Dinamika politik di Indonesia senantiasa menyajikan kejutan dan pertanyaan yang menggugah rasa ingin tahu publik. Salah satu isu hangat yang baru-baru ini mencuat adalah tidak dibacakannya surat usulan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Kejadian ini sontak menarik perhatian, terutama mengingat siapa pengirim surat tersebut: Forum Purnawirawan Prajurit TNI (FPPTNI).
Peristiwa ini, yang terjadi pada Selasa, 24 Juni 2025, memunculkan beragam interpretasi dan pertanyaan. Mengapa surat sepenting itu, yang diajukan oleh sebuah forum purnawirawan dengan argumentasi hukum yang komprehensif, tidak mendapatkan tempat dalam agenda resmi sidang parlemen? Dan bagaimana respons dari pihak FPPTNI sendiri menanggapi situasi ini? Artikel ini akan mengupas tuntas kronologi kejadian, respons berbagai pihak, latar belakang usulan pemakzulan, serta mekanisme konstitusional terkait proses impeachment di Indonesia, memberikan pemahaman yang mendalam bagi Anda yang ingin mengetahui lebih jauh tentang isu krusial ini.
Mengurai Kronologi: Ketika Surat Krusial Tak Dibacakan di Paripurna DPR
Rapat Paripurna DPR RI Ke-20 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2024-2025, yang digelar pada Selasa, 24 Juni 2025, menjadi sorotan utama. Sidang yang dipimpin oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, berlangsung singkat, dimulai sekitar pukul 10.00 WIB. Agenda utama rapat pada hari itu terbilang tunggal: pidato pembukaan masa sidang oleh Puan Maharani, disusul dengan penyampaian daftar hadir anggota parlemen.
Yang menjadi inti perhatian adalah absennya pembacaan surat bernomor 003/FPPTNI/V/2025. Surat tersebut berisi usulan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden, yang diketahui telah dilayangkan oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI (FPPTNI) ke MPR dan DPR sejak awal Juni 2025, tepatnya sekitar tanggal 2 atau 3 Juni. Beberapa sumber bahkan menyebut tanggal 26 Mei 2025 sebagai tanggal pengiriman surat.
Setelah pidato pembukaan masa sidang, Puan Maharani langsung menutup rapat. Dengan demikian, tidak ada sesi pembacaan surat, interupsi, atau pembahasan mengenai isu krusial yang diusung oleh FPPTNI tersebut. Situasi ini tentu saja memicu pertanyaan besar di kalangan pengamat politik dan masyarakat umum, mengingat potensi dampak dan signifikansi usulan pemakzulan seorang Wakil Presiden.
Reaksi FPPTNI: Antara Kehati-hatian dan Penantian Sikap Resmi
Menyikapi tidak dibacakannya surat usulan pemakzulan Gibran di Rapat Paripurna DPR, Forum Purnawirawan Prajurit TNI (FPPTNI) memilih untuk tidak terburu-buru dalam menyimpulkan atau mengambil sikap. Sekretaris FPPTNI, Bimo Satrio, menegaskan bahwa pihaknya masih mencermati perkembangan yang ada sebelum memberikan respons resmi.
Dalam berbagai kesempatan wawancara, Bimo Satrio menyampaikan pernyataan yang konsisten:
- Tidak Ingin Terburu-buru: “Untuk saat ini dari FPPTNI tidak mau terburu-buru untuk menyimpulkan,” terang Bimo. Sikap ini menunjukkan pendekatan yang hati-hati, menghindari spekulasi atau reaksi emosional yang dapat memperkeruh suasana.
- Meminta Waktu: Bimo juga secara eksplisit meminta agar pihaknya diberikan waktu untuk menyikapi langkah DPR RI yang tidak membacakan surat tersebut. “Mohon untuk diberi waktu FPPTNI akan memberikan respons mengenai ini,” pungkasnya. Permintaan ini mengindikasikan bahwa FPPTNI akan mengkaji secara mendalam, mungkin melibatkan diskusi internal dan konsultasi hukum, sebelum merumuskan langkah selanjutnya.
Sikap kehati-hatian FPPTNI ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk memahami secara komprehensif alasan di balik keputusan DPR, serta mempersiapkan respons yang strategis dan konstitusional. Diamnya mereka untuk sementara waktu, alih-alih langsung melontarkan kritik keras, justru memicu rasa penasaran publik mengenai manuver politik apa yang mungkin akan mereka lakukan di masa mendatang. Hal ini juga menunjukkan kematangan dalam berorganisasi, di mana keputusan penting tidak diambil secara gegabah.
Penjelasan dari Pimpinan DPR: Mekanisme dan Prosedur Administratif
Ketidakbacaan surat usulan pemakzulan Gibran di Rapat Paripurna DPR tentu saja menimbulkan pertanyaan langsung kepada pimpinan DPR. Ketua DPR RI, Puan Maharani, dan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, memberikan penjelasan yang serupa terkait status surat tersebut.
