Mengungkap Tirai Kabut: Mengapa Helikopter Sulit Evakuasi Pendaki Brasil di Gunung Rinjani?

Dipublikasikan 25 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Tragedi yang menimpa Juliana De Souza Pereira Marins, pendaki wanita asal Brasil yang jatuh dan tewas di lereng curam Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat (NTB), telah menyisakan duka mendalam dan memicu berbagai pertanyaan di benak publik. Salah satu pertanyaan yang paling sering muncul adalah: mengapa upaya evakuasi menggunakan helikopter begitu sulit dilakukan, bahkan terkesan mustahil pada titik lokasi insiden? Kejadian ini bukan sekadar insiden biasa; ia membuka wawasan tentang kompleksitas operasi penyelamatan di medan pegunungan tinggi yang ekstrem, di mana hukum fisika dan kondisi alam menjadi penentu mutlak.

Mengungkap Tirai Kabut: Mengapa Helikopter Sulit Evakuasi Pendaki Brasil di Gunung Rinjani?

Artikel ini akan mengupas tuntas alasan helikopter sulit evakuasi pendaki Brasil di Gunung Rinjani, menganalisis kendala teknis dan kondisi alam yang menjadi penghalang utama, serta menyoroti upaya heroik tim SAR gabungan dalam menghadapi tantangan yang luar biasa ini. Dengan memahami aspek-aspek di balik layar, kita akan memperoleh gambaran yang lebih jernih mengenai seluk-beluk operasi penyelamatan di salah satu gunung berapi tertinggi dan paling menantang di Indonesia.

Tragedi di Puncak Rinjani: Kronologi Singkat Insiden Juliana Marins

Pada Sabtu, 21 Juni 2025, sekitar pukul 06.30 WITA, Juliana Marins (27), yang sedang mendaki Gunung Rinjani bersama lima rekannya, mengalami insiden tragis. Ia dilaporkan tergelincir di area Cemara Nunggal, jalur menuju puncak Rinjani, dan jatuh ke arah Danau Segara Anak. Perkiraan awal kedalaman jatuhnya adalah 150-200 meter, namun tim SAR belakangan menemukan korban bergeser dan berada pada kedalaman sekitar 500-600 meter dari titik awal.

Tim SAR gabungan, yang terdiri dari berbagai unsur seperti Basarnas, TNI, Polri, BPBD, relawan Rinjani, hingga porter, segera dikerahkan begitu laporan diterima. Upaya pencarian dilakukan dengan berbagai metode, termasuk penggunaan drone thermal untuk mendeteksi posisi korban. Pada Senin, 23 Juni 2025, Juliana berhasil ditemukan, namun sayangnya dalam kondisi tidak bergerak, dan pada Selasa malam, 24 Juni 2025, dipastikan telah meninggal dunia. Proses evakuasi jasad pun menjadi prioritas utama, namun tantangan alam dan teknis yang menghadang membuat misi ini berjalan sangat lambat dan penuh risiko.

Mengapa Helikopter Bukan Solusi Instan? Analisis Mendalam Kendala Evakuasi Udara

Publik mungkin membayangkan helikopter sebagai alat penyelamat serbaguna yang mampu menjangkau setiap sudut lokasi. Namun, dalam konteks evakuasi di pegunungan tinggi seperti Rinjani, realitasnya jauh lebih kompleks. Pakar penerbangan Gerry Soejatman memberikan penjelasan teknis yang gamblang mengenai hambatan krusial ini.

Ketinggian Ekstrem dan Udara Tipis: Ujian Performa Helikopter

Salah satu faktor utama yang menjadi kendala adalah lokasi jatuhnya korban yang berada di ketinggian ekstrem. Menurut Gerry Soejatman, lokasi insiden berada di ketinggian sekitar 9.400 hingga 10.000 kaki di atas permukaan laut (setara lebih dari 2.800 meter).

Pada ketinggian tersebut, udara jauh lebih tipis. Kepadatan udara yang rendah secara signifikan memengaruhi performa helikopter.

  • Daya Angkat (Lift) Baling-Baling Berkurang: Baling-baling helikopter bekerja dengan “mendorong” udara ke bawah untuk menciptakan daya angkat. Semakin tipis udara, semakin sedikit molekul udara yang bisa didorong, sehingga daya angkat yang dihasilkan pun berkurang drastis.
  • Performa Mesin Menurun: Mesin helikopter, seperti mesin pembakaran internal lainnya, membutuhkan oksigen untuk pembakaran. Di udara tipis, ketersediaan oksigen berkurang, yang berdampak langsung pada tenaga yang bisa dihasilkan mesin.

