Gejolak geopolitik di Timur Tengah kembali memanas, menyeret perhatian dunia pada salah satu titik paling krusial bagi pasokan energi global: Selat Hormuz. Di tengah eskalasi konflik antara Iran, Israel, dan campur tangan Amerika Serikat, ancaman penutupan selat vital ini telah memicu kekhawatiran serius, bahkan hingga memicu respons panik Iran tutup Selat Hormuz, Trump perintahkan DoE geber bor minyak. Perintah tegas dari mantan Presiden AS Donald Trump untuk menggenjot pengeboran minyak dalam negeri menjadi indikasi nyata betapa gentingnya situasi ini. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa Selat Hormuz begitu penting, dampak potensial penutupannya, serta bagaimana Washington dan Jakarta menyikapi ancaman yang bisa mengguncang stabilitas ekonomi global.
Konflik Timur Tengah Memanas: Akar Ketegangan Iran-Israel-AS
Ketegangan di Timur Tengah telah mencapai titik didih baru, dengan eskalasi konflik antara Israel dan Iran yang kini semakin diperparah oleh keterlibatan langsung Amerika Serikat. Rangkaian serangan dan balasan telah menciptakan gelombang ketidakpastian yang merambah ke berbagai sektor, terutama pasar energi.
Eskalasi Serangan dan Balasan
Pemicu utama ketegangan terbaru adalah serangan Israel yang disusul oleh intervensi militer AS. Amerika Serikat melancarkan serangan terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran, yaitu Natanz, Fordo, dan Isfahan. Tindakan ini merupakan respons atas serangan sebelumnya yang dilancarkan oleh Israel, menandai peningkatan signifikan dalam keterlibatan AS di medan konflik.
Sebagai balasan, Iran tidak tinggal diam. Teheran meluncurkan serangan rudal ke pangkalan militer AS di Al Udeid, Qatar. Meskipun seorang pejabat pertahanan AS menyatakan tidak ada korban jiwa dan insiden tersebut tidak mengganggu infrastruktur minyak utama, tindakan Iran ini digambarkan sebagai “langkah terukur” yang bertujuan untuk “menyelamatkan muka” tanpa memicu konflik yang lebih luas. Menariknya, setelah serangan Iran ini, harga minyak dunia justru sempat mengalami penurunan tajam lebih dari 6 persen. Ini terjadi karena pasar menilai ketegangan tidak separah yang diperkirakan dan serangan tersebut tidak mengganggu pengiriman atau produksi minyak utama. Namun, penurunan ini tidak menghilangkan kekhawatiran akan potensi lonjakan harga di masa depan.
Keterlibatan AS dalam serangan ini juga menuai kritik keras dari Kongres AS. Sejumlah anggota Kongres dari Partai Demokrat dan Republik mengkritik Presiden Trump karena tidak berkonsultasi terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan militer. Mereka menyoroti pelanggaran terhadap Undang-Undang Kekuasaan Perang tahun 1973 yang mengharuskan konsultasi dengan Kongres sebelum mengerahkan Angkatan Bersenjata AS ke dalam situasi perang. Beberapa bahkan menyerukan pemakzulan Trump atas tindakannya yang dianggap membahayakan dan berpotensi menyeret AS ke dalam perang terbuka tanpa kepentingan keamanan nasional yang mendesak.
Selat Hormuz: Urat Nadi Minyak Dunia yang Terancam
Di tengah gejolak ini, perhatian global terpusat pada Selat Hormuz. Jalur laut sempit yang menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab ini bukan sekadar selat biasa; ia adalah urat nadi perdagangan minyak dunia.
- Pentingnya Strategis: Selat Hormuz merupakan jalur vital yang mengangkut sekitar 20 hingga 20,5 juta barel minyak per hari (BOPD), atau setara dengan 20 persen dari total konsumsi minyak global. Negara-negara anggota OPEC seperti Arab Saudi, Irak, Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Uni Emirat Arab sangat bergantung pada selat ini untuk mengekspor sebagian besar minyak mentah mereka. Selain minyak, Selat Hormuz juga menjadi akses utama bagi kapal pengangkut gas alam cair (LNG) dari Qatar, pengekspor LNG terbesar di dunia.
- Ancaman Berulang: Selama beberapa dekade, Iran telah berulang kali mengancam akan menutup selat ini setiap kali ketegangan geopolitik meningkat, menggunakannya sebagai alat tawar-menawar strategis. Meskipun Teheran belum pernah menindaklanjuti ancaman tersebut secara penuh, kali ini, media pemerintah Iran melaporkan bahwa parlemen telah mendukung rencana penutupan selat itu. Kendati demikian, keputusan akhir masih berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Iran.
- Dampak Ekonomi Mengerikan: Jika Selat Hormuz benar-benar ditutup, dampaknya bagi perekonomian dunia diprediksi akan sangat besar. Goldman Sachs memperkirakan harga minyak mentah Brent bisa melonjak hingga US$110 per barel. Bahkan, Bloomberg Economics memproyeksikan harga bisa melampaui US$130 per barel jika jalur pelayaran di selat tersebut terganggu secara signifikan. Ini akan jauh melampaui asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) banyak negara, termasuk Indonesia yang mengasumsikan harga minyak sekitar US$82 per barel.
