang mengetahui isi penilaian tersebut menyebutkan bahwa serangan tersebut hanya menimbulkan gangguan sementara, dengan perkiraan penundaan hanya berkisar satu hingga dua bulan. Iran masih mampu melanjutkan pengayaan uranium dengan kapasitas yang hampir sama seperti sebelumnya.
- Stok Uranium Utuh: Persediaan uranium yang diperkaya Iran dilaporkan tetap utuh, dengan sentrifus yang menjadi sasaran serangan hanya mengalami sedikit kerusakan.
- Kerusakan Permukaan: Citra satelit komersial dari lokasi nuklir, seperti Pabrik Pengayaan Bahan Bakar Fordow dan Kompleks Pengayaan Natanz, mendukung penilaian bahwa kerusakan sebagian besar terbatas pada struktur di atas tanah, termasuk sistem listrik dan fasilitas yang digunakan untuk mengubah uranium menjadi logam tingkat senjata. Fasilitas bawah tanah utama, termasuk di dekat Natanz, Isfahan, dan Parchin, tetap utuh dan dapat berfungsi sebagai dasar untuk penyusunan kembali program nuklir Iran dengan cepat.
- Penolakan Gedung Putih: Gedung Putih secara resmi menolak kesimpulan penilaian intelijen ini, menyebutnya “keliru secara fundamental” dan mengklaim laporan tersebut adalah upaya untuk “merendahkan Presiden Trump dan mendiskreditkan pilot pesawat tempur pemberani.” Namun, di forum internasional, nada pernyataan AS terdengar lebih lunak, hanya menyebut “melemahkan secara signifikan,” bukan “menghancurkan total.”
- Sikap Iran: Kementerian Luar Negeri Iran kembali menegaskan bahwa program nuklir negara tersebut semata-mata untuk kepentingan sipil (medis dan energi) dan tidak bertujuan mengejar senjata nuklir. Juru bicara Organisasi Energi Atom Iran (AEOI), Behrouz Kamalvandi, menegaskan bahwa industri nuklir Iran “berakar di negara kita” dan “tidak dapat dicabut” oleh musuh. Pernyataan Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, yang mengatakan “kami tidak memiliki bukti apa pun tentang upaya sistematis (oleh Iran) untuk bergerak menuju senjata nuklir,” juga memperkuat posisi Iran.
Evaluasi intelijen ini secara jelas menunjukkan bahwa strategi serangan udara AS tidak berhasil melumpuhkan fondasi program nuklir Iran. Kegagalan ini memunculkan pertanyaan serius tentang keakuratan dan keandalan informasi intelijen militer Amerika Serikat, serta keputusan politik yang diambil berdasarkan informasi tersebut.
Operasi “True Promise 3″: Ketika Israel Merasakan Derita Palestina
Di tengah klaim-klaim yang saling bertentangan, konflik antara Iran dan Israel memuncak pada 13 Juni 2025. Israel melancarkan gelombang serangan udara ke berbagai lokasi strategis di Iran, yang mereka sebut sebagai Operasi “Rising Lion”. Namun, Iran tidak tinggal diam. Mereka meluncurkan operasi balasan yang diberi nama “True Promise 3”.
Operasi “True Promise 3” ini bukan sekadar balasan, melainkan sebuah respons masif yang memberikan dampak signifikan pada Israel. Dalam 12 hari konflik, Israel menghadapi serangan rudal berat dari Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC).
- Intensitas Serangan: Lebih dari 40 gelombang serangan rudal diluncurkan dalam 12 hari, dengan total 531 rudal, di mana 31 di antaranya berhasil mencetak hantaman langsung.
- Korban Jiwa dan Luka: Sebanyak 29 pemukim Israel tewas dan 2.517 lainnya terluka di seluruh wilayah Zionis Israel. Kematian tentara Israel pertama yang diakui terjadi di Beer al-Sabe’, di mana serangan rudal Iran menargetkan sebuah bangunan dan menyebabkan sembilan kematian.
- Cakupan Geografis: Rudal-rudal Iran secara langsung menghantam berbagai lokasi di seluruh Zionis Israel, termasuk kota-kota besar seperti Tel Aviv, Ramat Gan, Haifa, Beer al-Sabe’, dan Herzliya, serta daerah-daerah lebih kecil seperti Tira, Rehovot, Bat Yam, dan Bnei Brak. Serangan juga mengenai situs industri seperti kilang minyak dan menjangkau daerah-daerah di sepanjang dataran pantai.
- Hari Paling Mematikan: 14 Juni menjadi hari paling mematikan dalam konflik, dengan empat gelombang serangan roket total 120 rudal menghantam daerah pusat, menewaskan 12 orang dan melukai 200 lainnya. Tanggal 19 Juni mencatat penyebaran geografis terluas dari serangan, dengan serangan menghantam tujuh wilayah berbeda.
- Kegagalan Perlindungan Bunker: Yang mengejutkan, rudal-rudal Iran bahkan menyebabkan korban jiwa di antara warga Zionis Israel yang berlindung di tempat perlindungan. Sebanyak 29 korban tewas dilaporkan oleh media Zionis Israel, termasuk beberapa yang tewas di dalam ruang aman yang diperkuat, menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan rudal yang digunakan atau kerentanan dalam infrastruktur pertahanan Israel.