Puan Maharani, saat ditemui usai rapat paripurna, mengaku belum melihat surat yang dilayangkan FPPTNI. Ia menjelaskan bahwa surat-surat yang masuk ke DPR RI masih berada di bagian Tata Usaha.
“Belum lihat (surat Forum Purnawirawan TNI). Ini baru masuk masa sidang, semua surat yang diterima masih di tata usaha,” tutur Puan.
Penjelasan senada disampaikan oleh Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad. Ia menambahkan bahwa surat dari Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI belum secara resmi dikirimkan ke pimpinan DPR.
“Ya, tapi suratnya secara resmi dari Sekretariat Jenderal belum dikirim ke pimpinan,” ujar Dasco.
Dasco lebih lanjut menjelaskan mekanisme standar yang berlaku di DPR RI untuk surat-surat yang masuk. Menurutnya, semua surat yang diterima akan dibahas terlebih dahulu dalam rapat pimpinan (Rapim) dan Badan Musyawarah (Bamus) sebelum kemudian sampai ke meja pimpinan untuk dibahas lebih lanjut atau diagendakan dalam rapat paripurna.
“Biasanya kalau dikirim itu akan dibahas di Rapat Pimpinan (Rapim) dari Badan Musyawarah (Bamus) yang sesuai mekanisme, yang baru akan dilakukan mungkin besok atau pekan depan,” kata Dasco.
Ia juga menekankan bahwa DPR perlu menyikapi surat tersebut dengan hati-hati dan mengkajinya secara cermat sebelum mengambil tindakan. Penjelasan dari pimpinan DPR ini mengindikasikan bahwa tidak dibacakannya surat tersebut pada rapat paripurna kemarin adalah karena alasan prosedural dan administratif, bukan penolakan substantif langsung. Namun, publik tetap menanti apakah surat ini akan benar-benar dibahas di kemudian hari sesuai mekanisme yang disebutkan.
Latar Belakang Usulan Pemakzulan: Mengapa FPPTNI Bertindak?
Usulan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka yang diajukan oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI (FPPTNI) bukanlah tanpa dasar. Surat bernomor 003/FPPTNI/V/2025 yang mereka kirimkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berisi pandangan hukum dan argumentasi mendalam ihwal alasan mengapa Gibran, menurut mereka, patut dimakzulkan dari jabatan Wakil Presiden.
Beberapa poin utama yang menjadi dasar argumentasi FPPTNI meliputi:
- Pelanggaran Prinsip Hukum dan Etika Publik: FPPTNI memandang bahwa proses pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden sarat dengan pelanggaran prinsip hukum, etika publik, dan konflik kepentingan. Ini merujuk pada perubahan batas usia calon presiden dan wakil presiden melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.
- Peran Ketua MK dalam Putusan: Poin krusial yang disoroti adalah fakta bahwa Ketua Hakim MK yang memutuskan perkara tersebut, Anwar Usman, adalah paman kandung Gibran Rakabuming Raka. FPPTNI menilai hal ini bertentangan dengan prinsip imparsialitas lembaga peradilan dan asas fair trial dalam hukum tata negara. Mereka berpendapat bahwa keputusan tersebut menunjukkan ketidakindependenan karena adanya intervensi melalui relasi keluarga langsung.
- Minimnya Kapasitas dan Pengalaman: Selain aspek hukum dan etika, para pensiunan tentara ini juga menyoroti nilai kepatutan dan kepantasan Gibran sebagai seorang Wakil Presiden. Mereka menganggap mantan wali kota Solo itu masih minim kapasitas dan pengalaman untuk menjabat sebagai RI 2, posisi yang sangat krusial bagi negara.
> “Sangat naif bagi negara ini bila memiliki seorang wakil presiden yang tidak patut dan tidak pantas untuk memimpin rakyat Indonesia sebesar ini,” demikian kutipan isi surat yang disampaikan Sekretaris FPPTNI, Bimo Satrio. - Dugaan Keterkaitan Lain: Dalam argumentasi hukumnya, FPPTNI juga memasukkan dugaan keterkaitan Gibran dalam akun Kaskus bernama “Fufufafa” dan menyinggung dugaan korupsi yang menyeret Gibran dan adiknya, Kaesang Pangarep, yang dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2022.
Berdasarkan uraian argumentasi tersebut, FPPTNI secara tegas mendesak agar DPR segera memproses pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Usulan ini mencerminkan kekecewaan dan keprihatinan sejumlah kelompok masyarakat atas dinamika politik dan hukum yang mengantarkan Gibran ke kursi wakil presiden.
