Konflik yang membara antara Israel dan Iran telah mencengkeram perhatian dunia selama dua belas hari terakhir, menciptakan ketidakpastian geopolitik yang signifikan. Namun, di tengah pusaran eskalasi dan harapan akan de-eskalasi, muncul dinamika yang paling mengejutkan: 7 update perang Iran-Israel, Trump murka ke Israel-tiba-tiba bela Iran. Pergeseran sikap Presiden Amerika Serikat Donald Trump dari pendukung setia Israel menjadi kritikus tajam yang bahkan membela Iran, telah memicu gelombang pertanyaan dan analisis mendalam. Artikel ini akan mengupas tuntas perkembangan krusial yang membentuk narasi kompleks ini, menyoroti setiap lapisan ketegangan, manuver diplomatik, dan implikasi globalnya.
Dari gencatan senjata yang goyah hingga insiden tragis yang merenggut nyawa ilmuwan nuklir, serta dampak ekonomi yang terasa hingga Wall Street, kita akan menelusuri bagaimana Timur Tengah berada di ambang ketidakpastian. Yang paling menarik adalah bagaimana seorang tokoh sentral seperti Donald Trump, dengan gaya komunikasi yang khas dan tak terduga, justru menjadi penentu arah yang kerap kali kontradiktif, membingungkan sekutu dan lawan sekaligus.
Gencatan Senjata yang Ilusif: Proklamasi Trump di Tengah Kebingungan Lapangan
Pada Selasa, 24 Juni 2025, dunia dikejutkan oleh pengumuman Presiden AS Donald Trump di platform Truth Social miliknya. Ia menyatakan bahwa Israel dan Iran telah menyetujui gencatan senjata total setelah 12 hari pertempuran sengit. “SELAMAT UNTUK SEMUA PIHAK!” tulis Trump, mengklaim kesepakatan akan berlaku dalam hitungan jam dan menandai berakhirnya perang. Israel, melalui juru bicara Kementerian Pertahanan Letkol Ariel Mizrachi, mengklaim telah mencapai semua tujuan militernya, termasuk menyingkirkan ancaman nuklir dan rudal balistik Iran, seraya menyatakan persetujuan terhadap usulan gencatan senjata tersebut. Di sisi Iran, Presiden Masoud Pezeshkian juga menegaskan kesediaan Teheran mematuhi kesepakatan, asalkan Israel menahan diri.
Namun, realitas di lapangan jauh dari klaim damai tersebut. Serangan terakhir sebelum gencatan senjata justru menjadi ironi yang menyayat hati. Menjelang detik-detik gencatan senjata yang diumumkan, Israel masih melancarkan serangan udara yang menghancurkan instalasi radar Iran. Ironisnya, tindakan ini terjadi setelah percakapan telepon antara Presiden Trump dan PM Netanyahu, di mana Trump dikabarkan sempat meminta Netanyahu untuk tidak menyerang. Kantor Perdana Menteri Israel menyatakan telah menahan diri dari serangan lebih lanjut setelah panggilan itu. Namun, hampir bersamaan, media pemerintah Iran melaporkan gelombang rudal balibalan yang menghantam Israel, menyebabkan empat orang tewas dan dua luka-luka di Beersheba, Israel selatan. Kementerian Kesehatan Iran mencatat setidaknya 610 warga sipil tewas selama konflik, termasuk ilmuwan nuklir Mohammad Reza Seddighi Saber.
Kebingungan melanda. Mantan Duta Besar AS untuk Israel, Dan Shapiro, bahkan mencuit di X, “Sangat membingungkan! Apakah Israel memiliki 12 jam lagi untuk menyerang berdasarkan pengumuman pertamanya? Atau apakah mereka seharusnya dalam gencatan senjata sekarang? Bahkan setelah kematian di Beersheva dan rentetan Iran setelah tenggat waktu? Tidak ada yang tahu!”
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, memperkeruh suasana dengan menyatakan bahwa tidak ada “kesepakatan” resmi terkait gencatan senjata, meski ia memberi sinyal bahwa Iran “tidak berniat melanjutkan respons” jika Israel menghentikan serangannya. Ini menunjukkan adanya perbedaan interpretasi atau bahkan ketidaksepahaman mendasar antara klaim Trump dan posisi resmi Iran.
