Ekonomi Indonesia Lesu: Tanda-Tandanya Sudah Lama Terbaca, Tapi Kenapa Diabaikan?

Dipublikasikan 11 Juli 2025 oleh admin
Finance

Pernahkah Anda merasa pengeluaran semakin berat, daya beli seperti tergerus, atau mencari pekerjaan jadi lebih sulit? Jika iya, Anda tidak sendiri. Akhir-akhir ini, banyak diskusi tentang ekonomi lesu di Indonesia. Yang menarik, kelesuan ini ternyata bukan fenomena mendadak. Para ahli dan ekonom sebenarnya sudah melihat tanda-tanda ekonomi lesu terbaca sejak lama, bahkan sebelum kondisi ini terasa dampaknya secara luas.

Ekonomi Indonesia Lesu: Tanda-Tandanya Sudah Lama Terbaca, Tapi Kenapa Diabaikan?

Lantas, mengapa sinyal-sinyal peringatan ini seolah diabaikan? Artikel ini akan mengupas tuntas indikator-indikator yang sudah lama menyala merah, mengapa kebijakan seolah terlambat merespons, dan yang terpenting, apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat untuk menghadapi situasi ini. Mari kita selami lebih dalam agar kita semua lebih siap dan bijak dalam melangkah.

Sinyal-Sinyal Awal Kelesuan Ekonomi yang Terabaikan

Jauh sebelum angka pertumbuhan ekonomi melambat atau bahkan deflasi terjadi, beberapa indikator “diam-diam” sudah membunyikan alarm. Sayangnya, suara alarm ini belum mendapat perhatian yang cukup serius dari semua pihak.

Indikator Mikro: Belanja Pokok Meningkat, Upah Riil Stagnan

Salah satu tanda paling jelas datang dari kebiasaan belanja masyarakat. Menurut Guru Besar FEB Unpad, Arief Anshory Yusuf, data perbankan menunjukkan porsi belanja masyarakat untuk kebutuhan bahan pokok justru meningkat. Ini sejalan dengan Hukum Engel, yang menyatakan bahwa ketika proporsi belanja kebutuhan pokok meningkat, itu menandakan jumlah masyarakat dengan pendapatan pas-pasan semakin banyak. Daya beli mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.

Selain itu, upah riil masyarakat juga terpantau stagnan sejak 2016 di kisaran Rp 1.500.000 per bulan. Padahal, upah nominal terus naik. Artinya, meskipun angka di slip gaji terlihat membesar, kemampuan kita untuk membeli barang atau jasa tidak banyak berubah, bahkan cenderung menurun karena inflasi. Ini adalah pertanda kuat bahwa daya beli masyarakat memang sedang tertekan.

Makro Ekonomi Tertekan: Deflasi, Rupiah Loyo, dan APBN Anomali

Jika dilihat dari gambaran yang lebih besar, beberapa indikator makroekonomi juga menunjukkan tren yang mengkhawatirkan:

  • Deflasi Beruntun: Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi bulanan terjadi berturut-turut pada Januari dan Februari 2025, bahkan secara tahunan pada Februari 2025. Sebelumnya, deflasi juga terjadi selama lima bulan beruntun dari Mei hingga September 2024. Deflasi, terutama yang disebabkan oleh kurangnya permintaan, bisa menjadi tanda daya beli masyarakat yang lesu dan oversupply barang.
  • Rupiah dan Pasar Saham Amblas: Nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp 16.575 per dollar AS pada Februari 2025, level terendah dalam lima tahun terakhir. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga ikut anjlok ke level terendah sejak 2021. Ini menunjukkan keraguan investor terhadap kondisi ekonomi domestik.
  • APBN Defisit dan Penerimaan Pajak Anjlok: Realisasi APBN 2025 hingga Februari sudah mencatatkan defisit, salah satunya karena anjloknya penerimaan pajak. Ini menjadi anomali yang perlu diwaspadai karena bisa memunculkan kekhawatiran investor terhadap kredibilitas fiskal Indonesia.

Kredit Seret dan Tabungan Mandek: Alarm Bisnis Berbunyi Keras

Sektor keuangan juga tidak luput dari sinyal merah. Laporan Bank Indonesia per April 2025 menunjukkan pertumbuhan kredit hanya mencapai 8,88%, lebih rendah dari bulan sebelumnya. Perlambatan ini bukan hanya karena permintaan kredit yang melemah dari sektor riil, tetapi juga karena kemampuan bank dalam menyalurkan kredit terganggu akibat menurunnya pasokan dana dari Dana Pihak Ketiga (DPK) atau tabungan masyarakat.

Fenomena kredit seret dan tabungan mandek ini menjadi alarm keras bagi pelaku usaha, terutama UMKM. Proposal pinjaman yang ditolak, proyek yang tertunda, hingga ancaman likuiditas yang ketat menjadi dampak nyata dari iklim ekonomi lesu ini.

Mengapa Tanda-Tanda Ini Seolah Diabaikan?

Melihat begitu banyaknya sinyal peringatan, muncul pertanyaan: mengapa respons kebijakan terkesan lambat?

Kebijakan Pemerintah yang Terlambat dan Pro-Siklikal

Menurut Arief Anshory Yusuf, banyak pembuat kebijakan yang awalnya tidak percaya perekonomian Indonesia tengah mengalami kelesuan. Stimulus ekonomi baru muncul pada kuartal I-2025 (Rp 33 triliun) dan berlanjut ke kuartal II-2025 (Rp 24,4 triliun), setelah kondisi perlambatan semakin kentara.

