Yogyakarta, zekriansyah.com – Dunia gaming memang dinamis, penuh kejutan, tapi kadang juga menyimpan kepedihan. Bayangkan, game kesayangan yang sudah Anda beli dan mainkan dengan waktu serta uang, tiba-tiba lenyap begitu saja karena servernya dimatikan. Praktik “pembunuhan game” seperti ini memicu gelombang protes keras dari komunitas, yang kemudian melahirkan gerakan “Stop Killing Games”. Petisi yang menggaung ini bahkan sampai ke telinga para petinggi industri game, termasuk CEO Ubisoft, Yves Guillemot.
CEO Ubisoft angkat bicara mengenai petisi “Stop Killing Games” yang dipicu penutupan server *The Crew*, menyoroti perdebatan seputar keberlangsungan game digital.
Baru-baru ini, Guillemot memberikan tanggapan resmi terkait gerakan ini dalam sebuah rapat pemegang saham, dan pernyataannya langsung memicu perdebatan sengit. Apa sebenarnya yang ia katakan, dan mengapa responsnya menuai banyak kritik? Mari kita bedah lebih dalam.
Gerakan “Stop Killing Games”: Suara Hati Gamer yang Menggema
Gerakan Stop Killing Games (SKG) bukanlah sekadar keluhan biasa. Ini adalah sebuah petisi dan desakan serius dari komunitas gamer yang merasa hak mereka sebagai konsumen terenggut. Pemicu utamanya adalah keputusan Ubisoft untuk menutup server game balap populer mereka, The Crew, pada tahun 2024. Keputusan ini membuat banyak pemain yang telah membeli game tersebut kehilangan akses sepenuhnya, padahal mereka merasa telah “memiliki” game itu.
Petisi yang diinisiasi oleh YouTuber gaming Ross Scott ini berhasil mengumpulkan dukungan luar biasa, mencapai lebih dari 1,4 juta tanda tangan di seluruh Eropa. Tuntutan utama dari gerakan ini sederhana: mereka tidak meminta game online bertahan selamanya, tetapi ingin agar publisher menyediakan opsi seperti mode offline atau kemampuan untuk membuat server privat, sehingga pemain tetap bisa mengakses game yang sudah mereka beli, meskipun dukungan resmi dari perusahaan telah berakhir. Ini adalah upaya untuk menjaga warisan digital dan hak kepemilikan game yang semakin kabur di era digital.
Yves Guillemot: “Tidak Ada yang Abadi”
Dalam rapat pemegang saham Ubisoft, Yves Guillemot mendapat pertanyaan langsung mengenai petisi Stop Killing Games yang sedang viral ini. Ia menjawab dengan lugas, menyatakan bahwa game dan layanan digital pada akhirnya tidak akan bertahan selamanya.
“Kalian menyediakan layanan, tetapi pada akhirnya layanan itu akan berhenti operasional. Tidak ada yang abadi,” kata Guillemot, seperti dikutip dari transkrip rapat. Ia menambahkan bahwa Ubisoft, seperti publisher lain, terus berupaya meminimalkan dampak pada pemain, namun ada batasan dalam dukungan untuk semua game. “Dukungan untuk seluruh game tidak bisa bertahan selamanya. Tetapi itu menjadi masalah yang sedang kami atasi. Masalah ini menjadi sesuatu yang tengah ditanggapi industri, untuk meminimalkan dampak pada pemain.”
Guillemot juga menjelaskan bahwa seiring waktu, perangkat lunak dan tools yang digunakan untuk mengembangkan game live-service bisa menjadi usang atau tidak lagi tersedia. Ini menjadi alasan mengapa seringkali ada versi game baru (sekuel) yang dirilis, sebagai bentuk evolusi teknologi. Ia sempat menyebut upaya Ubisoft “membantu” gamer The Crew dengan promo The Crew 2 seharga $1 dan janji mode offline untuk The Crew Motorfest di masa depan sebagai bentuk komitmen mereka.
Reaksi Publik: Antara Kecewa dan Mencari Solusi Nyata
Pernyataan CEO Ubisoft tersebut, meski terkesan realistis dari sudut pandang bisnis, ternyata tidak mampu meredakan kekecewaan publik. Di media sosial, banyak netizen menilai tanggapan tersebut tidak menyentuh akar masalah yang dibawa gerakan SKG.
Beberapa poin kritik utama dari para gamer di antaranya:
- “Jualan layanan yang bisa menghilang tanpa peringatan terasa seperti scam.” Banyak yang merasa telah membayar penuh untuk produk, bukan sekadar lisensi sewa sementara.
