Dunia sepak bola Indonesia kembali dihadapkan pada sebuah guncangan. Kabar breaking news – buntut kasus uang di Malut United, Yeyen Tumena dan Imran Nahumarury dinonaktifkan dari APSSI telah menyebar luas, memicu diskusi hangat tentang integritas dan profesionalisme dalam olahraga paling populer di Tanah Air ini. Keputusan tegas dari Asosiasi Pelatih Sepak Bola Seluruh Indonesia (APSSI) ini bukan sekadar penonaktifan biasa; ia adalah refleksi dari serangkaian peristiwa pelik di Malut United yang menyeret nama dua figur pelatih kenamaan. Artikel ini akan mengupas tuntas duduk perkara di balik kasus ini, menyoroti dampak yang ditimbulkannya, serta implikasi yang lebih luas bagi masa depan sepak bola nasional kita. Mengapa kasus ini terjadi, bagaimana APSSI menyikapinya, dan apa pelajaran berharga yang bisa dipetik dari insiden yang mencoreng nama baik ini? Mari kita selami lebih dalam.
Muasal Kisruh: Pelanggaran Berat di Balik Pemecatan dari Malut United
Pangkal permasalahan yang berujung pada penonaktifan Yeyen Tumena dan Imran Nahumarury dari APSSI bermula dari keputusan mengejutkan Malut United FC. Pada 16 Juni 2025, klub berjuluk Laskar Kie Raha itu secara resmi memecat Imran Nahumarury dari posisi pelatih kepala dan Yeyen Tumena sebagai Direktur Teknik. Keputusan ini sontak menjadi sorotan, mengingat keduanya dikenal sebagai sosok berpengalaman dengan rekam jejak mumpuni di kancah sepak bola nasional, termasuk pernah menjadi bagian dari Timnas Indonesia. Dari sisi prestasi, Malut United di bawah arahan mereka juga terbilang cukup kompetitif, bahkan berhasil bersaing di papan atas Liga 1 2024/2025 setelah promosi dari Liga 2.
Namun, manajemen Malut United menegaskan bahwa keputusan ini tidak diambil tanpa alasan. Wakil Manajer Malut United, Asghar Saleh, mengungkapkan adanya pelanggaran berat yang tidak dapat ditoleransi. Praktik-praktik tidak pantas ini, menurut Asghar, bahkan sudah terjadi sejak keduanya menangani tim di Liga 2. Manajemen klub sejatinya telah memberikan kesempatan dan bahkan meningkatkan kompensasi gaji hingga 300 persen saat promosi ke Liga 1, dengan harapan praktik tersebut tidak terulang. Namun, kekecewaan mendalam dirasakan karena pelanggaran itu justru “menjadi-jadi.”
Pelanggaran-pelanggaran yang dituduhkan kepada Yeyen Tumena dan Imran Nahumarury sangat serius dan mencoreng prinsip sportivitas serta integritas. Beberapa dugaan praktik curang yang diungkapkan oleh manajemen Malut United antara lain:
- Pemotongan Gaji dan “Setoran” Pemain: Ada pengakuan dari pemain yang merasa harus menyetor sejumlah uang agar bisa mendapatkan kesempatan bermain di lapangan. Praktik ini diduga melibatkan hampir seluruh pemain lokal.
- Pengambilan Fee Pemain: Selain setoran, dugaan pengambilan fee dari pemain juga terjadi, baik dari pemain lokal maupun asing. Asghar Saleh secara spesifik menyebutkan bahwa fee 10 persen untuk agen pemain asing justru diambil oleh Yeyen selaku Direktur Teknik. Akibatnya, agen kemudian memotong 10 persen dari uang muka (DP) pemain, yang membuat para pemain mengeluh karena nominal yang mereka terima kurang.
- Manipulasi Harga Pembelian Pemain: Ada indikasi “kongkalikong” dalam proses rekrutmen pemain. Pelatih kepala dan Direktur Teknik merekomendasikan pemain dengan harga yang jauh lebih tinggi dari nilai pasar sebenarnya. Misalnya, merekomendasikan pemain seharga Rp 200 juta padahal nilai sebenarnya hanya Rp 100 juta. Kelebihan uang inilah yang diduga “dicuri” dari manajemen klub.