Trump ‘Murka’ pada Israel: Pergeseran Sikap yang Mengejutkan
Puncak dari drama geopolitik ini adalah kemarahan terbuka Donald Trump terhadap Israel. Trump kecam Israel di tengah gencatan senjata yang goyah dan secara terang-terangan menunjukkan ketidakpuasannya. “Segera setelah kami mencapai kesepakatan, Israel langsung meluncurkan serangan udara besar-besaran ke Iran. Itu belum pernah saya lihat sebelumnya,” kata Trump dengan nada kesal sebelum bertolak ke KTT NATO di Belanda. “Saya tidak senang dengan mereka.”
Kemarahan Trump semakin memuncak di platform Truth Social: “ISRAEL. JANGAN JATUHKAN BOM ITU. JIKA ANDA MELAKUKANNYA, ITU ADALAH PELANGGARAN BESAR. BAWA PILOT KALIAN PULANG, SEKARANG!” Ia menuduh Israel bertindak di luar batas, meskipun ia juga menyatakan tidak senang dengan Iran. “Saya katakan, ‘Kalian punya waktu 12 jam.’ Tapi mereka langsung menyerang di jam pertama. Itu bukan tindakan yang bijak,” ujarnya.
Sikap ini sangat kontras dengan dukungan historis Trump terhadap Israel dan retorika kerasnya terhadap Iran sebelumnya, termasuk ancamannya untuk mengerahkan kekuatan militer penuh jika Iran menyerang AS. Perubahan nada ini mungkin didorong oleh frustrasi Trump atas pelanggaran kesepakatan yang ia mediasi, atau kekhawatiran akan eskalasi yang lebih luas yang dapat merusak citra kesepakatan yang ia klaim berhasil.
Target Program Nuklir Iran: Titik Api yang Tak Pernah Padam
Salah satu pemicu utama ketegangan adalah program nuklir Iran. Ilmuwan nuklir kembali Iran jadi korban Israel mengindikasikan bahwa ini bukan sekadar konflik militer biasa, melainkan juga perang intelijen dan upaya de-eskalasi program nuklir. Mohammad Reza Seddighi Saber, seorang ilmuwan nuklir senior yang disebut-sebut bekerja dalam pengembangan dan pengayaan nuklir Teheran, tewas dalam serangan Israel di wilayah utara Teheran. Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahkan mengkonfirmasi bahwa IDF telah menewaskan seorang ilmuwan nuklir senior, tanpa menyebut nama Saber.
Saber sendiri bukan nama asing. Ia termasuk individu yang dijatuhi sanksi oleh Departemen Luar Negeri dan Departemen Keuangan AS karena keterkaitannya dengan program nuklir Iran, khususnya sebagai kepala kelompok yang mengerjakan proyek-proyek terkait bahan peledak di SPND, organisasi pertahanan, inovasi, dan riset Iran. Proyek-proyek kelompok tersebut mencakup penelitian dan pengujian yang dapat diterapkan pada pengembangan perangkat peledak nuklir.
Menariknya, di tengah tuduhan Israel bahwa Iran terus mengembangkan senjata nuklir, Presiden Trump justru menyalahkan komunitas intelijen AS sendiri. Trump salahkan intelijen Amerika, ngotot tuduh Iran bikin bom nuklir. Trump menolak temuan resmi dari Direktur Intelijen Nasional (DNI) Tulsi Gabbard yang menyatakan Iran belum melanjutkan program senjata nuklirnya. “Kalau begitu, komunitas intelijen saya salah,” kata Trump, bersikeras pada narasinya sendiri. Sikap ini memicu spekulasi bahwa Trump mungkin berusaha membangun justifikasi untuk keterlibatan AS yang lebih dalam, meskipun ia juga menegaskan: Trump: Tidak ada agenda perubahan rezim. Ia menyatakan tidak menginginkan kekacauan lebih lanjut, hanya ingin semuanya tenang. Pernyataan ini kontras dengan desakan Netanyahu sebelumnya kepada rakyat Iran untuk menggulingkan pemimpin mereka.
Sebelumnya, AS bahkan melakukan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran. Pada hari Minggu sebelum gencatan senjata diumumkan, Amerika Serikat mengebom tiga fasilitas nuklir Iran, termasuk situs nuklir Fordo, Isfahan, dan Natanz. Intelijen AS menyebut serangan bomber B-2 hanya merusak pintu masuk fasilitas. Iran merespons dengan meluncurkan rudal ke Pangkalan Militer AS Al Udeid di Qatar, yang disebut Trump sebagai “respons yang sangat lemah” karena Iran telah memberikan peringatan dini.