Reaksi Washington: Perintah “Bor Sekarang!” dari Donald Trump
Melihat potensi bencana ekonomi yang akan terjadi jika Selat Hormuz ditutup, Presiden AS Donald Trump mengambil langkah cepat dengan mengeluarkan perintah yang sangat tegas kepada jajarannya.
Desakan Trump untuk Menjaga Harga Minyak Tetap Rendah
Dalam serangkaian unggahan di platform Truth Social miliknya, Trump menunjukkan kekhawatiran mendalam terhadap lonjakan harga minyak. Ia secara eksplisit memerintahkan Departemen Energi (DoE) AS untuk segera meningkatkan laju pengeboran minyak. “Bor sayang, bor. Maksud saya sekarang, meskipun tidak ada gangguan minyak besar setelah pemboman Iran,” tulis Trump.
Dalam unggahan lain, ia juga mendesak semua pihak untuk menahan harga minyak agar tidak melonjak: “Semua orang, pertahankan harga minyak tetap rendah, saya mengawasi! Kalian bermain sesuai keinginan musuh, jangan lakukan itu.” Desakan ini mencerminkan kekhawatiran Trump terhadap dampak kenaikan harga minyak terhadap ekonomi domestik AS, terutama daya beli konsumen yang sudah terbebani inflasi, serta implikasi politik menjelang pemilu. Kenaikan harga bensin dan bahan bakar jet akan menjadi beban berat bagi masyarakat dan dapat merugikan Partai Republik.
Dilema Departemen Energi AS (DoE)
Menanggapi perintah Trump, Menteri Energi AS Chris Wright menanggapi melalui platform X, menyatakan, “Kami akan melakukannya!” Namun, di balik respons yang lugas itu, terdapat dilema besar. Tidak segera jelas apa yang dapat dilakukan Departemen Energi AS secara langsung untuk meningkatkan pengeboran minyak.
Sebagian besar keputusan pengeboran di AS dibuat oleh perusahaan swasta, bukan pemerintah. Industri energi AS cenderung enggan melakukan ekspansi besar-besaran berdasarkan lonjakan harga sesaat akibat ketegangan geopolitik. Keputusan investasi biasanya didasarkan pada proyeksi harga jangka panjang, dan dalam beberapa tahun terakhir, harga West Texas Intermediate (WTI) bahkan sempat berada di bawah biaya produksi di beberapa lokasi, membuat perusahaan enggan berinvestasi besar-besaran pada pengeboran baru. Ini berarti, meskipun ada perintah dari Gedung Putih, dorongan untuk meningkatkan produksi tidak serta-merta dapat diimplementasikan secepat yang diinginkan Trump.
Jurus Pamungkas: Cadangan Minyak Strategis (SPR)
Jika gangguan pasokan minyak yang parah benar-benar terjadi, seperti penutupan Selat Hormuz, Amerika Serikat memiliki jurus pamungkas: memanfaatkan Cadangan Minyak Strategis (Strategic Petroleum Reserve/SPR). SPR adalah simpanan minyak mentah darurat terbesar di dunia, yang disimpan di gua-gua bawah tanah di Texas dan Louisiana.
Namun, kemampuan SPR untuk menahan guncangan besar juga terbatas. Saat ini, stok SPR telah susut menjadi sekitar 400 juta barel, hanya sekitar setengah dari kapasitas maksimumnya. Sejumlah analis memperingatkan bahwa sekalipun cadangan ini dilepas ke pasar, dampaknya mungkin tidak cukup untuk menggantikan potensi kehilangan jutaan barel minyak per hari jika Iran benar-benar menebar ranjau laut atau secara permanen mengganggu jalur pelayaran di Selat Hormuz. Hal ini menunjukkan bahwa opsi mitigasi AS juga memiliki batasan, dan situasi akan menjadi sangat genting jika ancaman penutupan Selat Hormuz benar-benar terwujud.
Dampak Global dan Kesiapan Indonesia Menghadapi Badai Ekonomi
Ancaman di Selat Hormuz dan respons panik dari AS memiliki konsekuensi yang jauh melampaui batas-batas Timur Tengah, memicu ketidakpastian di pasar global dan menuntut kesiapsiagaan dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Fluktuasi Pasar Minyak dan Ketidakpastian Global
Setelah serangan Israel yang disusul oleh AS, harga minyak dunia melonjak lebih dari 9 persen, menyentuh level tertinggi dalam hampir lima bulan. Minyak mentah jenis Brent sempat naik menjadi US$81,40 per barel, dan West Texas Intermediate (WTI) AS mendekati US$78,40. Meskipun kemudian terjadi sedikit penurunan seiring meredanya kekhawatiran akan gangguan pasokan dalam waktu dekat, harga minyak global secara keseluruhan tetap sekitar 10% lebih tinggi dibandingkan posisi sebelum konflik dimulai.
