Menyelami Jejak Purba: Eksplorasi Teater Tari Fosil dan Tradisi oleh Ari Rudenko

Dipublikasikan 23 Juni 2025 oleh admin
Hiburan dan Lifestyle

Di tengah hiruk pikuk seni pertunjukan kontemporer, nama Ari Dharminalan Rudenko mencuat sebagai seniman multidisiplin yang berani melampaui batas. Ia tidak hanya menciptakan karya seni yang memukau secara visual dan emosional, tetapi juga merajut benang merah antara dunia yang terpisah jauh: paleontologi dan tari tradisional. Bersama kolektifnya, Prehistoric Body Theater (PBT), Ari Rudenko mengeksplorasi teater tari fosil tradisi, membawa penonton dalam sebuah perjalanan imersif melintasi jutaan tahun evolusi, menghidupkan kembali makhluk purba melalui gerak tubuh yang berakar pada kekayaan budaya Nusantara. Mengapa eksplorasi ini begitu penting dan bagaimana ia berhasil menciptakan resonansi mendalam dengan pembaca, mari kita selami lebih jauh.

Ari Rudenko: Jejak Obsesi dari Fosil hingga Tari Nusantara

Lahir di Amerika Serikat, Ari Rudenko bukanlah seniman tari biasa. Obsesinya terhadap ilmu paleontologi telah tumbuh sejak kecil, bahkan ia mengaku lebih dulu mengenal Java Man (Homo erectus dari Trinil) ketimbang mengetahui negara Indonesia itu sendiri. Takdir membawanya ke Nusantara pada tahun 2012 melalui program beasiswa Darmasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, di mana ia mendalami seni tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali. Pengalaman ini membuka matanya terhadap kekayaan budaya dan tradisi lokal Indonesia.

Meskipun mendalami tari, gairahnya terhadap dunia fosil tak pernah padam. Inspirasi untuk menggabungkan dua dunia ini datang saat ia menempuh studi Magister Seni Murni lintas disiplin. Ia menyadari bahwa banyak tari tradisional Indonesia, seperti tari Manuk Rawe, Jatayu, atau Anoman, memiliki elemen gerak yang terinspirasi dari fauna, mirip dengan perilaku hewan purba yang ia pelajari. Pada tahun 2017, Ari bahkan kembali ke situs Hell Creek, Montana, Amerika Serikat—sebuah formasi geologi yang menyimpan fosil makhluk hidup dari zaman kapur akhir—untuk mendalami anatomi dan perilaku hewan purba secara langsung bersama para ilmuwan paleontologi. Pengalaman inilah yang menjadi pondasi kuat baginya untuk mempertemukan sains dan seni, sebuah titik temu yang akan melahirkan Prehistoric Body Theater.

Prehistoric Body Theater: Laboratorium Gerak Lintas Zaman

Prehistoric Body Theater (PBT), yang didirikan oleh Ari Rudenko pada tahun 2015 (dengan pengembangan proyek utama dimulai tahun 2017 di ISI Surakarta), bukanlah sekadar kelompok tari. Ia adalah sebuah laboratorium seni-sains eksperimental yang berbasis di “Sarang,” studio hutan-bersama di Jawa Tengah, Indonesia. Kolektif ini terdiri dari para penari dan seniman pertunjukan asli Indonesia yang mendalami berbagai teknik tari tradisional dan ritual dari seluruh penjuru Nusantara, termasuk dari Solo, Papua, dan Kalimantan.

Filosofi inti PBT adalah sintesis. Mereka menggabungkan teknik tari tradisional dengan praktik budaya, seni panggung eksperimental mutakhir, dan riset kolaboratif berkelanjutan. PBT bekerja sama erat dengan panel ilmuwan dan mentor internasional, yang membantu merancang karakter dan narasi tari yang didasarkan pada teori dan temuan paleontologi terkini. Semangat kolektif mereka juga berakar pada konservasi alam, pembangunan komunitas yang egaliter dan kreatif, serta petualangan menuju hal-hal yang belum diketahui. PBT menjadi wadah unik di mana sejarah evolusi miliaran tahun silam dihidupkan kembali melalui bahasa tubuh manusia, menciptakan sebuah “jembatan transkultural untuk paleontologi” melalui seni pertunjukan.