- Penyelewengan Dana Ibadah: Tuduhan yang paling mencengangkan adalah dugaan penyelewengan uang ibadah pemain. Ini menunjukkan tingkat pelanggaran yang jauh melampaui masalah finansial semata, menyentuh ranah moral dan etika.
Manajemen Malut United menyatakan memiliki bukti kuat atas dugaan-dugaan ini. Imran Nahumarury, dalam perkembangannya, telah menyampaikan surat permohonan maaf secara tertulis kepada manajemen klub, mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya atau memberikan klarifikasi sepihak di media. Permintaan maaf ini diterima oleh Malut United dengan lapang dada, dan masalah dengan Imran dianggap selesai. Namun, situasi berbeda terjadi dengan Yeyen Tumena. Hingga saat ini, pihak Malut United menyebut Yeyen belum menunjukkan itikad baik atau respons serupa. Oleh karena itu, Malut United menyatakan kesiapan untuk menempuh jalur hukum apabila tidak ada penyelesaian secara baik-baik, demi menjaga integritas klub dan sepak bola Indonesia.
Respons APSSI: Menjaga Marwah Organisasi dan Profesi
Kasus yang menimpa Yeyen Tumena dan Imran Nahumarury di Malut United tak ayal menarik perhatian serius dari Asosiasi Pelatih Sepak Bola Seluruh Indonesia (APSSI). Keterlibatan kedua figur ini dalam struktur organisasi APSSI – Yeyen Tumena sebagai Ketua APSSI dan Imran Nahumarury sebagai pengurus di Badan Teknik Divisi Sepak Bola APSSI – menuntut APSSI untuk mengambil sikap tegas. Hal ini krusial untuk menjaga marwah dan integritas organisasi serta profesi pelatih secara keseluruhan.
Komite Eksekutif (Exco) APSSI segera menggelar rapat resmi secara virtual pada Selasa, 24 Juni 2025. Pertemuan penting ini dihadiri oleh enam dari tujuh anggota Exco, yaitu Emral Abus, Rahmad Darmawan, Bambang Nurdiansyah, Indra Sjafri, Mundari Karya, dan Fakhri Husaini. Hanya Djadjang Nurdjaman yang berhalangan hadir. Rapat tersebut secara spesifik membahas kasus yang menimpa Ketua APSSI, Yeyen Tumena, bersama Malut United, serta keterlibatan Imran Nahumarury.
Hasil dari rapat Exco APSSI adalah keputusan bulat untuk menonaktifkan sementara Yeyen Tumena dan Imran Nahumarury dari tugas-tugas mereka di APSSI. Keputusan ini tertuang dalam surat resmi APSSI Nomor: 1/APSSI/VI/2025 yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal PSSI, Yunus Nusi. Alasan utama di balik penonaktifan ini adalah agar kedua individu tersebut dapat fokus menyelesaikan persoalan hukum dan etika yang mereka hadapi tanpa mengganggu jalannya organisasi.
Rahmad Darmawan, salah satu anggota Exco APSSI, menyatakan dalam rilis resmi, “Saat ini, Coach Yeyen Tumena perlu fokus dan mendapatkan ketenangan dalam menghadapi situasi pelik. APSSI harus terlibat aktif dalam situasi ini dan memberikan solusi.” Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa penonaktifan ini bersifat sementara dan bertujuan untuk memberikan ruang bagi Yeyen dan Imran untuk menyelesaikan masalah pribadi mereka, sambil menjaga organisasi tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Sebagai konsekuensi dari penonaktifan Ketua APSSI, rapat Exco juga memutuskan untuk menunjuk Zuchli Imran Putra, yang sebelumnya menjabat di Divisi Legal APSSI, sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua APSSI. Penunjukan ini bersifat sementara hingga Kongres APSSI dapat diselenggarakan dalam waktu dekat untuk memilih Ketua dan struktur kepengurusan yang baru. Fakhri Husaini menambahkan, “Karena penunjukan ini bersifat sementara, kami berharap Coach Zuchli Imran Putra segera bekerja untuk mempersiapkan Kongres APSSI yang akan memilih Ketua APSSI dan struktur kepengurusan yang baru.”
Seluruh anggota Exco APSSI berharap permasalahan yang dihadapi Yeyen Tumena dan Imran Nahumarury dapat segera selesai, sehingga keduanya bisa kembali fokus berkarya sebagai pelatih sepak bola di Indonesia. Keputusan ini menunjukkan komitmen APSSI dalam menjaga standar etika dan integritas di antara para anggotanya, sekaligus memberikan pesan jelas bahwa organisasi tidak akan mentolerir praktik-praktik yang merugikan dunia sepak bola.