Mohammad Faisal dari CORE Indonesia berpendapat, meski ada faktor warisan dari rezim sebelumnya, kebijakan pemerintah saat ini justru belum tepat dan berpotensi menimbulkan masalah baru. Ia menyoroti tren lemahnya belanja pemerintah setelah Pemilu/Pilpres. Ketika konsumsi masyarakat lesu, belanja pemerintah yang ikut lesu justru bersifat pro-siklikal, artinya memperparah kondisi ekonomi.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bahkan menilai pemerintah terlihat abai dengan kondisi perekonomian, terlalu sibuk dengan konsolidasi politik di akhir masa jabatan, dan melupakan dunia usaha yang tertekan.

Jangan Melulu Menyalahkan Ekonomi Global, Perbaiki Fondasi Domestik!

Seringkali, pelemahan ekonomi dikaitkan dengan kondisi global yang tidak menentu, perang dagang, atau perlambatan ekonomi dunia. Memang, faktor eksternal punya peran. Namun, Ekonom Indef, Ahmad Heri Firdaus, mengingatkan bahwa pemerintah sudah terlalu sering menyalahkan kondisi global.

Ia mencontohkan Vietnam, yang ekspornya masih bisa tumbuh meskipun ekonomi global melambat, karena fondasi manufakturnya yang kuat. Industri manufaktur menghasilkan produk bernilai tambah, sehingga tidak terlalu bergantung pada dinamika harga komoditas global. Ini menunjukkan bahwa meskipun kondisi eksternal sulit, upaya perbaikan di sektor domestik, seperti penguatan industri manufaktur dan diversifikasi ekspor, sangat krusial dan seharusnya sudah diantisipasi sejak lama.

Dampak Kelesuan Ekonomi Terhadap Kita

Ketika ekonomi lesu terbaca sejak lama diabaikan, dampaknya akan terasa di mana-mana. Selain angka pertumbuhan yang melambat, kita mungkin melihat:

  • PHK Massal: Banyak perusahaan yang terpaksa mengurangi karyawan karena penjualan menurun atau kesulitan likuiditas.
  • Daya Beli Tergerus: Inflasi yang tidak seimbang dengan kenaikan pendapatan membuat uang kita terasa semakin tidak bernilai.
  • Sulitnya Akses Pembiayaan: Baik individu maupun pelaku usaha akan kesulitan mendapatkan pinjaman untuk modal atau kebutuhan mendesak.

Situasi ini tentu membuat cemas, namun kepanikan bukanlah solusi.

Menghadapi Ekonomi Lesu: Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Di tengah kondisi ekonomi lesu ini, ada beberapa langkah yang bisa kita ambil, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat, untuk tetap bertahan dan bahkan mencari peluang.

Untuk Masyarakat dan Pelaku Usaha: Beradaptasi dan Berhati-hati

  1. Tekan Pengeluaran dan Prioritaskan Kebutuhan: Saat pendapatan berpotensi menurun, mengendalikan pengeluaran adalah kunci. Fokus pada kebutuhan pokok, tunda keinginan yang tidak mendesak, dan cari cara untuk berhemat.
  2. Sediakan Dana Darurat: Ini adalah tameng keuangan Anda. Pastikan ada simpanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mendasar selama beberapa bulan jika terjadi hal tak terduga.
  3. Hindari Utang Baru: Menambah utang, terutama dengan bunga tinggi, sangat tidak dianjurkan dalam kondisi ini. Prioritaskan pelunasan utang yang ada dan kurangi penggunaan kartu kredit.
  4. Cari Alternatif Pembiayaan: Bagi pelaku usaha yang kesulitan akses kredit bank, pendanaan syariah bisa menjadi solusi. Skema ini menekankan keadilan dan saling menguntungkan, serta cenderung lebih resilien terhadap fluktuasi suku bunga.
  5. Ikuti Perkembangan Pasar: Pantau kinerja sektor atau emiten yang justru diuntungkan di tengah kelesuan. Tidak semua bisnis terdampak negatif, ada juga yang menemukan celah pertumbuhan.

Harapan untuk Kebijakan ke Depan: Perlu Respons Cepat dan Strategis

Pemerintah perlu segera menyadari dan memperbaiki situasi ini. Konsolidasi kebijakan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan, antara lain:

  • Perbaikan Struktural: Fokus pada penciptaan lapangan kerja berkualitas dan peningkatan daya beli masyarakat melalui penguatan industri manufaktur domestik.
  • Optimalisasi Fiskal: Menjaga efisiensi anggaran dan mengoptimalkan penerimaan pajak tanpa menimbulkan gejolak.
  • Komunikasi Efektif: Menjalin komunikasi yang baik dan transparan dengan publik serta investor untuk membangun kembali kepercayaan.
  • Diversifikasi Sektor: Mengembangkan sektor non-komoditas seperti pariwisata yang memiliki potensi besar sebagai penopang ekonomi.

Kesimpulan

Fakta bahwa ekonomi lesu terbaca sejak lama diabaikan adalah pelajaran berharga bagi kita semua. Sinyal-sinyal peringatan, baik dari tingkat mikro seperti belanja rumah tangga hingga makro seperti deflasi dan kredit, sudah lama terlihat. Respons yang lambat dan fokus pada faktor eksternal semata tanpa membenahi fondasi domestik telah berkontribusi pada kondisi saat ini.

Namun, bukan berarti kita harus putus asa. Dengan memahami akar permasalahannya, kita sebagai individu dan pelaku usaha bisa lebih proaktif dalam mengelola keuangan dan strategi bisnis. Harapannya, pemerintah juga segera mengambil langkah konkret dan terkoordinasi untuk membenahi ekonomi dari dalam. Dengan kesadaran dan tindakan yang tepat dari semua pihak, kita bisa melewati masa-masa sulit ini dan membangun fondasi ekonomi yang lebih kuat di masa depan.