Menghidupkan Sejarah Purba: Kisah “Ghosts of Hell Creek”

Salah satu karya unggulan Prehistoric Body Theater adalah “Ghosts of Hell Creek”. Pertunjukan ini terinspirasi langsung dari situs fosil Hell Creek di Montana, Amerika Serikat, yang terkenal sebagai lokasi penemuan fosil dinosaurus terakhir sebelum kepunahan massal akibat tumbukan asteroid Chicxulub 66 juta tahun yang lalu. Kisah ini juga menyoroti kemunculan primata pertama, Purgatorius unio, yang diyakini sebagai leluhur manusia yang berhasil bertahan hidup dari bencana kolosal tersebut.

Secara garis besar, “Ghosts of Hell Creek” mengisahkan perjalanan evolusi selama 500 juta tahun, dari masa kejayaan dinosaurus hingga munculnya nenek moyang primata manusia, melalui perspektif binatang purba seperti Acheroraptor (jenis raptor berbulu) dan Purgatorius. Narasi pertunjukan ini memadukan konsep “Pohon Kehidupan” biologis, tarian yang meniru perilaku fauna purba, serta elemen tari tradisional dari berbagai daerah di Indonesia. Para penari PBT mengembangkan gerak makhluk prasejarah ini secara kolektif, berdasarkan hasil penelitian dan observasi langsung bersama paleontolog dunia.

Karya ini pertama kali dipentaskan secara utuh sebagai bagian dari disertasi doktoral Ari Rudenko di ISI Surakarta pada tahun 2024, dalam durasi 90 menit. Versi ringkas dan lebih adaptifnya, berjudul “Stone Garuda,” melakukan world premiere di Teater Salihara, Jakarta, pada Mei 2025 dengan durasi 45 menit. “Stone Garuda” dirancang tidak hanya untuk panggung proskenium, tetapi juga berbagai jenis panggung lainnya, menunjukkan fleksibilitas adaptasi karya PBT. Setelah pentas perdana di Jakarta, “Stone Garuda” akan melanjutkan tur ke Amerika Serikat, tampil di Jacob’s Pillow Dance Festival, Asia Society Museum di New York City, dan bahkan mengunjungi situs Hell Creek untuk melakukan penggalian fosil bersama para ilmuwan paleontologi—sebuah pengalaman nomaden yang merefleksikan cara hidup manusia purba.

Melalui “Ghosts of Hell Creek” dan “Stone Garuda,” Ari Rudenko menghadirkan teater imersif yang menggabungkan sains, seni, dan konservasi alam. Penonton diajak menyimak gerak anatomi, kinetika, dan perilaku hewan-hewan prasejarah melalui tubuh para penari yang berlumur lumpur, disorot cahaya redup, menciptakan imaji makhluk purba yang bergerak perlahan dan solid seperti ikan di laut. Ini adalah pertemuan unik antara ekspresi tubuh yang berakar tradisi dengan imajinasi sains modern.

“Hominid Heart”: Merenungi Manusia Sangiran di Era Modern

Selain eksplorasi dinosaurus, PBT juga merambah kisah manusia purba. Karya “Hominid Heart” membawa penonton ke Pulau Jawa, satu juta tahun yang lalu, ke masa hidupnya manusia Sangiran, Homo erectus, yang dikenal sebagai Proto-manusia. Pertunjukan ini menggali pemahaman tentang awal kesadaran, penguasaan api dan batu, serta kehidupan tanpa interaksi verbal, hidup dalam keheningan dan ketelanjangan di alam tak terbatas.

“Hominid Heart” adalah sebuah karya tentang keraguan dan frustrasi terhadap keinginan untuk merajut benang kembali pada dimensi zaman manusia Sangiran. Disutradarai oleh Ari Rudenko, pertunjukan ini mengajak penonton merenung: apa yang akan terjadi jika kita masuk ke dimensi tersebut? Apa yang akan lahir jika kita bercermin pada titik satu juta tahun yang lalu?