- “Tidak ada yang ingin server game bertahan selamanya, tetapi masyarakat hanya ingin opsi agar bisa memainkan game secara offline dan juga opsi untuk membuat server privat.” Ini menegaskan bahwa tuntutan utama bukanlah keabadian server, melainkan akses berkelanjutan terhadap konten yang telah dibeli.
Isu ini juga menyoroti perbedaan pandangan mendasar antara konsumen dan sebagian besar publisher. Bagi konsumen, membeli game digital berarti memiliki hak untuk memainkannya kapan pun. Namun, bagi publisher, terutama game live service yang sangat bergantung pada server, ini adalah penyediaan layanan yang memiliki siklus hidup.
Asosiasi industri game di Eropa, Video Games Europe, bahkan sempat menyatakan bahwa aturan yang membatasi penutupan server bisa “membahayakan” industri, karena akan menambah biaya operasional dan risiko hukum. Ini menunjukkan betapa kompleksnya isu ini bagi semua pihak.
Masa Depan Game Digital: Antara Inovasi dan Pelestarian
Perdebatan mengenai Stop Killing Games ini membuka diskusi lebih luas tentang masa depan game digital dan bagaimana industri dapat menyeimbangkan inovasi dengan pelestarian. Beberapa solusi potensial yang terus dibahas meliputi:
- Mode Offline: Mengembangkan versi game yang bisa dimainkan tanpa koneksi internet, seperti yang dijanjikan Ubisoft untuk The Crew Motorfest.
- Pelestarian Game (Game Preservation): Upaya untuk mengarsipkan game lama agar tetap bisa dimainkan di masa depan, bahkan dengan teknologi emulasi.
- Merilis Source Code: Memberikan kode sumber game lama kepada komunitas agar mereka bisa terus mengembangkannya atau membuat server privat.
Meskipun CEO Ubisoft menegaskan bahwa isu ini adalah tantangan bagi seluruh industri, dan ada alasan kuat di balik penutupan server (biaya pemeliharaan, teknologi usang, penurunan jumlah pemain), tekanan dari gerakan Stop Killing Games menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk menemukan solusi yang lebih adil bagi konsumen.
Rapat pemegang saham Ubisoft sendiri juga mengungkap beberapa hal lain, seperti diskusi mengenai kontroversi “agenda woke” di Assassin’s Creed Shadows, pelajaran dari “kegagalan” penjualan Star Wars Outlaws, hingga kabar tentang game Ghost Recon terbaru yang sedang dikerjakan. Ini semua adalah bagian dari tantangan dan strategi Ubisoft dalam menghadapi pasar yang terus berubah.
Kesimpulan
Pernyataan Yves Guillemot tentang “tidak ada yang abadi” dalam konteks Stop Killing Games menjadi cerminan dari kompleksitas industri game digital saat ini. Di satu sisi, ada realitas biaya operasional dan perkembangan teknologi yang tak terhindarkan. Di sisi lain, ada hak dan ekspektasi konsumen yang merasa telah berinvestasi pada sebuah produk.
Gerakan Stop Killing Games telah berhasil menarik perhatian dan memicu diskusi penting tentang bagaimana kita memperlakukan game digital di masa depan. Semoga saja, dengan terus berjalannya dialog antara publisher, developer, dan komunitas gamer, solusi yang lebih baik dapat ditemukan. Tujuannya agar game kesayangan kita tidak hanya menjadi kenangan, tetapi juga bagian dari warisan digital yang bisa terus dinikmati oleh generasi mendatang. Keep gaming, gaes!
FAQ
Tanya: Apa itu gerakan “Stop Killing Games” dan mengapa muncul?
Jawab: Gerakan “Stop Killing Games” adalah desakan komunitas gamer yang menentang penutupan server game yang membuat pemain kehilangan akses, dipicu oleh penutupan server game The Crew oleh Ubisoft.
Tanya: Siapa saja yang merespons gerakan “Stop Killing Games” ini?
Jawab: Gerakan ini telah sampai ke telinga petinggi industri game, termasuk CEO Ubisoft, Yves Guillemot, yang telah memberikan tanggapan resmi.
Tanya: Apa tuntutan utama dari petisi “Stop Killing Games”?
Jawab: Tuntutan utama petisi ini adalah agar game yang sudah dibeli oleh konsumen tidak lagi dimatikan servernya sehingga pemain tetap bisa mengaksesnya.