Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa pergerakan dolar AS selalu menjadi sorotan? Sebagai mata uang cadangan dunia, fluktuasinya bisa memengaruhi kantong kita semua. Belakangan ini, ada satu isu besar yang kembali mencuat dan berpotensi mengguncang dominasi dolar AS: kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump. Ancaman tarif Trump yang masif diprediksi bisa memicu kejatuhan dolar depan mata dan mengubah peta ekonomi global.
Ilustrasi untuk artikel tentang Ancaman Kejatuhan Dolar AS di Depan Mata: Bagaimana Tarif Trump Mengguncang Ekonomi Global?
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa kebijakan tarif ini begitu mengguncang, siapa saja yang menjadi sasarannya, dan bagaimana dampaknya terhadap dolar AS serta mata uang lainnya, termasuk Rupiah kita. Yuk, pahami lebih dalam agar kita tidak kaget dengan perubahan yang mungkin terjadi!
Mengurai Ancaman Tarif Trump: Apa dan Siapa Kena Dampak?
Presiden Donald Trump kembali dengan retorika “America First” dan ancaman tarif yang agresif. Kali ini, rencana pemberlakuan tarif impor 10% secara menyeluruh pada impor dari negara-negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) menjadi sorotan utama. Kebijakan ini, menurut beberapa pengamat, merupakan bagian dari strategi Trump untuk “menyelamatkan penurunan strategis imperialisme AS.”
Kebijakan ‘America First’ dan Tarif 10%
Trump secara terbuka menegaskan bahwa negara-negara anggota BRICS akan dikenakan tarif 10% dan “mereka tidak akan menjadi anggota lagi dalam waktu yang lama” jika tidak menyepakati persyaratan perdagangan yang lebih menguntungkan bagi AS. Tujuan utamanya adalah untuk menekan negara-negara ini, khususnya China dan Rusia, dengan harapan AS bisa mendapatkan keuntungan lebih besar dari perdagangan global. Namun, para ahli justru berpendapat bahwa langkah ini bisa menjadi bumerang.
Daftar Negara yang Jadi Sasaran
Ancaman tarif Trump tidak hanya menyasar BRICS, tapi juga melebar ke banyak negara mitra dagang utama AS. Surat-surat peringatan tarif sudah mulai dikirimkan ke lebih dari 20 negara, termasuk:
- Jepang dan Korea Selatan: Dikenakan pungutan 25% untuk semua barang.
- Kanada: Terkena tarif 35% pada impor tertentu yang tidak tercakup dalam perjanjian USMCA, dengan alasan kekhawatiran fentanyl dan ketidakseimbangan perdagangan.
- Brasil: Dihantam tarif 50%, bahkan dikaitkan dengan perlakuan terhadap mantan presiden Jair Bolsonaro.
- Filipina: Tarif 20% untuk barang-barang impor.
- Negara Lain: Aljazair, Libya, Irak (30%), Brunei, Moldova (25%), dan beberapa negara kecil menghadapi tarif hingga 40%. Trump juga mengisyaratkan tarif umum 15-20% untuk negara yang belum mencapai kesepakatan.
Selain itu, Trump juga mengancam tarif spesifik industri, seperti 50% untuk tembaga impor, dan bea masuk yang dijanjikan untuk semikonduktor dan farmasi, bahkan bisa mencapai 200% untuk farmasi jika perusahaan tidak memindahkan produksi ke AS.
Guncangan untuk Dolar AS: Kenapa Dolar Bisa Terjatuh?
Ancaman tarif Trump ini bukan sekadar urusan perdagangan, melainkan punya efek domino yang berpotensi mengguncang status dolar AS sebagai mata uang cadangan dunia.
Dedolarisasi di Depan Mata?
Salah satu dampak paling signifikan dari kebijakan tarif ini adalah percepatan dedolarisasi. Politisi Kenya, Booker Omole, berpendapat bahwa alih-alih melemahkan negara-negara BRICS, tindakan tarif justru akan memperkuat strategi mereka untuk berdagang menggunakan mata uang nasional dan mengembangkan sistem keuangan alternatif. Artinya, ketergantungan global terhadap dolar AS bisa semakin berkurang.
Dilema Federal Reserve (The Fed)
Kebijakan tarif yang menaikkan biaya impor secara langsung bisa memicu inflasi di AS. Kondisi ini menempatkan Federal Reserve (The Fed) dalam dilema. Risalah rapat The Fed bulan Juni menunjukkan kekhawatiran yang berkembang di antara para pengambil kebijakan tentang dampak inflasi dari tarif. Meskipun demikian, pejabat The Fed juga menegaskan bahwa mereka “siap menunggu lebih banyak kejelasan tentang prospek inflasi dan aktivitas ekonomi” sebelum melakukan pemotongan suku bunga.
