Gabriel Martinelli, Bintang Arsenal yang Pernah Disebut Malas Musim Lalu: Fakta di Lapangan Menjawab!

Dipublikasikan 22 Agustus 2025 oleh admin
Olahraga

Yogyakarta, zekriansyah.com – Dunia sepak bola memang penuh dengan drama dan ekspektasi. Di klub sebesar Arsenal, setiap pemain selalu berada di bawah sorotan tajam, baik dari penggemar, media, maupun para pundit. Tak jarang, kritik pedas melayang, termasuk tudingan “malas” yang bisa melekat pada seorang bintang. Nah, pernahkah Anda mendengar bahwa ada bintang Arsenal yang pernah disebut malas musim lalu? Kali ini, kita akan membahas salah satu nama yang sempat menjadi perbincangan, yaitu Gabriel Martinelli, dan bagaimana ia merespons kritik tersebut dengan performanya di lapangan.

Gabriel Martinelli, Bintang Arsenal yang Pernah Disebut Malas Musim Lalu: Fakta di Lapangan Menjawab!

Gabriel Martinelli buktikan keraguan lewat performa impresif di lapangan, pamerkan kecepatan lari tertinggi di laga terbaru Arsenal.

Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa label “malas” itu muncul, bagaimana Martinelli membuktikannya, dan menilik bahwa fenomena ini bukanlah hal baru di tubuh The Gunners. Yuk, kita selami lebih dalam!

Gabriel Martinelli: Dari Tuduhan “Malas” hingga Kecepatan Kilat

Musim lalu, tepatnya sekitar Desember 2024, nama Gabriel Martinelli sempat menjadi buah bibir. Pundit Don Hutchinson secara terang-terangan melabeli winger asal Brasil ini sebagai pemain yang “malas” setelah laga kontra Fulham. Alasannya cukup spesifik: Martinelli dinilai kerap terjebak offside karena dianggap bermain ceroboh. Tentu saja, kritik semacam ini bisa menjadi beban mental bagi pemain muda.

Namun, di awal musim ini, tudingan itu seolah terpatahkan di laga debut Arsenal melawan Manchester United di Old Trafford. Meski timnya menurunkan striker anyar Viktor Gyokeres, Martinelli justru menunjukkan sisi lain yang tak terduga. Data dari FotMob mengungkapkan fakta menarik: Martinelli mencatat kecepatan lari tertinggi di antara semua pemain Arsenal yang tampil!

Ia menorehkan top speed impresif sebesar 35,5 km/jam, melampaui rekan setimnya seperti Bukayo Saka (33,7 km/jam), William Saliba (33 km/jam), bahkan Viktor Gyokeres (32,5 km/jam) yang secara fisik terlihat lebih eksplosif. Ini jelas membuktikan bahwa secara fisik, Martinelli jauh dari kata malas.

Berikut adalah daftar kecepatan tertinggi pemain Arsenal di laga tersebut:

Pemain Kecepatan Tertinggi (km/jam)
Gabriel Martinelli 35,5
Bukayo Saka 33,7
William Saliba 33
Viktor Gyokeres 32,5
Gabriel Magalhaes 32,4

Statistik di Balik Kecepatan: Ada Apa dengan Efektivitasnya?

Meski kecepatan Martinelli patut diacungi jempol dan membantah label “malas”, kita juga harus jujur bahwa kerja kerasnya di lapangan belum selalu berbanding lurus dengan efektivitas sentuhan akhir. Dalam pertandingan melawan Manchester United itu, kontribusi Martinelli memang belum sepenuhnya optimal.

