Wacana penyelenggaraan retret bagi para Sekretaris Daerah (Sekda) di lingkungan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota telah memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan, terutama para pengamat kebijakan publik dan otonomi daerah. Di tengah seruan efisiensi anggaran dan kebutuhan mendesak masyarakat, gagasan untuk mengumpulkan para birokrat paling senior di Akademi Militer (Akmil) Magelang ini justru dianggap tak ada urgensi retret sekda, bahkan memunculkan sorotan tajam, di mana kasus Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi jadi ironi yang menyoroti efektivitas program serupa di masa lalu. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa retret Sekda menuai kontroversi, menyoroti argumentasi para pakar, serta menganalisis implikasi yang lebih luas, termasuk simbolisme gaya militer yang mengiringinya.
Mengapa Retret Sekda Dipertanyakan Urgensinya?
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan rencana pemerintah untuk menggelar retret bagi para Sekda, menyusul retret kepala daerah gelombang kedua yang telah dilaksanakan di IPDN, Jawa Barat. Menurut Tito, para Sekda merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau birokrat paling senior yang membutuhkan pembekalan. Namun, pernyataan ini segera dibantah oleh sejumlah pengamat yang melihat inisiatif ini sebagai langkah yang tidak mendesak dan berpotensi memboroskan anggaran negara.
Pengalaman dan Pelatihan yang Memadai
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, adalah salah satu suara yang menentang. Ia berpendapat bahwa jabatan Sekda merupakan Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) yang telah dibekali dengan segudang pengalaman dan pelatihan selama meniti karier birokrasi. Untuk mencapai posisi puncak ini, seorang Sekda telah melalui berbagai jenjang pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (Diklat PIM) yang komprehensif.
- Pengalaman Panjang: Sekda adalah figur yang telah malang melintang dalam birokrasi, memahami seluk-beluk pemerintahan daerah dan dinamika kebijakan.
- Diklat PIM: Mereka telah mendapatkan berbagai pelatihan formal, termasuk Diklat PIM, yang seharusnya cukup membekali mereka dengan kapasitas manajerial dan kepemimpinan.
Dengan bekal pengalaman dan pelatihan yang sudah ada, pertanyaan besar muncul: apakah retret tambahan ini benar-benar memberikan nilai tambah yang signifikan, ataukah hanya sekadar redundansi? Herman Suparman menyarankan, jika memang ada kebutuhan pembekalan materi atau kebijakan penting, pemerintah cukup mengoptimalkan forum-forum nasional yang sudah ada untuk menghadirkan para Sekda. Pendekatan ini dinilai jauh lebih efisien dan tepat sasaran.
Efisiensi Anggaran di Tengah Kebutuhan Publik
Aspek anggaran menjadi sorotan utama dalam kritik terhadap rencana retret Sekda. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) melalui Sekjennya, Misbah Hasan, menegaskan bahwa di tengah desakan efisiensi anggaran negara, kegiatan seperti retret Sekda seharusnya tidak perlu dilakukan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semestinya diprioritaskan untuk program-program yang memberikan dampak langsung dan signifikan bagi masyarakat.
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, bahkan lebih lugas. Ia berpendapat bahwa retret seharusnya cukup dilakukan di tingkat kepala daerah, mengingat Sekda bukanlah pengambil kebijakan utama di daerah. Rencana retret Sekda ini, menurut Trubus, adalah bentuk pemborosan anggaran yang tidak memiliki urgensi nyata.
- Siklus Pemborosan: Trubus khawatir bahwa jika retret Sekda dilakukan, akan ada tuntutan untuk retret di tingkat di bawahnya, seperti Organisasi Perangkat Daerah (OPD), menciptakan “proyek pemborosan anggaran” yang berkelanjutan.
- Manfaat untuk Publik: Pertanyaan krusial yang diajukan Trubus adalah: “Manfaat untuk publik apa?” Sebuah pertanyaan fundamental yang harus dijawab oleh pemerintah dalam setiap alokasi anggaran.
Jika pemerintah bersikukuh untuk tetap menggelar retret, Trubus menyarankan agar tidak menggunakan dana APBN. Alternatif seperti public-private partnership dapat dipertimbangkan, memastikan bahwa dana publik tetap fokus pada prioritas yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Direktur Eksekutif Center for Indonesian Development Policy, Cusdiawan, turut menyoroti hal ini sebagai sebuah paradoks dari pemerintahan yang di satu sisi banyak berbicara tentang efisiensi, namun di sisi lain justru sibuk dengan “teatrikal seremonial” yang memakan biaya besar.