Akmal Marhali: Cerminan Praktik Lazim di Sepak Bola Indonesia?
Kasus yang menjerat Yeyen Tumena dan Imran Nahumarury ini, sayangnya, bukanlah fenomena baru dalam kancah sepak bola nasional. Pengamat sepak bola nasional sekaligus Koordinator Save Our Soccer, Akmal Marhali, menilai bahwa insiden di Malut United ini hanyalah puncak gunung es dari persoalan yang jauh lebih besar dan terstruktur. Menurut Akmal, praktik-praktik semacam “meminta uang agar bisa bermain” atau “pelatih dan personalia klub mengambil fee dari pemain” sudah lama menjadi rahasia umum.
Akmal Marhali bahkan secara terang-terangan menyebut bahwa praktik tidak etis ini terjadi di hampir semua level kompetisi, mulai dari Liga 1, Liga 2, hingga Liga 3 dan 4. Hal ini mengindikasikan adanya kelemahan sistemik dan kurangnya pengawasan yang efektif dalam ekosistem sepak bola Indonesia.
Penting untuk membedakan antara fee agen yang sah dan teratur dengan praktik “gratifikasi” atau “uang perantara” yang dilakukan oleh pelatih atau direktur teknik tanpa dasar hukum. Jika agen memiliki mekanisme dan aturan main yang jelas dalam mendapatkan fee atas jasanya, maka tindakan pelatih atau staf teknis yang mengambil bagian dari fee pemain atau bahkan meminta setoran langsung, masuk dalam kategori gratifikasi yang melanggar etika dan hukum. “Ini harus dibersihkan demi masa depan sepak bola yang sehat,” tegas Akmal.
Pernyataan Akmal Marhali ini memberikan konteks yang lebih luas terhadap kasus breaking news – buntut kasus uang di Malut United, Yeyen Tumena dan Imran Nahumarury dinonaktifkan dari APSSI. Ini bukan hanya tentang dua individu, melainkan tentang sistem yang memungkinkan praktik semacam ini bertahan dan bahkan mengakar. Pengungkapan kasus ini oleh Malut United dan respons cepat dari APSSI dapat menjadi momentum penting untuk melakukan pembersihan dan penataan ulang yang lebih serius di seluruh lini sepak bola Indonesia.
Profil Singkat Yeyen Tumena
Sebagai konteks, Yeyen Tumena adalah sosok yang cukup dikenal di dunia sepak bola Indonesia. Lahir di Padang, Sumatera Barat pada 16 Mei 1976, Yeyen Tumena adalah mantan bek Timnas Indonesia era 1990-an. Ia merupakan salah satu jebolan program Primavera PSSI yang melahirkan banyak talenta seperti Kurniawan Dwi Yulianto dan Bima Sakti. Sepanjang karier profesionalnya, ia pernah membela beberapa klub besar seperti PSM Makassar, Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, dan PSMS Medan. Kariernya sempat menurun pasca cedera parah pada tahun 1996 saat membela Timnas Indonesia melawan Uni Emirat Arab. Setelah pensiun sebagai pemain, Yeyen beralih ke dunia kepelatihan dan sempat menjadi asisten pelatih Timnas Indonesia serta Direktur Teknik Bhayangkara FC, sebelum akhirnya menjabat sebagai Ketua APSSI.
Dampak dan Implikasi Lebih Luas bagi Sepak Bola Indonesia
Kasus breaking news – buntut kasus uang di Malut United, Yeyen Tumena dan Imran Nahumarury dinonaktifkan dari APSSI ini memiliki dampak yang signifikan dan implikasi yang luas bagi seluruh ekosistem sepak bola Indonesia.
1. Penegasan Integritas Organisasi
Bagi APSSI, keputusan menonaktifkan Ketua dan salah satu pengurus pentingnya adalah langkah berani yang menunjukkan komitmen terhadap integritas. Ini mengirimkan pesan kuat bahwa organisasi profesi tidak akan melindungi anggotanya yang terbukti melakukan pelanggaran berat, bahkan jika mereka menduduki posisi tinggi. Langkah ini diharapkan dapat menjaga kepercayaan publik terhadap APSSI dan menjadi preseden bagi organisasi profesi lain dalam menindak anggotanya yang melanggar kode etik.