Reaksi Dunia dan Implikasi Ekonomi Global
Meskipun gencatan senjata yang diumumkan Trump masih rapuh, dunia sambut gencatan senjata dengan hati-hati. Berbagai pemimpin dunia menyambut baik kabar ini, namun dengan nada penuh kewaspadaan. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan, “Jika gencatan senjata memang telah tercapai, ini hanya dapat disambut baik,” seraya berharap akan keberlanjutan. Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Friedrich Merz juga menyuarakan optimisme hati-hati, mengakui situasi yang masih sangat rapuh. Arab Saudi menyambut baik, sementara China menekankan pentingnya “gencatan senjata yang sesungguhnya.” Rusia, sebagai pendukung utama Iran, telah menyuarakan dukungan untuk de-eskalasi tetapi menolak menawarkan bantuan militer langsung kepada Teheran, meskipun Putin mengecam serangan terhadap Iran sebagai “tidak beralasan” dan “tidak dapat dibenarkan.” Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov juga memperingatkan AS untuk tidak ikut terlibat perang Israel melawan Iran, dengan alasan akan mengacaukan seluruh Timur Tengah.
Di tengah situasi yang tidak menentu ini, AS evakuasi ratusan warganya dari wilayah konflik. Departemen Luar Negeri AS membantu sekitar 400 orang, termasuk warga negara AS, penduduk tetap, dan keluarga dekat mereka, meninggalkan Israel melalui penerbangan terbatas, jalur darat ke Yordania dan Mesir, serta kapal ke Siprus. Ratusan warga AS juga dilaporkan telah meninggalkan Iran melalui Azerbaijan.
Secara ekonomi, kabar gencatan senjata, meskipun goyah, memberikan angin segar. Gencatan senjata Iran-Israel angkat Wall Street, harga minyak turun. Saham-saham di Wall Street melonjak pada Selasa setelah gencatan senjata antara Iran dan Israel tampak bertahan di hari pertama, disertai penurunan harga minyak. Tiga indeks utama bergerak di zona hijau, seiring kedua negara menahan diri dari serangan lanjutan. Art Hogan, Kepala Strategi Pasar di B. Riley Wealth, menyatakan, “Dengan deeskalasi konflik, pasar terlihat membaik.” Ketua Federal Reserve Jerome Powell pun memberikan sinyal positif bagi pasar saham dalam kesaksiannya di Kongres.
Kesimpulan: Di Balik Tirai Geopolitik yang Bergeser
Perkembangan di Timur Tengah, terutama yang melibatkan 7 update perang Iran-Israel, Trump murka ke Israel-tiba-tiba bela Iran, adalah cerminan dari kompleksitas dan volatilitas geopolitik kontemporer. Gencatan senjata yang diproklamasikan oleh Donald Trump, meskipun disambut dengan optimisme hati-hati oleh sebagian besar dunia, ternyata jauh dari kata stabil di lapangan. Pertukaran serangan yang terus berlanjut, kematian seorang ilmuwan nuklir Iran, dan yang paling mencolok, “kemarahan” Trump terhadap Israel, menunjukkan bahwa narasi konflik ini belum usai.
Sikap Trump yang tiba-tiba membela Iran dan mengkritik Israel adalah anomali yang menarik, menunjukkan bahwa kepentingan AS mungkin kini lebih berpihak pada stabilitas regional daripada dukungan tanpa syarat terhadap sekutunya. Ini bisa jadi upaya untuk menghindari perang habis-habisan yang akan memiliki konsekuensi global yang dahsyat, atau sekadar manuver politik khas Trump untuk mengklaim kemenangan diplomatik.
Pada akhirnya, episode ini menegaskan bahwa Timur Tengah tetap menjadi salah satu kawasan paling tidak stabil di dunia, di mana setiap pernyataan dan tindakan, terutama dari kekuatan besar, dapat memicu reaksi berantai yang tak terduga. Masa depan hubungan Iran-Israel, serta peran AS di kawasan tersebut, akan terus menjadi subjek pengamatan ketat, dengan harapan bahwa ketegangan dapat mereda demi stabilitas global.