Ironi Dedi Mulyadi: Refleksi Efektivitas Retret Kepala Daerah
Kritik terhadap retret Sekda tidak hanya berhenti pada isu urgensi dan anggaran, tetapi juga merambah pada pertanyaan tentang efektivitas program retret yang sudah ada, khususnya bagi kepala daerah. Dalam konteks ini, nama Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, muncul sebagai contoh ironi yang mencolok.
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia, Ray Rangkuti, dengan tegas meminta pemerintah untuk mengevaluasi dampak positif retret bagi kepala daerah sebelum melanjutkan dengan retret Sekda. Ray menyoroti bahwa Gubernur Dedi Mulyadi, yang merupakan alumni retret kepala daerah pertama, justru seringkali menunjukkan kebijakan yang bertentangan dengan pemerintah pusat.
- Kebijakan Kontroversial: Salah satu contoh yang paling disorot adalah kebijakan Dedi Mulyadi tentang masuk sekolah pukul 06.00 pagi. Kebijakan ini, yang menuai kritik dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), dianggap sebagai bukti nyata divergensi program antara daerah dan pusat, meskipun sang gubernur telah mengikuti “pembekalan” retret.
- Kontras dengan Gubernur Lain: Ray Rangkuti membandingkannya dengan Gubernur Jakarta (yang tidak disebutkan namanya, namun diasumsikan tidak mengikuti retret pada gelombang pertama), yang justru tidak memiliki program yang bertentangan dengan pemerintah pusat.
Perbandingan ini menguatkan argumentasi bahwa retret yang berbiaya mahal tersebut belum tentu menghasilkan keselarasan program atau peningkatan kinerja yang diharapkan. Cusdiawan menambahkan bahwa perlu ada evaluasi kritis sejauh mana output yang dihasilkan dari retret kepala daerah mampu mendorong kinerja pemerintahan daerah, terutama dalam kaitannya dengan desentralisasi. Jika retret bagi kepala daerah saja belum terbukti efektif, maka urgensi retret bagi Sekda menjadi semakin dipertanyakan. Ini menunjukkan bahwa meskipun niatnya baik untuk menyelaraskan visi, realitas di lapangan bisa sangat berbeda, menjadikan pengalaman Dedi Mulyadi sebagai sebuah cerminan ironi dalam upaya pembekalan birokrat.
Gaya Militer di Ruang Sipil: Antara Pembekalan dan Simbolisme Demokrasi
Aspek lain yang menuai kritik adalah pemilihan lokasi retret di Akademi Militer (Akmil) Magelang, serta nuansa “gaya militer” yang menyertainya. Pemilihan Akmil sebagai tempat pembekalan bagi birokrat sipil dianggap problematis oleh beberapa pengamat.
Ray Rangkuti secara eksplisit mengkritik gaya militer yang mendominasi retret tersebut. Ia berpendapat bahwa masyarakat membutuhkan pemerintahan yang mau mendengar dan berdialog, bukan yang bergaya militeristik. Ray bahkan melontarkan kalimat pedas yang menggambarkan situasi ini sebagai ironi: “Ini ironi, yang militer masuk jabatan sipil, yang sipil gaya militer.” Pernyataan ini menyoroti pergeseran peran dan simbolisme yang dianggap tidak selaras dengan prinsip-prinsip pemerintahan sipil yang demokratis.
Cusdiawan memperdalam kritik ini dengan mempertanyakan apakah pemilihan lokasi dan menguatnya simbolisasi militerisme merupakan bagian dari “pesan” yang ingin disampaikan oleh pemerintah. Ia khawatir bahwa ini adalah indikasi adanya kecenderungan militerisasi di ruang sipil yang semakin menguat, termasuk dalam pemerintahan dan birokrasi. Fenomena ini, menurut Cusdiawan, sejalan dengan tren lain seperti revisi Undang-Undang TNI.
- Potensi Bahaya Demokrasi: Jika dugaan ini benar, Cusdiawan memperingatkan bahwa hal tersebut akan membahayakan demokrasi. Isu retret Sekda, baginya, tidak sekadar soal inefisiensi anggaran, tetapi juga menyangkut keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
- Watak Kepemimpinan: Pemilihan lokasi Akmil dapat diasumsikan sebagai upaya untuk menanamkan watak kepemimpinan yang tegas, disiplin, dan terstruktur ala militer kepada para birokrat sipil. Namun, dalam konteks pemerintahan yang demokratis, penekanan pada dialog, partisipasi publik, dan responsivitas terhadap kebutuhan masyarakat seringkali lebih diutamakan daripada pendekatan yang kaku dan hierarkis.
