Berobat di Malaysia Kini Tak Lagi Semurah Dulu, Pasien Asing Kena Pajak 6%

Dipublikasikan 5 Juli 2025 oleh admin
Finance

Yogyakarta, zekriansyah.com – Bagi masyarakat Indonesia, berobat ke Malaysia sudah jadi pilihan umum. Selain dikenal punya fasilitas kesehatan yang mumpuni, biayanya juga seringkali dianggap lebih terjangkau dibanding di dalam negeri atau negara tetangga lain seperti Singapura. Namun, situasi ini akan sedikit berubah. Mulai 1 Juli 2025, Pemerintah Malaysia resmi memberlakukan pajak layanan sebesar 6% untuk warga negara asing (WNA) yang menggunakan jasa layanan kesehatan swasta di sana.

Berobat di Malaysia Kini Tak Lagi Semurah Dulu, Pasien Asing Kena Pajak 6%

Ilustrasi: Senyum pasien asing memudar saat biaya berobat di Malaysia dipastikan naik akibat pajak layanan 6% mulai Juli 2025.

Kebijakan baru ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan, terutama bagi Anda yang mungkin punya rencana berobat ke negeri jiran. Apakah berobat di Malaysia masih jadi pilihan yang menarik? Bagaimana dampaknya bagi pasien dari Indonesia? Artikel ini akan mengupas tuntas kebijakan pajak baru ini dan pengaruhnya terhadap biaya berobat di Malaysia, terutama bagi WNA. Jadi, simak sampai habis untuk mendapatkan informasi lengkapnya!

Pajak 6% Resmi Diberlakukan untuk Pasien Asing di Malaysia

Pemerintah Malaysia melalui Kementerian Keuangan telah menetapkan perluasan cakupan Pajak Penjualan dan Layanan (Sales and Services Tax/SST) yang salah satunya menyasar sektor layanan kesehatan swasta. Aturan ini mulai berlaku efektif pada 1 Juli 2025.

Pajak sebesar 6% ini akan dikenakan kepada WNA yang menjalani pengobatan, pengobatan tradisional, serta layanan kesehatan terkait lainnya seperti fisioterapi dan terapi wicara. Namun, perlu diingat, aturan ini hanya berlaku di fasilitas kesehatan swasta yang memiliki pendapatan tahunan di atas RM1,5 juta.

Penting untuk dicatat:

  • Siapa yang dikenai pajak? Hanya warga negara asing (WNA).
  • Jenis layanan apa? Pengobatan umum, pengobatan tradisional (Melayu, Tiongkok, India, Islam, homeopati, osteopati), dan layanan kesehatan sekutu di fasilitas swasta.
  • Siapa yang dikecualikan? Seluruh warga negara Malaysia (lokal) tetap dibebaskan dari pajak ini, termasuk untuk layanan pengobatan tradisional.

Ini Alasan Malaysia Kenakan Pajak Layanan Kesehatan

Pengenaan pajak ini bukan tanpa alasan. Pemerintah Malaysia, di bawah strategi “Madani”, memiliki beberapa tujuan utama di balik kebijakan ini:

  1. Memperkuat Posisi Fiskal Negara: Pajak ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara.
  2. Memperluas Basis Penerimaan Negara: Mencari sumber pendapatan baru di luar sektor-sektor tradisional.
  3. Melindungi Warga Lokal: Kebijakan ini dirancang agar tidak membebani biaya kesehatan tambahan bagi warga negara Malaysia sendiri. Pendapatan dari pajak ini juga akan digunakan untuk memperbaiki sistem perlindungan sosial tanpa membebani rakyatnya.

Wisata Medis Malaysia Hadapi Tantangan Baru

Malaysia tak bisa dipungkiri adalah salah satu destinasi utama wisata medis di Asia. Setiap tahun, banyak pasien dari berbagai negara, termasuk Indonesia, Timur Tengah, dan negara-negara Barat, berbondong-bondong mencari layanan kesehatan berkualitas dengan harga yang lebih kompetitif di sana. Industri wisata medis Malaysia bahkan mencatat pendapatan lebih dari RM2 miliar pada tahun 2024, didominasi oleh layanan seperti operasi jantung, bedah ortopedi, hingga perawatan kosmetik.

Namun, penerapan pajak 6% ini tentu menjadi sorotan. Asosiasi Rumah Sakit Swasta Malaysia (APHM) telah menyatakan kekhawatirannya. Mereka menghadapi tantangan operasional dalam menerapkan aturan ini secara tiba-tiba.

“APHM telah mengirimkan permintaan resmi kepada Kementerian Keuangan untuk mempertimbangkan penundaan implementasi demi memastikan transisi yang lebih mulus dan menghindari gangguan pada layanan pasien,” tulis pernyataan resmi APHM.

APHM juga meminta kejelasan lebih lanjut, seperti apakah pajak ini berlaku untuk biaya profesional tenaga medis, serta status WNA yang sudah tinggal di Malaysia dalam jangka panjang. Meskipun mendukung perluasan basis pajak pemerintah, mereka berharap tetap ada diskusi demi menjaga kualitas pelayanan dan keberlanjutan industri wisata medis.

Dampak ke Pasien Indonesia: Tetap Pilihan Utama atau Berpikir Dua Kali?

Indonesia merupakan salah satu “penyumbang” pasien wisata medis terbesar bagi Malaysia. Data menunjukkan, sebanyak 2 juta WNI memilih berobat ke luar negeri pada tahun 2023, di mana 1 juta di antaranya memilih Malaysia.

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) memprediksi akan ada sedikit penurunan jumlah pasien asal Indonesia, terutama dari kalangan yang sangat sensitif terhadap harga.

“Bagi kelompok yang mempertimbangkan biaya secara serius, kebijakan ini bisa membuat mereka berpikir dua kali sebelum berobat ke Malaysia,” ujar dr. Daniel Budi Wibowo, anggota Kompartemen Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan PERSI.

Namun, dr. Daniel juga menambahkan bahwa dampak pajak ini mungkin tidak signifikan bagi pasien dari kelompok menengah atas yang cenderung tidak terlalu mempermasalahkan biaya pengobatan. Mereka tetap akan mencari layanan kesehatan terbaik di luar negeri.

Uniknya, meskipun ada tambahan pajak 6%, PERSI menilai tarif layanan kesehatan di Malaysia masih lebih terjangkau dibandingkan dengan negara tujuan medis lain seperti Singapura.

Secara umum, pasien Indonesia yang berobat ke Malaysia terbagi menjadi dua kelompok:

  • Kelompok Pertama: Mereka yang kurang percaya pada mutu layanan kesehatan dalam negeri. Faktor kepercayaan ini membuat mereka cenderung tetap berangkat.
  • Kelompok Kedua: Mereka yang mencari pengobatan berkualitas dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan rumah sakit swasta di Indonesia. Kelompok ini akan lebih rasional dalam berhitung sebelum mengambil keputusan.

Dulu Jadi Favorit, Apa yang Bikin Malaysia ‘Murah’ di Mata WNI?

Sebelum kebijakan pajak 6% ini, Malaysia memang menjadi magnet bagi WNI untuk berobat. Berbagai alasan melatarbelakangi pilihan ini:

  • Biaya yang Lebih Terjangkau: Banyak WNI merasa biaya berobat di Malaysia jauh lebih murah, bahkan bisa 30% lebih murah dari Jakarta atau 50% lebih murah dari Singapura untuk prosedur yang sama. Salah satu faktor pemicu “murahnya” biaya di Malaysia adalah kebijakan pemerintah mereka yang tidak mengenakan pajak untuk alat-alat kesehatan modern yang masuk ke Penang. Berbeda dengan Indonesia di mana alat kesehatan masih dikenakan pajak.
  • Pelayanan Cepat dan Efisien: Pasien seringkali tak perlu antre lama, dan hasil pemeriksaan bisa keluar dalam hitungan jam.
  • Akurasi Diagnosis Tinggi: Dilengkapi dengan alat kesehatan canggih dan tenaga medis profesional, tingkat akurasi diagnosis di Malaysia dianggap sangat tinggi, menumbuhkan kepercayaan pasien.
  • Fasilitas Lengkap dan Modern: Rumah sakit di Malaysia memiliki kelengkapan fasilitas yang memadai untuk berbagai jenis pengobatan.
  • Petugas Komunikatif dan Humanis: Banyak dokter dan perawat di rumah sakit Malaysia, terutama di Penang, yang bisa berbahasa Indonesia. Selain itu, ada kesan humanis karena pasien tidak dipaksa membeli obat di farmasi rumah sakit yang biasanya lebih mahal, melainkan disarankan membeli di apotek luar.
  • Harga Obat Lebih Murah: Kementerian Kesehatan RI sendiri mengakui bahwa harga obat di Indonesia bisa 1,5 hingga 5 kali lebih mahal dibanding Malaysia, terutama untuk obat generik branded dan obat inovatif/paten.

Dengan adanya pajak 6% ini, biaya berobat di Malaysia memang tidak lagi “semurah” dulu bagi pasien asing. Namun, jika dibandingkan dengan destinasi wisata medis lain yang lebih mahal seperti Singapura, Malaysia masih menawarkan daya tarik biaya yang kompetitif.

Kesimpulan

Kebijakan pajak 6% untuk layanan kesehatan swasta bagi WNA di Malaysia mulai 1 Juli 2025 menandai era baru dalam industri wisata medis di sana. Meskipun pemerintah Malaysia memiliki tujuan fiskal yang jelas dan ingin melindungi warganya, kebijakan ini menimbulkan tantangan bagi rumah sakit swasta dan memunculkan pertanyaan di kalangan pasien asing, termasuk dari Indonesia.

Bagi Anda yang berencana berobat ke Malaysia, kenaikan biaya 6% ini perlu diperhitungkan. Namun, perlu diingat bahwa secara keseluruhan, Malaysia mungkin masih menawarkan biaya yang lebih kompetitif dibandingkan beberapa negara lain. Di sisi lain, ini juga menjadi momentum bagi Indonesia untuk terus berbenah, meningkatkan kualitas layanan, dan meninjau kembali kebijakan pajak di sektor kesehatan agar bisa menjadi tuan rumah yang nyaman bagi warganya sendiri. Kesehatan adalah hak dasar, dan akses terhadap layanan berkualitas dengan biaya terjangkau harus menjadi prioritas semua pihak.