Gejolak di Timur Tengah tak henti-hentinya menyita perhatian dunia, dengan eskalasi konflik antara Iran dan Israel mencapai titik yang semakin mengkhawatirkan. Di tengah ketegangan yang memuncak ini, sebuah langkah strategis dari Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, telah menjadi sorotan utama: penunjukan calon pengganti sebagai antisipasi terburuk. Situasi ini menjadi semakin kompleks dengan munculnya klaim dan bantahan mengenai Amerika Serikat ikut Israel menyerang Iran, yang memicu spekulasi akan dampak yang tak terhitung terhadap stabilitas regional dan global. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa Khamenei menunjuk pengganti, bagaimana dinamika konflik ini berkembang, serta implikasi yang mungkin timbul dari langkah-langkah luar biasa ini.
Pusaran Konflik Iran-Israel: Ancaman yang Kian Membara
Sejak 13 Juni 2025, eskalasi permusuhan antara Iran dan Israel telah mengubah lanskap geopolitik Timur Tengah. Serangan udara Israel di berbagai lokasi di Iran, termasuk fasilitas militer dan nuklir, memicu Teheran untuk melancarkan serangan balasan yang dikenal sebagai Operasi Janji Sejati 3. Operasi ini, yang melibatkan peluncuran rudal ke pangkalan militer Israel, dilaporkan telah menewaskan sedikitnya 25 orang dan melukai ratusan lainnya di pihak Israel. Di sisi Iran, kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Washington melaporkan bahwa setidaknya 657 orang, termasuk 263 warga sipil, tewas dan lebih dari 2.000 lainnya terluka akibat serangan Israel.
Serangan Israel juga dilaporkan merusak fasilitas nuklir Iran, Natanz, hingga menyebabkan terpancarnya radiasi. Dalih Israel melancarkan serangan ini adalah kekhawatiran terhadap program nuklir Iran yang dinilai berpotensi memproduksi senjata nuklir. Namun, Teheran bersikeras bahwa program nuklirnya murni untuk tujuan damai dan tidak akan dihentikan oleh serangan tersebut. Ketegangan ini bukan hanya sekadar pertukaran serangan militer; ia merupakan manifestasi dari ketidakpercayaan mendalam dan persaingan strategis yang telah berlangsung puluhan tahun, kini memasuki fase yang jauh lebih berbahaya.
Amerika Serikat: Intervensi di Balik Dalih Nuklir?
Dalam pusaran konflik yang semakin memanas, peran Amerika Serikat menjadi titik fokus perdebatan. Klaim bahwa Amerika Serikat ikut Israel menyerang Iran telah beredar luas, meskipun Wakil Presiden AS JD Vance membantah bahwa serangan ke Iran merupakan campur tangan langsung dalam konflik Israel-Iran. Vance menegaskan bahwa keterlibatan AS adalah upaya yang sangat terfokus untuk menghilangkan ancaman program nuklir Iran, bukan untuk berpihak dalam konflik regional. Menurutnya, ini akan terus menjadi tujuan utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Namun, pernyataan Presiden Donald Trump pada 21 Juni 2025, yang mengumumkan keberhasilan AS membombardir dan melenyapkan sejumlah fasilitas nuklir Iran, termasuk Fordo, Natanz, dan Esfahan, menimbulkan pertanyaan besar. Trump menyebutkan bahwa AS menggunakan enam pesawat pengebom B-2 untuk menjatuhkan lusinan bom “penghancur bunker” (GBU-57A/B Massive Ordnance Penetrator) ke situs nuklir Fordo, instalasi nuklir Iran yang paling dalam dan paling kuat. Meskipun Trump sempat menyatakan akan menunggu dua pekan untuk memutuskan intervensi guna mencari solusi diplomatik, serangan ini menunjukkan bahwa AS pada akhirnya mengambil tindakan militer yang signifikan terhadap Iran.
Kontradiksi antara narasi “non-intervensi” dan tindakan militer yang agresif ini mengindikasikan bahwa AS melihat program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial yang terpisah dari konflik langsung Iran-Israel, namun tetap menggunakan momen ketegangan ini untuk mencapai tujuannya. Keterlibatan AS, terlepas dari dalihnya, secara signifikan memperkeruh situasi, mengubah konflik bilateral menjadi potensi konfrontasi yang lebih luas dengan implikasi global.