Gerry Soejatman menegaskan, “Performance helikopternya belum tentu sanggup, kalau sanggup, spare performance marginnya juga sudah tipis.” Ini berarti, bahkan jika helikopter mampu mencapai ketinggian tersebut, kemampuannya untuk melakukan manuver presisi yang dibutuhkan untuk evakuasi sudah sangat terbatas dan berisiko tinggi.

Tantangan Manuver “Hovering”: IGE vs. OGE

Kunci dari operasi penyelamatan menggunakan helikopter, terutama dengan teknik hoisting (menurunkan atau mengangkat personel/korban dengan tali), adalah kemampuan helikopter untuk diam stabil di udara atau hovering. Gerry Soejatman menjelaskan bahwa ada dua jenis hovering yang sangat berbeda dalam kebutuhan tenaga dan konteks operasionalnya:

  1. Hover In Ground Effect (IGE): Terjadi ketika helikopter berada sangat dekat dengan permukaan tanah yang datar. Dalam kondisi ini, baling-baling helikopter mendapatkan bantuan dari “bantalan” tekanan udara yang dipantulkan dari tanah, sehingga membutuhkan tenaga mesin yang relatif lebih kecil untuk menjaga posisi stabil.
  2. Hover Out of Ground Effect (OGE): Terjadi ketika helikopter berada di ketinggian yang cukup jauh dari permukaan tanah atau di atas medan yang tidak rata (misalnya, di atas jurang atau lereng curam). Dalam kondisi OGE, helikopter tidak mendapatkan bantuan bantalan udara dari daratan, sehingga membutuhkan tenaga mesin yang jauh lebih besar untuk mempertahankan posisi diam stabil.

Kondisi lokasi jatuhnya Juliana di lereng curam Rinjani jelas tidak memungkinkan manuver Hover IGE. Sebaliknya, helikopter harus melakukan Hover OGE di ketinggian yang sangat menantang. “Di sinilah kita ketemu masalahnya,” ujar Gerry. Melakukan Hover OGE di udara tipis pada ketinggian 9.400 kaki adalah tantangan teknis yang ekstrem dan seringkali melebihi batas kemampuan operasional helikopter penyelamat yang umum.

Batas Kemampuan Helikopter Basarnas dan Militer

Gerry Soejatman memaparkan spesifikasi teknis beberapa helikopter yang umumnya digunakan untuk operasi SAR di Indonesia, termasuk armada Basarnas:

  • Helikopter Basarnas AW139: Hanya mampu melakukan Hover OGE secara maksimal di ketinggian 8.130 kaki.
  • Helikopter Basarnas AS365: Hanya mampu mencapai 3.740 kaki untuk Hover OGE.
  • Helikopter Militer Black Hawk: Bahkan helikopter militer canggih seperti Black Hawk pun hanya mampu Hover OGE di ketinggian 6.200 kaki.

Perbandingan ini secara gamblang menunjukkan bahwa helikopter yang tersedia di Indonesia, termasuk milik Basarnas dan militer, tidak dirancang untuk melakukan operasi hoisting penyelamatan langsung dari lokasi korban di ketinggian 9.400 kaki di Gunung Rinjani, bahkan jika cuaca sedang cerah. Kemampuan teknis mereka terbatas di bawah ketinggian insiden.

Penting untuk dicatat bahwa penggunaan helikopter untuk evakuasi dari Pos Sembalun menuju rumah sakit di Mataram adalah hal yang berbeda. Pos Sembalun berada di ketinggian sekitar 3.000 kaki, yang masih dalam batas aman operasional helikopter untuk take-off dan landing atau pengangkutan dari titik yang lebih rendah. Namun, ini tidak berarti helikopter dapat melakukan penyelamatan langsung dari dasar jurang tempat korban ditemukan.

Bahaya Imbas Rotor dan Stabilitas Medan

Selain kendala performa, ada risiko lain yang sangat serius terkait penggunaan helikopter di medan seperti Rinjani. Lereng tempat Juliana jatuh terdiri dari pasir dan kerikil yang sangat tidak stabil. Gerry Soejatman mengingatkan bahwa imbas angin atau kibasan rotor helikopter dapat menyebabkan posisi korban bergeser lebih jauh.