2. Peningkatan Profesionalisme Klub
Malut United telah menunjukkan ketegasan dalam menindak praktik-praktik ilegal di internal klub. Tindakan pemecatan dan ancaman jalur hukum (terhadap Yeyen Tumena) adalah sinyal bahwa manajemen klub serius dalam menjaga kebersihan dan profesionalisme. Ini menjadi contoh bagi klub-klub lain untuk melakukan audit internal dan menindak tegas setiap praktik yang mencoreng nama baik dan merugikan keuangan klub serta pemain. Kejujuran dan transparansi menjadi kunci bagi keberlanjutan sebuah klub profesional.
3. Perlindungan Pemain dan Atlet
Kasus ini menyoroti kerentanan para pemain, terutama pemain muda atau mereka yang kurang memiliki bargaining power, terhadap praktik pemotongan gaji atau permintaan setoran. Pengungkapan ini diharapkan dapat mendorong PSSI dan operator liga untuk menciptakan mekanisme perlindungan yang lebih kuat bagi para pemain, memastikan hak-hak mereka terpenuhi dan mereka tidak menjadi korban eksploitasi. Ini juga bisa menjadi pemicu bagi para pemain untuk berani melaporkan jika mengalami praktik serupa.
4. Dorongan untuk Reformasi Sistemik
Seperti yang disampaikan Akmal Marhali, kasus ini adalah cerminan dari masalah yang lebih dalam. Oleh karena itu, insiden ini harus menjadi momentum bagi PSSI dan seluruh pemangku kepentingan sepak bola Indonesia untuk melakukan reformasi sistemik. Ini mencakup peninjauan ulang regulasi transfer pemain, pengawasan terhadap agen, mekanisme pelaporan pelanggaran, serta penegakan hukum yang lebih tegas terhadap praktik gratifikasi dan manipulasi dalam sepak bola. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan yang transparan, adil, dan sehat bagi semua pihak.
5. Kepercayaan Publik
Pada akhirnya, serangkaian kejadian ini akan sangat memengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap sepak bola Indonesia. Skandal semacam ini dapat merusak citra olahraga dan menjauhkan sponsor serta penggemar. Sebaliknya, penanganan yang tegas dan transparan terhadap kasus-kasus seperti ini dapat mengembalikan kepercayaan publik dan menegaskan bahwa sepak bola Indonesia sedang berbenuh menuju arah yang lebih baik.
Kesimpulan: Momen Krusial untuk Integritas Sepak Bola Indonesia
Kasus breaking news – buntut kasus uang di Malut United, Yeyen Tumena dan Imran Nahumarury dinonaktifkan dari APSSI adalah sebuah peristiwa yang patut dicermati secara mendalam. Ini bukan sekadar berita pemecatan atau penonaktifan dua figur penting, melainkan sebuah cerminan dari tantangan integritas yang masih membayangi sepak bola Indonesia. Keputusan Malut United yang berani mengungkap dan menindak praktik curang, diikuti dengan respons cepat dan tegas dari APSSI, menunjukkan adanya keinginan untuk membersihkan rumah.
Meskipun Imran Nahumarury telah mengakui kesalahannya dan masalahnya dengan Malut United dianggap selesai, posisi Yeyen Tumena yang belum menunjukkan itikad baik menjadi sorotan. Ini menegaskan bahwa komitmen terhadap integritas harus datang dari setiap individu yang terlibat dalam industri ini.
Lebih dari itu, pengungkapan praktik “uang setoran” dan “pemotongan fee” yang disebut-sebut sebagai “lazim” oleh pengamat sepak bola, menjadi panggilan keras bagi seluruh elemen sepak bola nasional. Sudah saatnya sistem yang ada dievaluasi dan diperbaiki secara menyeluruh untuk mencegah terulangnya kasus serupa. Ini adalah momen krusial bagi sepak bola Indonesia untuk membuktikan bahwa ia bisa menjadi olahraga yang bersih, profesional, dan menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas. Hanya dengan komitmen kolektif terhadap transparansi dan akuntabilitas, sepak bola Indonesia dapat benar-benar tumbuh menjadi kekuatan yang disegani dan dicintai oleh seluruh rakyatnya. Mari kita berharap kasus ini menjadi titik balik menuju masa depan sepak bola yang lebih cerah dan berintegritas.