Antisipasi Ekstremis: Langkah Rahasia Ayatollah Ali Khamenei
Ancaman pembunuhan terhadap Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, telah mendorong serangkaian langkah luar biasa untuk melindungi hidupnya dan memastikan kelangsungan struktur kepemimpinan Republik Islam. Laporan dari The New York Times mengindikasikan bahwa Khamenei, yang kini dilaporkan “bersembunyi di bunker,” telah menangguhkan komunikasi elektronik dan berbicara dengan para komandan terutama melalui ajudan terpercaya untuk menghindari deteksi. Ketakutan akan upaya pembunuhan oleh Israel atau Amerika Serikat menjadi motif utama di balik tindakan pengamanan ekstrem ini.
Yang paling signifikan adalah keputusan Khamenei untuk menunjuk tiga ulama senior sebagai calon pengganti jika ia meninggal dunia akibat perang atau upaya pembunuhan. Langkah ini mencerminkan kekhawatiran mendalam akan martyrdom dan keinginan kuat untuk memastikan transisi kekuasaan yang cepat, teratur, dan mulus. Khamenei ingin menjaga warisannya dan mencegah Iran terjerumus ke dalam perebutan suksesi yang berantakan di tengah konflik bersenjata.
Selain menunjuk pengganti spiritual, Khamenei juga dilaporkan telah menunjuk sejumlah pengganti dalam rantai komando militer, mengantisipasi kemungkinan Israel menargetkan perwira tinggi. Kementerian Intelijen Iran bahkan telah memberlakukan tindakan ketat, termasuk larangan penggunaan telepon atau perangkat elektronik oleh pejabat senior dan komandan militer, serta memerintahkan mereka untuk tetap bersembunyi. Semua langkah ini menunjukkan keseriusan situasi dan persiapan Iran menghadapi skenario terburuk.
Mekanisme Suksesi di Republik Islam Iran
Sistem politik Iran memiliki mekanisme yang jelas untuk suksesi Pemimpin Tertinggi. Jika Pemimpin Tertinggi meninggal dunia atau tidak mampu lagi menjalankan tugasnya, konstitusi Iran mengharuskan Majelis Ahli (Assembly of Experts), sebuah badan ulama beranggotakan 88 orang, untuk memilih pengganti. Proses ini sangat krusial dan sensitif, mengingat Pemimpin Tertinggi memegang kekuasaan tertinggi dalam sistem politik Iran, baik dalam urusan spiritual maupun negara.
Sejak Revolusi Islam pada tahun 1979, proses pemilihan pengganti ini baru pernah terjadi satu kali, yaitu pada tahun 1989 ketika Ayatollah Ali Khamenei sendiri terpilih untuk menggantikan Ayatollah Ruhollah Khomeini. Sensitivitas dan kerahasiaan seputar proses ini sangat tinggi, dan identitas calon pengganti biasanya dijaga ketat dari publik. Namun, kondisi perang dan ancaman langsung terhadap Khamenei telah memaksa proses ini untuk diungkapkan secara lebih terbuka, meskipun identitas ketiga ulama yang ditunjuk Khamenei masih menjadi misteri bagi sebagian besar publik. Keinginan Khamenei untuk mempersiapkan daftar calon ini menunjukkan upaya untuk memandu Majelis Ahli dan memastikan stabilitas di masa depan.
Mengurai Tirai: Siapa Saja Kandidat Pengganti Khamenei?
Meskipun identitas pasti dari ketiga calon pengganti yang ditunjuk Khamenei belum diungkapkan secara resmi kepada publik oleh pejabat Iran atau Majelis Ahli, beberapa analis politik internasional Iran telah mencoba mengurai tirai kerahasiaan ini. Morad Veisi, seorang analis politik internasional Iran, mengidentifikasi tiga ulama senior yang secara luas dianggap sebagai kandidat terdepan:
-
Mojtaba Khamenei: Putra kedua Ayatollah Ali Khamenei ini secara luas dianggap sebagai kandidat utama dan memiliki pengaruh politik yang signifikan selama lebih dari 27 tahun. Ia diyakini telah dipersiapkan untuk kepemimpinan dengan persetujuan ayahnya dan memegang pengaruh penting di balik layar. Namun, ada laporan yang saling bertentangan, dengan beberapa sumber mengklaim bahwa Mojtaba tidak termasuk di antara tiga nama yang secara spesifik diajukan Khamenei kepada Majelis Ahli, sementara sumber lain tetap menyebutnya sebagai kandidat terkuat. Hal ini menunjukkan dinamika internal yang kompleks dan informasi yang masih terbatas.