- Dampak Ekonomi: Konflik ini memukul ekonomi Israel dengan keras. Lebih dari 38.000 klaim ganti rugi diajukan terkait kerusakan properti, dengan perkiraan biaya untuk menutupi kerugian mencapai sekitar 5 miliar shekel (sekitar $1,44 miliar). Defisit pemerintah diperkirakan akan melebihi 6% tahun ini, jauh di atas batas 4,9% dari PDB. Selain itu, sekitar 11.000 orang dipindahkan ke hotel sebagai tempat perlindungan sementara, dan hampir 4.000 lainnya tinggal bersama kerabat.
Serangan balasan Iran ini secara efektif membuat Israel merasakan penderitaan yang selama ini dirasakan oleh warga Palestina dan Lebanon. Ini adalah momen langka ketika pihak yang selama ini mendominasi serangan, kini berada di posisi menerima dampak langsung dari konflik.
Dinamika Geopolitik dan Simbolisme Perlawanan
Krisis ini telah memicu kekhawatiran internasional tentang potensi konflik regional yang lebih luas. Amerika Serikat, melalui Presiden Donald Trump, sempat mengumumkan gencatan senjata antara kedua negara, menegaskan bahwa mereka sudah sepakat. Namun, pelanggaran terus berlanjut, dan kedua belah pihak tampaknya siap untuk eskalasi lebih lanjut. Trump bahkan sempat murka atas pelanggaran gencatan senjata dan menegaskan AS tidak akan membantu Israel lagi menyerang Iran. Iran sendiri memasukkan Palestina sebagai salah satu syarat gencatan senjata, menunjukkan bahwa isu Palestina adalah inti dari banyak konflik di kawasan.
Kegagalan Israel menghancurkan “Jam Kiamat” dan program nuklir Iran yang tetap utuh, berpadu dengan dampak signifikan dari Operasi “True Promise 3” terhadap Israel, memberikan pukulan keras terhadap citra Israel sebagai kekuatan regional yang tak terkalahkan. Ini justru memperkuat narasi perlawanan Iran dan kelompok-kelompok sekutunya.
Narasi ini tidak terlepas dari konteks historis dan religius yang mendalam. Kawasan Syam, yang meliputi Palestina, Suriah, dan Lebanon, telah lama menjadi pusat gejolak. Penjajahan Israel atas tanah Palestina, yang kini telah mencaplok 85% tanah tersebut, serta tindakan kejahatan yang melampaui batas seperti pembunuhan wanita dan anak-anak, serta pembatasan pasokan air, telah memicu perlawanan tak henti. Organisasi seperti Hamas, dengan sayap militernya Izzudin Al Qassam, telah menunjukkan kemampuan untuk mengembangkan roket dan pesawat tanpa awak yang mampu mencapai Tel Aviv, serta taktik gerilya bawah tanah yang membuat frustrasi militer Israel.
Di mata banyak pihak, terutama di dunia Muslim, “Jam Kiamat Israel” dan ketahanan program nuklir Iran menjadi simbol keteguhan dan perlawanan terhadap penindasan. Kegagalan serangan Israel terhadap jam tersebut bukan hanya kegagalan militer, tetapi juga kegagalan simbolis yang mempertegas ketangguhan narasi perlawanan Iran. Ini adalah cerminan dari keyakinan yang mendalam bahwa tanah Syam, dengan segala konflik yang meliputinya, adalah negeri yang diberkahi dan tempat iman akan teguh di tengah fitnah akhir zaman.
Masa Depan yang Tidak Pasti: Antara Gencatan Senjata dan Eskalasi
Meskipun gencatan senjata telah diberlakukan, ketegangan tetap tinggi. Iran telah menegaskan kembali niatnya untuk melanjutkan program nuklirnya pasca-gencatan senjata, yang semakin memperumit upaya diplomatik. Dampak konflik terhadap pasar energi global juga menjadi kekhawatiran serius, dengan harga minyak diperkirakan akan melonjak jika konflik melebar ke negara penghasil minyak utama lainnya.
Serangan Netanyahu gagal total, ‘jam kiamat israel’ masih utuh di iran bukan hanya sebuah berita utama; ini adalah cerminan dari pergeseran dinamika kekuatan di Timur Tengah. Ini menunjukkan bahwa klaim-klaim yang dibuat di medan perang dan di media sosial seringkali jauh dari kenyataan, dan bahwa kekuatan simbolis serta ketahanan narasi perlawanan dapat menjadi sama kuatnya dengan kekuatan militer.
Kegagalan Israel untuk menghancurkan simbol paling strategis Iran menunjukkan bahwa strategi ofensif mereka memiliki titik lemah. Hal ini sekaligus mempercepat narasi kehancuran Zionis yang selama ini dihembuskan Teheran. Realitas bahwa program nuklir Iran tetap utuh, bertentangan dengan klaim yang berulang, akan terus menjadi sumber ketegangan dan perdebatan di panggung internasional.
Pada akhirnya, insiden “Jam Kiamat” ini adalah pengingat bahwa di tengah konflik yang berkepanjangan, narasi, simbolisme, dan ketahanan adalah elemen krusial yang membentuk persepsi dan memengaruhi jalannya sejarah. Masa depan kawasan ini masih penuh dengan ketidakpastian, namun satu hal yang jelas: ‘Jam Kiamat Israel’ terus berdetak, menjadi saksi bisu atas dinamika yang terus berubah di Timur Tengah.