Pasar saat ini memprediksi kemungkinan pemotongan suku bunga 25 basis poin pada bulan September, namun para pejabat The Fed seperti Mary Daly dan Austan Goolsbee berpendapat bahwa tarif mungkin tidak menyebabkan lonjakan harga konsumen yang tajam karena bisnis akan beradaptasi. Namun, ketidakpastian ini tetap membuat investor gelisah.
Dolar sebagai ‘Safe Haven’ yang Goyah
Secara tradisional, dolar AS dianggap sebagai aset safe haven (tempat berlindung aman) saat pasar global dilanda ketidakpastian. Namun, ancaman tarif Trump yang terus-menerus justru menciptakan ketidakpastian baru, membuat daya tarik dolar sebagai safe haven sedikit goyah. Investor menjadi lebih berhati-hati dan mulai mencari alternatif lain, seperti emas atau mata uang lain yang dianggap lebih stabil.
Indeks Dolar AS (DXY) yang mengukur nilai Greenback terhadap enam mata uang utama, sempat menguat karena kekhawatiran risiko, namun juga menunjukkan pelemahan struktural dalam jangka panjang. Deutsche Bank bahkan mencatat adanya “keruntuhan berkelanjutan” di pasar mata uang dan obligasi AS.
Dampak Domino Tarif Trump pada Mata Uang Lain
Kebijakan tarif Trump tak hanya mengancam dolar AS, tapi juga memengaruhi pergerakan mata uang lain di seluruh dunia.
Rupiah dan Perlawanannya
Di tengah guncangan global, Rupiah kita menunjukkan pergerakan yang menarik. Awalnya sempat tertekan, namun kemudian berhasil menguat. Pada 8 Juli 2025, Rupiah bahkan ditutup menguat di level Rp16.205 per dolar AS. Meskipun Indonesia juga terkena dampak dengan penetapan tarif resiprokal 32% yang akan berlaku 1 Agustus, mundurnya waktu pemberlakuan ini memberi kesempatan pemerintah untuk bernegosiasi.
Analis melihat bahwa penguatan Rupiah ini sebagian dipengaruhi oleh kekhawatiran pasar terhadap dimulainya kembali perang dagang dan ketidakpastian yang diciptakan oleh tarif Trump. Investor mungkin melihat Rupiah sebagai salah satu mata uang yang berpotensi stabil di tengah gejolak ini, meskipun sentimen kehati-hatian tetap ada.
Euro, Yen, dan Emas
- Euro: Mata uang bersama Uni Eropa ini cenderung menguat terhadap dolar AS, mendekati level tertinggi tiga tahun. Investor memindahkan dananya ke pasar Eropa di tengah krisis kepercayaan terhadap dolar.
- Yen: Mata uang Jepang ini menunjukkan volatilitas. Sempat melemah terhadap dolar, namun ada juga ekspektasi penguatan yen setelah pejabat keuangan Jepang dan AS membahas kebijakan mata uang.
- Emas: Logam mulia ini menjadi salah satu pemenang utama di tengah ketegangan perdagangan. Harga emas melonjak karena permintaannya sebagai safe haven meningkat drastis, menembus level $3.340 dan bahkan mendekati $3.400. Ini menunjukkan bahwa investor mencari perlindungan dari risiko inflasi dan ketidakpastian yang disebabkan oleh tarif.
Kesimpulan
Kebijakan tarif Trump kembali menjadi pemicu gejolak di pasar global, dan ancaman kejatuhan dolar depan mata bukan lagi sekadar isapan jempol. Dampak domino dari tarif ini sangat kompleks, memengaruhi tidak hanya perdagangan internasional tetapi juga stabilitas mata uang dan kebijakan moneter bank sentral di seluruh dunia.
Meski ada kekhawatiran, setiap gejolak juga membuka peluang. Pergerakan Rupiah yang relatif stabil, penguatan Euro, dan lonjakan harga emas adalah contoh bagaimana pasar beradaptasi. Kita semua perlu terus memantau perkembangan ini, karena dinamika dolar AS dan tarif Trump akan terus menjadi topik hangat yang memengaruhi prospek ekonomi global dan tentu saja, kondisi finansial kita.
FAQ
Tanya: Apa dampak kebijakan tarif Trump terhadap nilai dolar AS?
Jawab: Kebijakan tarif Trump berpotensi memicu kejatuhan dolar AS karena dapat mengganggu stabilitas ekonomi global dan mengurangi kepercayaan terhadap mata uang tersebut.
Tanya: Mengapa negara-negara BRICS menjadi sasaran kebijakan tarif Trump?
Jawab: Trump menargetkan negara-negara BRICS sebagai bagian dari strategi “America First” untuk menegosiasikan ulang persyaratan perdagangan yang dianggapnya lebih menguntungkan bagi Amerika Serikat.
Tanya: Bagaimana potensi kejatuhan dolar AS dapat memengaruhi ekonomi Indonesia?
Jawab: Kejatuhan dolar AS dapat memengaruhi ekonomi Indonesia melalui fluktuasi nilai tukar Rupiah, perubahan harga komoditas ekspor, dan potensi perlambatan arus investasi global.