-
Hashem Hosseini Bushehri: Ulama senior ini dikenal memiliki hubungan dekat dengan Ayatollah Ali Khamenei. Bushehri saat ini menjabat sebagai wakil ketua pertama Majelis Ahli, kepala Masyarakat Seminari Qom, dan pemimpin salat Jumat di Qom. Kedekatannya dengan Pemimpin Tertinggi dan posisi strategisnya dalam struktur keagamaan dan politik Iran menjadikannya kandidat yang kuat.
-
Alireza Arafi: Arafi adalah orang kepercayaan Ayatollah Ali Khamenei dan memegang beberapa posisi penting, termasuk wakil ketua kedua Majelis Ahli, anggota Dewan Wali, dan pemimpin salat Jumat di Qom. Pengaruhnya yang luas dalam struktur kekuasaan agama dan politik Iran meningkatkan peluangnya untuk masuk dalam daftar calon pengganti Khamenei.
Pemilihan pemimpin tertinggi adalah masalah yang sangat sensitif di Iran, dan Majelis Ahli biasanya membutuhkan musyawarah berbulan-bulan untuk mengambil keputusan. Namun, di bawah kondisi ancaman serius ini, Khamenei berharap proses ini dapat dipercepat untuk mencegah kekosongan kekuasaan yang dapat memperburuk krisis.
Reaksi Dunia: Peringatan Keras dan Seruan Damai
Langkah-langkah antisipatif Khamenei dan eskalasi konflik Iran-Israel-AS telah memicu reaksi keras dari berbagai aktor global. Presiden AS Donald Trump, di satu sisi, sempat menyatakan bahwa Khamenei adalah “target yang mudah” namun “aman di sana,” dan AS “tidak akan mengeluarkannya, setidaknya tidak untuk saat ini.” Namun, tindakan militer AS terhadap fasilitas nuklir Iran menunjukkan seberapa tipis garis antara retorika dan aksi.
Rusia, sekutu dekat Iran, telah melayangkan peringatan keras. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menegaskan bahwa Rusia akan merespons “dengan sangat buruk” apabila Khamenei terbunuh. Peskov meyakini bahwa pembunuhan Khamenei akan memicu gelombang aksi ekstremis dari dalam Iran, dan memperingatkan AS dan Israel untuk tidak “membuka kotak pandora.” Peringatan ini menyoroti kekhawatiran Rusia akan destabilisasi regional yang jauh lebih besar jika kepemimpinan Iran terguncang.
Sementara itu, Tiongkok mendesak agar gencatan senjata segera tercapai dan menegaskan bahwa masalah nuklir Iran harus diselesaikan melalui jalur politik dan diplomatik, bukan militer. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sendiri, dalam beberapa kesempatan, menyatakan bahwa perang Israel dan Iran hanya akan berhenti jika Khamenei terbunuh, yang semakin memanaskan situasi.
Semua reaksi ini mencerminkan kekhawatiran global yang mendalam akan potensi perang yang lebih besar di Timur Tengah, yang dapat memiliki dampak ekonomi, politik, dan kemanusiaan yang dahsyat di seluruh dunia.
Kesimpulan: Di Ambang Gejolak yang Tak Terduga
Langkah Ayatollah Ali Khamenei untuk menunjuk pengganti di tengah ancaman serangan yang melibatkan Israel dan dugaan keterlibatan Amerika Serikat adalah manifestasi nyata dari situasi geopolitik yang sangat rapuh di Timur Tengah. Ini bukan hanya tentang suksesi kekuasaan, tetapi tentang kelangsungan hidup sebuah rezim di bawah tekanan eksternal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dinamika antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat kini berada di ambang batas yang sangat tipis. Setiap tindakan, setiap pernyataan, memiliki potensi untuk memicu eskalasi yang tidak terkendali. Persiapan Khamenei untuk kemungkinan terburuk menunjukkan kesadaran akan ancaman eksistensial yang dihadapi Iran, sekaligus upaya untuk mempertahankan stabilitas internal dan warisannya.
Masa depan kawasan ini sangat tidak pasti. Apakah langkah-langkah antisipatif Khamenei akan berhasil menjamin transisi yang mulus, ataukah konflik yang memanas ini akan membuka “kotak pandora” yang diperingatkan Rusia? Dunia menanti dengan napas tertahan, berharap diplomasi dan akal sehat akan mengungguli agresi, demi mencegah gejolak yang dapat menghancurkan lebih dari sekadar perbatasan regional.
Bagaimana menurut Anda, apakah penunjukan pengganti oleh Khamenei ini akan berhasil menstabilkan Iran di tengah konflik, atau justru menambah kompleksitas situasi? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar!