Menguak Tirai Kontroversi: Mengapa Antony Napitupulu Ambil Alih Pimpinan Sidang DPRD Deli Serdang dan Apa Implikasinya?

Dipublikasikan 24 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Dinamika politik di tingkat daerah seringkali menyajikan peristiwa yang sarat ketegangan, perdebatan sengit, hingga manuver tak terduga. Salah satu insiden yang baru-baru ini menyita perhatian publik adalah kericuhan yang terjadi dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Deli Serdang pada Senin, 23 Juni 2025. Puncak ketegangan ini ditandai dengan aksi walk out pimpinan sidang dan kemudian ambil alih pimpinan sidang DPRD Deli Serdang oleh Antony Napitupulu, Ketua Fraksi PDI Perjuangan. Peristiwa ini bukan sekadar insiden biasa, melainkan cerminan kompleksitas tata kelola pemerintahan daerah, tarik-menarik kepentingan, dan interpretasi terhadap aturan main legislatif. Artikel ini akan mengupas tuntas kronologi, latar belakang, serta potensi implikasi dari aksi ambil alih pimpinan sidang DPRD Deli Serdang Antony Napitupulu ini.

Menguak Tirai Kontroversi: Mengapa Antony Napitupulu Ambil Alih Pimpinan Sidang DPRD Deli Serdang dan Apa Implikasinya?

Detik-detik Paripurna Ricuh: Awal Mula Ketegangan yang Memuncak

Suasana di Ruang Paripurna DPRD Deli Serdang pada hari itu digambarkan sebagai riuh dan penuh interupsi. Berbagai anggota dewan berdiri dari kursinya, berebut menyampaikan pendapat dan protes. Insiden ini disaksikan langsung oleh Bupati Deli Serdang Asri Ludin Tambunan, Kapolresta Deli Serdang Kombes Hendria Lesmana, dan sejumlah pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), menunjukkan betapa krusialnya rapat tersebut.

Perbedaan Prioritas Agenda yang Memicu Konflik

Rapat paripurna ini seharusnya memiliki agenda tunggal: penjelasan Bupati Deli Serdang mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dilanjutkan dengan penyampaian laporan pertanggungjawaban hasil kinerja seluruh Alat Kelengkapan Dewan (AKD), dan penyusunan program kerja DPRD tahun 2026. Namun, sejumlah fraksi, termasuk Demokrat, PDI Perjuangan, PKS, dan Gerindra, merasa usulan mereka tidak diakomodasi. Mereka mendesak agar rapat juga membahas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) serta Perubahan Kebijakan Umum Anggaran dan Perubahan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025.

Wakil Ketua DPRD Deli Serdang dari PDIP, Agustiawan Saragih SH, yang saat itu memimpin sidang, menolak desakan tersebut. Ia berargumen bahwa pembahasan LKPD dan KUA-PPAS belum sesuai dengan mekanisme dan tata tertib (Tatib) DPRD yang berlaku. Menurutnya, LHP BPK terkait LKPD baru diterima pada 16 Juni, dan saat itu adalah jadwal reses. Sementara itu, pembahasan KUA-PPAS berada di bawah koordinasi Badan Anggaran, bukan dirinya.

Walkout Pimpinan Sidang dan Hujan Interupsi

Ketegangan mencapai puncaknya ketika Agustiawan Saragih, di tengah hujan interupsi dan protes dari anggota dewan, tiba-tiba mengetuk palu tanda penutupan rapat secara sepihak. Ia kemudian memilih untuk walk out dari ruang sidang. Keputusan mendadak ini memicu kemarahan sejumlah anggota dewan. Salah satunya, Dedi Syahputra dari Fraksi Gerindra, bahkan mengejar Agustiawan hingga ke luar ruangan, berupaya menahannya agar rapat tetap dilanjutkan. Suasana sempat nyaris memanas menjadi konfrontasi fisik, meskipun berhasil diredam.

Ketua DPRD Deli Serdang, Zakky Shahri, kemudian menjelaskan bahwa insiden tersebut hanyalah “perbedaan pendapat” dan “salah paham.” Menurutnya, anggota dewan meminta pembahasan di luar apa yang telah disepakati dalam rapat pimpinan (Rapim) dan Badan Musyawarah (Banmus), sehingga pimpinan sidang menolak karena melanggar tatib.

Antony Napitupulu: Aktor Utama Ambil Alih Pimpinan

Di tengah kekosongan kepemimpinan sidang akibat walk out Agustiawan Saragih, mayoritas anggota DPRD yang tetap bertahan—sebanyak 36 dari 50 anggota, menjadikan sidang tetap kuorum—memutuskan untuk melanjutkan rapat. Pada momen inilah, Antony Napitupulu, Ketua Fraksi PDI Perjuangan, bersama dengan Dhanil Ginting dari Fraksi Gerindra dan Purnama Barus dari Fraksi Golkar, ditunjuk secara kolektif oleh fraksi-fraksi yang hadir untuk melanjutkan dan memimpin sidang paripurna.

Landasan Hukum Versi Antony Napitupulu

Ketika ditanya oleh wartawan mengenai tindakannya yang mengambil alih pimpinan sidang, Antony Napitupulu memilih bungkam, hanya menyatakan, “Saya tidak bisa menjawab itu. Hak saya itu (tidak menjawab).” Namun, ia kemudian menyebutkan bahwa landasan hukum untuk tindakannya duduk sebagai pimpinan paripurna DPRD adalah berdasarkan Tata Tertib (Tatib) DPRD. Ia menyatakan, “Di Tatib kita, sudah jelas dibuat rapat DPRD bisa digelar kalau memenuhi kuorum untuk memenuhi rapat.”

Argumen ini mengindikasikan adanya interpretasi berbeda terhadap Tatib dan prosedur yang berlaku. Meskipun sidang memang memenuhi kuorum, pertanyaan yang muncul adalah apakah Tatib secara eksplisit membolehkan anggota dewan “biasa” mengambil alih kursi pimpinan sidang, terutama dalam situasi walk out tanpa adanya penetapan resmi atau pemilihan pimpinan sementara yang sesuai prosedur.

Potensi Implikasi Hukum dan Preseden Masa Lalu

Tindakan ambil alih pimpinan sidang DPRD Deli Serdang Antony Napitupulu ini berpotensi memicu persoalan hukum. Antony sendiri bungkam ketika ditanya tentang kemungkinan dilaporkan ke polisi. Hal ini bukan tanpa preseden. Pada periode 2019-2024, pernah terjadi kasus di mana salah satu Wakil Pimpinan DPRD Deli Serdang mengeluarkan surat dengan menggunakan stempel Ketua DPRD, yang kemudian berujung pada persoalan hukum di Polda Sumut. Ini menunjukkan bahwa tindakan yang dianggap menyalahi prosedur dan kewenangan dapat memiliki konsekuensi serius.

Menurut Anggota DPRD Aldi Hidayat, pimpinan DPRD itu sendiri dilantik secara tersendiri setelah pelantikan dewan. Oleh karena itu, tidak boleh ada penggantian pimpinan secara tiba-tiba hanya karena ketidaksukaan seseorang. Ia menegaskan bahwa hal ini jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018, dan diperkuat dalam Tatib DPRD Deli Serdang. Pimpinan DPRD adalah figur pilihan dari masing-masing empat partai pemenang di Kabupaten Deli Serdang.

Perspektif Lain: Klarifikasi Aldi Hidayat dan Sorotan Terhadap 35 Anggota Dewan

Insiden ini juga melibatkan anggota DPRD Deli Serdang dari Fraksi NasDem, Aldi Hidayat, yang sempat menduduki kursi pimpinan. Aldi kemudian memberikan klarifikasi bahwa ia merasa “terjebak” dan tidak memahami agenda rapat. Ia mengaku pergi ke kamar mandi sebelum ricuh dan saat kembali, ia dipanggil-panggil untuk naik ke meja pimpinan. Begitu menyadari bahwa itu adalah agenda sidang paripurna yang berbeda dari seharusnya, ia langsung turun.

Pengakuan “Terjebak” di Kursi Pimpinan

Pengakuan Aldi Hidayat ini memberikan gambaran tentang dinamika di dalam ruang sidang yang sangat cair dan mungkin kurang terstruktur pada saat itu. Ia juga menegaskan loyalitasnya kepada partai dan kepada Kuzu Serasi Tarigan, yang diamanahkan sebagai Wakil Ketua DPRD Deli Serdang oleh partainya. Ini menunjukkan bahwa ada potensi manipulasi atau kesalahpahaman yang terjadi di tengah kericuhan.

Pertanyaan Kritis Mengenai Pemaksaan Agenda

Aldi Hidayat juga mempertanyakan mengapa ada sekitar 35 anggota dewan yang terkesan memaksakan agenda pembahasan LKPD dan KUA-PPAS, padahal jadwal paripurna adalah penjelasan Bupati tentang RPJMD. Ia menekankan bahwa banyaknya jumlah anggota yang menghendaki suatu hal tidak serta merta menjadikannya benar, terutama jika caranya melanggar aturan. Ia menambahkan bahwa LKPD dan KUA-PPAS dibahas di Badan Anggaran (Banggar), sehingga tidak bisa dibahas bersamaan di paripurna dengan agenda RPJMD.

Mengapa LKPD dan KUA-PPAS Begitu Mendesak?

Desakan untuk segera membahas LKPD dan KUA-PPAS memang menjadi pemicu utama kericuhan ini. Namun, apa urgensi di balik desakan tersebut?

Urgensi Pembahasan Anggaran

Beberapa anggota dewan, seperti Indra Silaban dari Badan Musyawarah (Bamus), menegaskan pentingnya segera membahas Perubahan APBD (P-APBD) 2025 demi kepentingan masyarakat. Ia berpendapat, jika tidak segera dibahas, DPRD yang akan disalahkan oleh masyarakat. Antony Napitupulu juga menyayangkan tindakan pimpinan sidang yang tidak hanya meninggalkan forum, tetapi juga tidak menetapkan jadwal pembahasan penting terkait LKPD dan KUA-PPAS untuk P-APBD 2025. Menurutnya, usulan tersebut merupakan jalannya pembangunan di Deli Serdang, termasuk untuk gaji ASN.

Ini menggarisbawahi bahwa pembahasan anggaran, laporan keuangan, dan perubahan kebijakan anggaran adalah inti dari fungsi pengawasan dan legislasi DPRD. Keterlambatan atau penundaan pembahasan ini dapat berdampak langsung pada pelayanan publik dan kinerja pemerintahan daerah.

Dugaan Pengkondisian di Balik Layar

Meskipun urgensi pembahasan anggaran dapat dipahami, muncul dugaan adanya “pengkondisian” di balik desakan tersebut. Ada informasi yang menyebutkan bahwa sebelumnya sudah terjadi pertemuan antara 30 anggota DPRD Deli Serdang dengan pejabat teras di lingkungan Pemkab Deli Serdang di salah satu hotel. Dugaan pengkondisian ini semakin diperkuat ketika setelah Antony Napitupulu dan pimpinan sementara lainnya memimpin, Anggota DPRD Adami Sulaiman langsung membacakan draf jadwal LKPD dan Perubahan Kebijakan Umum Anggaran serta Perubahan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) tanpa jeda atau skors. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa agenda tersebut sudah dipersiapkan sebelumnya.

Selain itu, insiden pergantian Pelaksana Harian (Plh) Sekwan juga menambah misteri. Binsar Sitanggang yang baru diaktifkan kembali sebagai Sekwan terhitung 16 Juni 2025 oleh Bupati, tiba-tiba digantikan kembali oleh Iwan Salewa sebagai Plh Sekwan tanpa penjelasan. Perubahan ini, yang bertepatan dengan insiden walk out dan ambil alih pimpinan sidang DPRD Deli Serdang Antony Napitupulu, dapat mengindikasikan adanya upaya-upaya di balik layar yang lebih kompleks.

Implikasi dan Harapan ke Depan

Insiden di DPRD Deli Serdang ini menyoroti beberapa isu krusial dalam praktik demokrasi lokal.

Menegakkan Tata Tertib dan Aturan Main

Perdebatan mengenai “Tatib” atau tata tertib adalah inti dari konflik ini. Tatib adalah panduan fundamental bagi setiap lembaga legislatif untuk memastikan proses pengambilan keputusan berjalan adil, transparan, dan akuntabel. Jika ada perbedaan interpretasi atau pelanggaran terhadap Tatib, hal itu dapat merusak integritas lembaga dan legitimasi keputusan yang diambil. Penting bagi seluruh anggota dewan untuk memiliki pemahaman yang seragam dan mematuhi aturan yang telah disepakati bersama. Kasus ini menjadi pengingat betapa krusialnya penegakan aturan main dalam setiap proses politik.

Seruan untuk Duduk Bersama

Aldi Hidayat, dalam klarifikasinya, juga menyampaikan harapan agar semua pihak, baik dari DPRD Deli Serdang maupun Pemkab Deli Serdang, dapat “duduk bersama” dan tidak menonjolkan ego. Ini adalah seruan yang relevan. Konflik dan tarik-menarik kepentingan memang wajar dalam politik, namun harus disalurkan melalui mekanisme yang sah dan konstruktif. Diskusi terbuka, mediasi, dan kompromi adalah kunci untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tanpa harus mengorbankan prosedur dan etika berdemokrasi.

Insiden ambil alih pimpinan sidang DPRD Deli Serdang Antony Napitupulu ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya komunikasi yang efektif, kepatuhan terhadap prosedur, dan kematangan berpolitik demi kepentingan masyarakat Deli Serdang. Masyarakat berhak mendapatkan representasi yang berfungsi dengan baik, bukan yang terjebak dalam konflik internal yang menghambat jalannya pemerintahan dan pembangunan.

Kesimpulan Akhir

Peristiwa ricuhnya rapat paripurna DPRD Deli Serdang yang berujung pada aksi ambil alih pimpinan sidang DPRD Deli Serdang oleh Antony Napitupulu adalah cerminan kompleksitas dan dinamika politik lokal. Konflik yang berakar dari perbedaan prioritas agenda dan interpretasi tata tertib ini menunjukkan betapa krusialnya penegakan aturan main dalam setiap proses legislatif. Meskipun aksi ambil alih ini didasari klaim kuorum dan urgensi pembahasan anggaran, potensi implikasi hukum dan dugaan adanya pengkondisian di balik layar memunculkan pertanyaan serius tentang transparansi dan akuntabilitas.

Pada akhirnya, insiden ini harus menjadi momentum bagi seluruh elemen di DPRD Deli Serdang, dan juga Pemkab, untuk mengevaluasi kembali mekanisme kerja, memperkuat pemahaman terhadap aturan, serta mengedepankan dialog dan musyawarah. Demi kepentingan masyarakat Deli Serdang, ego pribadi dan kelompok harus dikesampingkan, dan fokus utama harus kembali pada tugas pokok dan fungsi legislatif dalam melayani rakyat secara maksimal. Hanya dengan begitu, lembaga perwakilan rakyat dapat menjalankan perannya secara efektif dan mendapatkan kembali kepercayaan publik.

Apakah Anda memiliki pandangan atau informasi tambahan mengenai peristiwa ini? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar di bawah. Mari kita diskusikan secara konstruktif demi kemajuan daerah kita.