Absennya koneksi yang solid dengan Riccardo Calafiori di sisi kiri, yang sebelumnya sempat dipuji karena membuat permainannya lebih hidup, terlihat cukup memengaruhi. Statistik Martinelli melawan MU (via FotMob) menunjukkan gambaran ini:

  • Menit bermain: 60
  • Peluang tercipta: 1
  • Umpan akurat: 3/5 (60%)
  • Dribel sukses: 0
  • Tembakan: 1

Angka-angka ini mengindikasikan bahwa meskipun ia berlari kencang, Martinelli masih perlu meningkatkan ketajaman dan kontribusinya di sepertiga akhir lapangan. Namun, ini masih awal musim dan terlalu dini untuk langsung menilai kegagalan. Adaptasi dan pemahaman taktik akan terus berkembang seiring berjalannya waktu.

Bukan Kali Pertama: Jejak Kritik “Malas” di Arsenal

Tuduhan “malas” terhadap pemain Arsenal bukanlah fenomena baru yang hanya menimpa Martinelli. Sepanjang sejarah klub, beberapa bintang pernah menghadapi kritik serupa, menunjukkan betapa tingginya ekspektasi dan tekanan yang ada di Emirates.

  • William Saliba: Bek tangguh ini, yang kini menjadi pilar pertahanan Arsenal, pernah mengakui bahwa ia dulunya adalah pemain yang malas dan sering mengeluh di awal kariernya sebelum bergabung dengan The Gunners. Ini menunjukkan bahwa dengan bimbingan dan lingkungan yang tepat, seorang pemain bisa bertransformasi.
  • Mesut Ozil: Playmaker brilian ini, yang dikenal dengan umpan-umpan mematikannya, juga pernah mendapat cap “malas” dari manajer Unai Emery. Kritik itu muncul karena Ozil dianggap kurang berpartisipasi dalam tugas bertahan, sebuah tuntutan yang Emery inginkan dari setiap pemainnya.
  • Andrey Arshavin: Setelah debut yang impresif, Arshavin juga disebut sebagai pemain yang “malas” dan “tidak memiliki tujuan” di sisa waktunya bersama Arsenal.
  • Robert Pires: Bahkan legenda seperti Robert Pires tidak luput. Ia dijuluki “si bebek yang tidak tahu cara menekel” karena gaya bermainnya yang terlihat lambat dan malas merebut bola. Namun, ia membuktikan bahwa efektivitas dan kualitas teknis bisa mengalahkan tuduhan tersebut, bahkan menjadi bagian dari tim ‘Invincibles’.

Tekanan dan Ekspektasi di Klub Sebesar Arsenal

Kisah-kisah di atas mencerminkan bahwa kritik terhadap etos kerja atau “kemalasan” seringkali muncul di klub-klub besar seperti Arsenal. Dengan sorotan media yang intens dan basis penggemar yang sangat bersemangat, setiap performa dievaluasi secara mendalam. Pemain dituntut untuk tidak hanya menunjukkan bakat, tetapi juga dedikasi, konsistensi, dan kemampuan beradaptasi dengan intensitas Premier League.

Bahkan Francesc Fàbregas, mantan kapten Arsenal, pernah menyoroti kurangnya tekanan dan tuntutan di klub tersebut di masa lalu, yang ia nilai berkontribusi pada minimnya prestasi. Ini menunjukkan bahwa ekspektasi dan lingkungan tim sangat memengaruhi bagaimana seorang pemain dinilai, dan bagaimana mereka merespons kritik yang datang.

Kesimpulan

Kisah Gabriel Martinelli adalah bukti nyata bagaimana seorang bintang Arsenal yang pernah disebut malas musim lalu bisa merespons kritik dengan performa fisik yang mengesankan. Meskipun efektivitasnya masih perlu ditingkatkan, kecepatan dan daya juangnya menunjukkan dedikasi yang tinggi.

Fenomena kritik “malas” bukanlah hal baru di Arsenal. Dari Saliba, Ozil, Arshavin, hingga Pires, setiap pemain memiliki cerita dan responsnya sendiri. Ini mengingatkan kita bahwa sepak bola adalah olahraga yang dinamis, di mana performa dan persepsi bisa berubah dengan cepat. Yang terpenting adalah bagaimana para pemain terus beradaptasi, bekerja keras, dan membuktikan diri di lapangan demi lambang meriam di dada.