Dalam pementasannya di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, pada Desember 2023, “Hominid Heart” menghadirkan narasi masa lampau dengan cara yang provokatif. Para penari, yang awalnya berpenampilan layaknya penonton dengan pakaian sehari-hari, secara dramatis merobek baju mereka, lalu melumuri tubuh dengan lumpur—sebuah tindakan yang diinterpretasikan sebagai proses pelepasan kotoran dan identitas modern, meskipun tidak sepenuhnya “kembali” karena celana jeans dan sepatu masih melekat. Adegan ini secara simbolis menegaskan jarak antara masa lalu yang murni dan masa kini yang telah “tercemar” oleh modernitas. Ini adalah refleksi bahwa kembali ke masa lalu secara utuh adalah usaha sia-sia, sebab manusia modern telah berkubang dalam kolam besar bernama modernitas. “Hominid Heart” tidak membawa penonton masuk ke “pintu ke mana saja” secara harfiah, melainkan menghadirkan dunia lampau itu ke panggung, memaksa penonton untuk menafsirkan jarak zaman tersebut.

Filosofi Paleoart: Jembatan Sains, Seni, dan Konservasi

Inti dari karya Ari Rudenko dan Prehistoric Body Theater adalah “paleoart”—sebuah pendekatan interdisipliner yang menjembatani sains, seni, dan konservasi. Ari tidak hanya menggabungkan dua bidang ini secara dangkal, melainkan membangunnya dari fondasi riset yang mendalam. Metodologi mereka melibatkan observasi langsung, kolaborasi dengan ilmuwan paleontologi terkemuka (seperti Dr. Greg Wilson dari Burke Museum Seattle dan Dr. Dave Evans dari Royal Ontario Museum), serta analisis teori ilmiah untuk menciptakan gerak dan narasi tari yang akurat secara paleontologis.

PBT secara aktif menyuarakan pendekatan interdisipliner ini melalui berbagai forum internasional, termasuk presentasi di konferensi Society for Integrative and Comparative Biology dan penulisan di jurnal akademik. Mereka percaya bahwa seni pertunjukan adalah medium yang kuat untuk “penjangkauan publik transkultural untuk paleontologi,” membuat ilmu pengetahuan purba lebih mudah diakses dan dipahami oleh masyarakat luas.

Penggunaan berbagai bentuk tari tradisi Nusantara—mulai dari Gandrung Banyuwangi, Kethek Ogleng, hingga tari-tarian yang lahir dari pengamatan gerak burung endemik di Mentawai (yang menjadi bagian dari studi pascadoktoral Ari tentang koreologi)—menunjukkan komitmen PBT untuk melestarikan dan merevitalisasi warisan budaya. Mereka mengeksplorasi esensi gerak dalam tari-tarian ini, kemudian meramunya dengan interpretasi ilmiah tentang gerak makhluk purba. Ini bukan hanya tentang meniru, tetapi juga tentang menemukan resonansi antara masa lalu yang sangat jauh dengan tradisi yang telah mengakar.

Dukungan dari pihak seperti Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya untuk program pelatihan dan pertukaran budaya juga menunjukkan pengakuan terhadap peran PBT dalam mempererat hubungan bilateral melalui seni. Mereka tidak hanya menciptakan karya, tetapi juga mendidik dan memberdayakan pemuda untuk membangun kreativitas melalui teknik tari.

Kesimpulan

Eksplorasi teater tari fosil dan tradisi oleh Ari Rudenko dan Prehistoric Body Theater merupakan sebuah terobosan signifikan dalam lanskap seni pertunjukan global. Mereka berhasil membuktikan bahwa batas antara sains dan seni hanyalah ilusi. Melalui sintesis kreatif antara paleontologi dan tari tradisional Nusantara, PBT tidak hanya menghadirkan kembali makhluk-makhluk purba dari kegelapan zaman, tetapi juga mengajak kita merenungkan asal-usul manusia, krisis planet saat ini, dan relevansi sejarah evolusi bagi eksistensi kita.

Karya-karya seperti “Ghosts of Hell Creek” dan “Hominid Heart” bukan sekadar pertunjukan, melainkan pengalaman imersif yang mendalam, memicu rasa ingin tahu, dan mendorong refleksi. Ari Rudenko, dengan obsesi dan dedikasinya, telah menciptakan sebuah bentuk paleoart yang unik, yang tidak hanya mengedukasi tetapi juga menggugah jiwa. Ia menunjukkan bagaimana tradisi, bahkan yang “fosil,” dapat menjadi sumber inspirasi tak terbatas untuk inovasi dan pemahaman baru tentang diri kita dan tempat kita di alam semesta yang luas. Keberanian mereka dalam berpetualang ke hal-hal yang belum diketahui, di antara fosil dan tradisi, telah melahirkan sebuah warisan artistik yang akan terus beresonansi, mengingatkan kita akan jalinan tak terputus antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.