Dengan demikian, retret Sekda di Akmil bukan hanya menjadi perdebatan tentang efisiensi, tetapi juga tentang identitas dan arah birokrasi sipil di masa depan, serta implikasinya terhadap watak demokrasi bangsa.
Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Lebih Efisien dan Responsif
Polemik seputar tak ada urgensi retret Sekda, Dedi Mulyadi jadi ironi ini membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai tata kelola pemerintahan yang baik. Kritikan para pengamat menggarisbawahi beberapa poin penting yang patut menjadi bahan renungan bagi pembuat kebijakan:
- Prioritas Anggaran: Di tengah tantangan ekonomi dan berbagai kebutuhan mendesak di masyarakat, setiap rupiah dari APBN harus digunakan secara maksimal untuk program yang benar-benar berdampak positif dan terukur. Retret yang tidak memiliki urgensi jelas hanya akan memboroskan dana dan menyempitkan ruang fiskal untuk inisiatif yang lebih krusial.
- Efektivitas Pembekalan: Program pembekalan bagi birokrat senior harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan relevansi dan efektivitasnya. Jika retret sebelumnya tidak menghasilkan perubahan signifikan atau bahkan memunculkan inkonsistensi kebijakan seperti yang disoroti pada kasus Dedi Mulyadi, maka perlu ada perbaikan fundamental dalam desain program.
- Karakter Birokrasi Sipil: Perdebatan mengenai nuansa militeristik dalam pembekalan birokrat sipil mengingatkan pentingnya menjaga karakter birokrasi yang adaptif, transparan, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi publik. Simbolisme dan pendekatan yang diterapkan dalam pelatihan harus selaras dengan nilai-nilai demokrasi dan pelayanan publik.
- Tanggung Jawab Kepala Daerah: Penting untuk kembali menegaskan bahwa kepala daerah memiliki tanggung jawab penuh untuk menerjemahkan dan mengimplementasikan kebijakan pemerintah pusat ke jajaran di bawahnya, termasuk para Sekda dan perangkat daerah lainnya. Pembekalan dari pusat seharusnya berpusat pada kepala daerah sebagai pemimpin politik, yang kemudian akan mendeliver materi tersebut kepada jajarannya.
Rekomendasi Konkret untuk Masa Depan
Berdasarkan analisis dan kritik dari para ahli, beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan:
- Evaluasi Menyeluruh: Pemerintah perlu melakukan evaluasi komprehensif terhadap retret kepala daerah yang sudah berjalan, mengukur output dan outcome yang dihasilkan, serta mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilan dan kegagalan.
- Optimalkan Forum yang Ada: Daripada menciptakan kegiatan baru yang berpotensi pemborosan, pemerintah dapat mengoptimalkan forum-forum koordinasi nasional atau rapat kerja teknis untuk menyampaikan materi atau kebijakan penting kepada para Sekda.
- Fokus pada Kapasitas Individual: Jika ada kebutuhan peningkatan kapasitas spesifik, pendekatan yang lebih personal dan terukur, seperti pelatihan berbasis kebutuhan atau program mentoring, mungkin lebih efektif daripada retret massal.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Seluruh proses perencanaan dan pelaksanaan program pembekalan harus dilakukan secara transparan, dengan laporan penggunaan anggaran yang akuntabel dan mudah diakses oleh publik.
Kesimpulan
Rencana retret Sekda telah memicu perdebatan sengit tentang urgensi, efisiensi anggaran, dan arah birokrasi di Indonesia. Argumentasi para pengamat yang menyoroti pengalaman dan pelatihan Sekda yang sudah memadai, serta kekhawatiran akan pemborosan anggaran negara, sangatlah relevan. Lebih dari itu, kasus Gubernur Dedi Mulyadi yang menjadi ironi dalam konteks retret kepala daerah, semakin menguatkan pertanyaan tentang efektivitas program semacam itu. Ditambah lagi, nuansa gaya militeristik dalam pembekalan birokrat sipil menimbulkan kekhawatiran akan implikasi yang lebih luas terhadap karakter demokrasi dan tata kelola pemerintahan.
Masa depan tata kelola pemerintahan yang efektif dan responsif mensyaratkan pemimpin yang mampu mendengarkan, berdialog, dan mengalokasikan sumber daya secara bijak. Ini bukan tentang seberapa sering birokrat dikumpulkan dalam acara seremonial, melainkan seberapa besar dampak positif yang dihasilkan dari setiap kebijakan dan alokasi anggaran bagi kesejahteraan masyarakat. Semoga kritik ini menjadi cermin bagi pemerintah untuk meninjau kembali prioritas, memperkuat efisiensi, dan senantiasa mengedepankan kepentingan publik di atas segalanya.