Bayangkan jika korban, yang mungkin sudah berada di posisi berbahaya, terdorong oleh angin kencang dari baling-baling helikopter. Di bawah lokasi korban, terdapat jurang vertikal sedalam sekitar 200 meter. Risiko korban terlempar ke jurang yang lebih dalam dan mengalami cedera fatal (atau memperparah kondisi yang sudah ada) sangatlah tinggi. “Masa sudah jauh-jauh mencapai korban pakai helikopter, ngos-ngosan, terus korban akhirnya meninggal karena alasan konyol ketiup kibasan rotor helikopter lalu terlempar, ke jurang, jatuh 200 meter-an lalu meninggal karena itu,” ujar Gerry, menekankan prinsip utama dalam misi penyelamatan: “Jangan sampai yang mau me-rescue harus di-rescue.” Keselamatan tim penolong dan korban adalah prioritas utama, dan mengambil risiko yang tidak perlu dapat berakibat fatal.

Cuaca Buruk dan Medan Terjal: Hambatan Non-Teknis yang Krusial

Selain faktor teknis helikopter, kondisi alam Gunung Rinjani itu sendiri menjadi tantangan besar yang tidak bisa diabaikan.

Kabut Tebal dan Visibilitas Nol

Gunung Rinjani dikenal dengan cuacanya yang sangat tidak menentu dan sering berubah drastis. Selama operasi pencarian dan evakuasi Juliana, tim SAR berulang kali menghadapi kabut tebal dan awan yang menghalangi pandangan.

  • Operasi Penerbangan Visual (VFR): Helikopter untuk misi penyelamatan seperti ini beroperasi secara visual (Visual Flight Rules/VFR), artinya pilot harus dapat melihat medan dan lingkungan sekitar.
  • Risiko Kehilangan Orientasi: Masuk ke dalam kabut atau awan saat melakukan manuver penyelamatan sangat berisiko menyebabkan pilot kehilangan orientasi visual. Hal ini dapat membuat helikopter bergeser tak terkendali dan berisiko menabrak tebing gunung yang curam.
  • Mempengaruhi Teknologi Lain: Bahkan penggunaan drone thermal yang canggih pun terhambat oleh kabut tebal, membuat deteksi posisi korban menjadi lebih sulit dan memakan waktu.

Beberapa laporan menyebutkan bahwa helikopter Basarnas yang sudah disiagakan di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani untuk mengevakuasi jasad korban mengalami kesulitan menuju titik lokasi penjemputan karena cuaca berkabut tebal. Pada akhirnya, keputusan diambil untuk tidak memaksakan evakuasi udara di titik insiden demi menghindari insiden lain yang tidak diinginkan.

Medan Curam, Tebing Vertikal, dan Tanah Labil

Gunung Rinjani memiliki kontur medan yang sangat ekstrem. Lokasi jatuhnya Juliana berada di area yang dicirikan sebagai jurang dengan tebing yang sangat curam, bahkan vertikal, serta sulit dijangkau.

  • Tanah Pasir dan Batu: Medan jatuhnya korban berupa pasir dan batu, yang sangat tidak stabil dan rentan longsor, terutama saat ada pergerakan atau gangguan.
  • Overhang dan Minim Titik Jangkar: Tim SAR menghadapi kesulitan dengan adanya overhang (bagian tebing yang menggantung) dan minimnya titik untuk pemasangan anchor (tambatan tali) yang aman. Kondisi tanah yang labil semakin mempersulit pemasangan alat bantu.
  • Risiko bagi Tim Penyelamat: Kondisi ini tidak hanya menyulitkan evakuasi korban, tetapi juga sangat membahayakan keselamatan tim penyelamat yang harus menuruni tebing dengan teknik vertical rescue.

Kombinasi antara cuaca buruk dan medan yang tidak bersahabat ini secara signifikan memperlambat proses evakuasi, menjadikannya sebuah misi yang membutuhkan kesabaran, kehati-hatian, dan keahlian tingkat tinggi.

Upaya Evakuasi Darat: Logistik dan Tantangan Heroik Tim SAR

Mengingat berbagai kendala di atas, tim SAR gabungan memutuskan untuk memprioritaskan evakuasi darat sebagai metode utama untuk menjangkau korban di titik jatuhnya. Ini adalah pilihan paling realistis dan aman, meskipun memakan waktu berhari-hari.

Tim gabungan yang berjumlah sekitar 50 orang lebih ini, terdiri dari personel SAR, TNI, Polri, BPBD, Unit SAR Lombok Timur, EMHC, Damkar, relawan Rinjani, tour guide, dan porter, mengerahkan segala kemampuan. Mereka menggunakan teknik vertical rescue untuk menuruni tebing. Proses ini sangat menantang karena harus melalui jarak 500-600 meter dengan medan yang ekstrem. Tim bahkan harus melakukan flying camp (berkemah di tebing) untuk menjaga titik evakuasi dan melanjutkan upaya pada pagi hari berikutnya.