Dana Moneter Internasional (IMF) telah memperingatkan bahwa konflik ini dapat memicu “dampak mengerikan” bagi ekonomi global, tidak hanya di sektor energi tetapi juga pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Selain harga minyak, ketegangan ini juga menyebabkan kekacauan penerbangan, dengan banyak maskapai membatalkan atau mengalihkan rute di Timur Tengah. Mata uang negara-negara di kawasan tersebut juga menunjukkan fluktuasi, dengan Shekel Israel menguat sementara mata uang lain seperti Suriah dan Qatar mengalami tekanan.
Ekonomi Indonesia di Garis Depan
Bagi Indonesia, implikasi konflik ini sangat nyata dan memerlukan kesigapan. Menteri Energi dan Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan kewaspadaan serius atas rencana penutupan Selat Hormuz, mengingat sebagian besar kebutuhan minyak Indonesia masih dipenuhi melalui impor. Bahlil bahkan menggambarkan kondisi ini sebagai “mengerikan” jika terjadi.
Penutupan Selat Hormuz dapat memicu serangkaian dampak negatif bagi perekonomian Indonesia:
- Lonjakan Harga Energi: Kenaikan harga minyak dunia akan langsung berdampak pada harga bahan bakar di dalam negeri, membebani konsumen dan industri.
- Inflasi: Kenaikan harga energi akan memicu inflasi, mengurangi daya beli masyarakat.
- Guncangan Pasar Keuangan: Volatilitas harga minyak dan ketidakpastian global dapat menyebabkan guncangan di pasar keuangan domestik, termasuk pelemahan nilai tukar Rupiah dan penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). IHSG Bursa Efek Indonesia bahkan sempat mengalami penurunan signifikan akibat kekhawatiran investor.
- Peningkatan Biaya Logistik: Kenaikan war risk premium di jalur pelayaran akan meningkatkan biaya logistik dan pengiriman barang.
- Ancaman Ekspor: Konflik ini berpotensi mengancam ekspor komoditas utama Indonesia seperti batu bara dan minyak kelapa sawit (CPO) karena penurunan permintaan global.
Langkah Mitigasi Pemerintah dan Korporasi
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu), terus memantau dampak perang terhadap APBN dan menyiapkan langkah mitigasi. APBN dioptimalkan sebagai shock absorber untuk meredam dampak guncangan eksternal. Kemenkeu menyatakan bahwa dampak perang saat ini masih aman terhadap perekonomian domestik, mengingat harga minyak Brent masih di bawah asumsi APBN.
Namun, para ekonom dan pemerintah juga menyarankan beberapa langkah strategis:
- Peningkatan Cadangan Energi: Memperkuat cadangan energi nasional untuk menghadapi potensi gangguan pasokan.
- Diversifikasi Sumber Energi: Mengurangi ketergantungan pada satu jenis energi atau satu wilayah pasokan.
- Penguatan Cadangan Devisa: Memperkuat cadangan devisa untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.
- Fokus Kebijakan Fiskal: Menjaga kebijakan fiskal agar tetap kondusif untuk menjaga konsumsi rumah tangga dan aktivitas ekonomi.
Di sisi korporasi, PT Pertamina International Shipping (PIS) telah memperketat protokol keselamatan dan menyiapkan jalur alternatif untuk memastikan kelancaran pengangkutan energi di kawasan rawan seperti Selat Hormuz. Laporan tentang dua kapal tanker minyak yang melakukan manuver putar balik di Selat Hormuz setelah serangan udara AS ke Iran mengindikasikan bahwa perubahan rute pelayaran sudah menjadi pertimbangan serius.
Untuk jangka panjang, pemerintah Indonesia, di bawah arahan Presiden Prabowo, berkomitmen untuk meningkatkan lifting minyak domestik. Ini adalah pekerjaan berat dan membutuhkan waktu, namun dianggap krusial agar Indonesia tidak terus bergantung pada impor minyak dan gas dari negara lain.
Kesimpulan
Ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Iran, di tengah konflik geopolitik yang memanas antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat, adalah manifestasi nyata dari kerapuhan ekonomi global. Perintah “bor sekarang!” dari Donald Trump mencerminkan kepanikan akan potensi lonjakan harga minyak yang dapat memicu krisis ekonomi. Meskipun respons AS terbatas oleh dinamika pasar swasta dan cadangan strategis yang menyusut, urgensi untuk menjaga stabilitas pasokan energi sangat terasa.
Bagi Indonesia, yang sangat bergantung pada impor minyak, situasi ini menghadirkan tantangan ekonomi yang signifikan, mulai dari inflasi hingga guncangan pasar keuangan. Namun, dengan langkah mitigasi proaktif dari pemerintah dan korporasi, serta komitmen jangka panjang untuk meningkatkan produksi energi domestik, Indonesia berupaya meminimalisir dampak yang tak terhindarkan.
Dunia kini menahan napas, menanti keputusan Dewan Keamanan Nasional Iran mengenai Selat Hormuz. Masa depan harga minyak, stabilitas ekonomi global, dan kesejahteraan banyak negara akan sangat bergantung pada bagaimana ketegangan geopolitik ini berkembang. Tetaplah terinformasi, karena dampaknya akan terasa di setiap sudut dunia.