Pada Rabu pagi, 25 Juni 2025, tim kembali melanjutkan evakuasi. Proses pengangkatan korban dari kedalaman jurang ke punggungan lereng memakan waktu yang sangat lama karena harus melewati beberapa anchor (titik tambatan tali). Setelah berhasil diangkat ke punggungan lereng, rencana selanjutnya adalah menandu korban menyusuri rute pendakian menuju Posko Sembalun. Barulah dari Posko Sembalun, helikopter akan digunakan untuk membawa korban ke RS Bhayangkara Polda NTB, karena ketinggian di Pos Sembalun memungkinkan operasional helikopter dengan aman.

Sebagai langkah percepatan evakuasi dan menjaga keselamatan, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) juga memutuskan untuk menutup sementara jalur pendakian dari Pelawangan 4 Sembalun menuju puncak Rinjani mulai 24 Juni 2025 hingga waktu yang belum ditentukan. Penutupan ini bertujuan agar area sekitar lokasi evakuasi tetap kondusif dan fokus tim tidak terpecah.

Resonansi Publik dan Komitmen Pemerintah

Tragedi Juliana Marins ini menarik perhatian luas, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Brasil. Akun Instagram @resgatejulianamarins, yang dikelola oleh pihak keluarga, menjadi pusat informasi dan seruan dukungan, yang juga mencerminkan frustrasi dan desakan agar pemerintah Indonesia segera melakukan evakuasi. Komentar-komentar pedas di media sosial, termasuk di akun Presiden Prabowo Subianto, menunjukkan betapa besarnya harapan dan keprihatinan publik.

Menanggapi hal ini, pemerintah Indonesia melalui berbagai kementerian dan lembaga terkait menegaskan komitmen serius dalam menangani dan melakukan evakuasi. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Mohammad Syafii, serta Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal, secara transparan menjelaskan upaya yang telah dan akan dilakukan. Gubernur NTB bahkan telah menyiagakan tiga helikopter dengan spesifikasi airlifter dan medivac (milik Mabes TNI/Basarnas, pihak asuransi, dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara) untuk mendukung operasi, khususnya untuk pengangkutan dari titik yang lebih rendah dan aman seperti Pos Sembalun.

Insiden ini bukan kali pertama terjadi di Rinjani. Sebelumnya, beberapa pendaki juga pernah tewas akibat terjatuh dari tebing di gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia ini, mengingatkan kita akan risiko inheren dalam pendakian gunung ekstrem. Ini menambah konteks mengapa operasi penyelamatan di Rinjani selalu menjadi tantangan besar.

Kesimpulan: Memahami Kompleksitas di Balik Layar

Kasus evakuasi Juliana Marins di Gunung Rinjani adalah studi kasus yang jelas mengenai kompleksitas operasi penyelamatan di medan pegunungan tinggi. Alasan utama mengapa helikopter sulit bahkan tidak dapat mengevakuasi korban secara langsung dari titik jatuhnya bukanlah karena kurangnya komitmen atau peralatan, melainkan karena kombinasi faktor-faktor krusial:

  • Ketinggian Ekstrem: Udara tipis secara drastis mengurangi performa dan daya angkat helikopter.
  • Batas Kemampuan Teknis Helikopter: Helikopter yang ada di Indonesia tidak dirancang untuk melakukan manuver Hover OGE di ketinggian lebih dari 9.000 kaki.
  • Risiko Operasional: Bahaya imbas rotor yang dapat membahayakan korban dan tim penyelamat di medan labil.
  • Kondisi Cuaca Buruk: Kabut tebal dan awan secara signifikan mengurangi visibilitas, membuat penerbangan visual menjadi sangat berbahaya.
  • Medan Terjal dan Sulit: Lereng curam, tebing vertikal, dan tanah yang tidak stabil mempersulit akses dan manuver apa pun.

Tragedi ini sekali lagi mengingatkan kita akan keindahan sekaligus keganasan alam pegunungan. Di balik setiap insiden, ada upaya heroik dari tim penyelamat yang mempertaruhkan nyawa mereka, bekerja dengan keterbatasan alam dan teknis. Memahami alasan-alasan ini tidak hanya menghilangkan kesalahpahaman, tetapi juga menumbuhkan apresiasi yang lebih besar terhadap dedikasi dan profesionalisme tim SAR yang berjuang di garis depan, memastikan prinsip utama penyelamatan tetap terjaga: “Jangan sampai yang mau me-rescue harus di-rescue.” Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, baik pendaki maupun otoritas, untuk senantiasa mengutamakan keselamatan dan memahami batas-batas kemampuan manusia di hadapan alam yang perkasa.