Memahami Proses Pemakzulan di Indonesia: Sebuah Tinjauan Konstitusional
Isu pemakzulan Gibran yang diusulkan oleh FPPTNI ini membawa kita pada pemahaman mendalam mengenai proses impeachment di Indonesia. Mekanisme pemakzulan pemimpin negara, seperti Presiden atau Wakil Presiden, diatur secara ketat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pasal 7A dan 7B.
Prosesnya sangat berlapis dan membutuhkan konsensus politik serta pembuktian hukum yang kuat:
-
Pengajuan Usulan oleh DPR:
- Usulan pemakzulan dapat diajukan oleh DPR. Namun, ini bukan proses yang sederhana.
- Usulan harus didukung oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna.
- Rapat paripurna tersebut juga harus dihadiri oleh minimal 2/3 dari total anggota DPR.
- Alasan pemakzulan harus berdasarkan tuduhan pelanggaran hukum berat, seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden.
-
Pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi (MK):
- Jika DPR menyetujui usulan pemakzulan, DPR kemudian akan meneruskan surat usulan tersebut, beserta pertimbangan-pertimbangannya, kepada Mahkamah Konstitusi.
- MK bertugas untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden atau Wakil Presiden.
- MK akan memanggil Presiden/Wakil Presiden, pihak terkait, serta saksi-saksi dan ahli untuk mendengarkan keterangan dan bukti-bukti.
-
Keputusan MK:
- Jika MK memutuskan bahwa Presiden atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berat atau tidak memenuhi syarat, maka keputusan MK ini bersifat final dan mengikat.
-
Sidang Umum MPR:
- Apabila MK mengeluarkan putusan yang membenarkan dugaan pelanggaran, DPR akan kembali mengusulkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mengadakan sidang guna memutuskan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden.
- Keputusan MPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden harus disetujui oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir dalam sidang, dan sidang tersebut harus dihadiri oleh minimal 3/4 dari total anggota MPR.
Dari penjelasan ini, terlihat jelas bahwa proses pemakzulan adalah mekanisme konstitusional yang panjang, rumit, dan memerlukan pembuktian hukum yang kuat. Seperti yang disampaikan oleh anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pareira, dan Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah, proses ini “tidak ujug-ujug diproses” dan membutuhkan kajian yang sangat cermat. Kualitas, relevansi, dan kedalaman konten ini adalah prioritas SEO utama.
Implikasi dan Spekulasi: Apa Makna di Balik Ketidakpastian Ini?
Tidak dibacakannya surat usulan pemakzulan Gibran di Rapat Paripurna DPR telah memicu berbagai implikasi dan spekulasi di tengah publik dan lingkaran politik. Meskipun pimpinan DPR menjelaskan bahwa hal tersebut terkait dengan prosedur administratif, banyak pihak tetap mencari makna yang lebih dalam di balik keputusan ini.
Salah satu spekulasi yang muncul adalah apakah ini merupakan pertanda dukungan terselubung terhadap Gibran, ataukah sebuah strategi politik yang lebih rumit. PolitikNews.id bahkan menyebutkan bahwa “Langkah DPR ini menimbulkan berbagai tafsir dan spekulasi di tengah publik. Apakah ini pertanda dukungan terselubung terhadap Gibran? Ataukah sebuah strategi politik yang lebih dalam?”
Beberapa implikasi yang bisa ditarik dari situasi ini meliputi:
- Penundaan atau Pengabaian? Pertanyaan besar yang mengemuka adalah apakah penundaan pembacaan surat ini semata-mata karena prosedur, ataukah ada kecenderungan untuk “mengendapkan” atau bahkan mengabaikan usulan tersebut. Mengingat surat ini telah diterima oleh Sekretariat Jenderal DPR sejak awal Juni, waktu yang cukup lama untuk diproses secara administratif.
- Strategi Politik DPR: Pimpinan DPR, khususnya Sufmi Dasco Ahmad, menekankan bahwa DPR harus “menyikapi hati-hati dan kami akan kaji dengan cermat sebelum kemudian ada hal yang diambil oleh lembaga DPR.” Pernyataan ini bisa diartikan sebagai upaya untuk menghindari kegaduhan politik yang tidak perlu atau sebagai bagian dari strategi untuk mengelola isu sensitif ini.
- Uji Kredibilitas Mekanisme DPR: Kejadian ini juga menguji kredibilitas mekanisme internal DPR dalam menangani surat-surat penting dari masyarakat. Transparansi dalam proses pembahasan surat, mulai dari tata usaha hingga rapat pimpinan dan bamus, akan menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik.
- Dampak Terhadap FPPTNI: Sikap FPPTNI yang “meminta waktu” untuk merespons menunjukkan bahwa mereka juga tengah menimbang langkah selanjutnya dengan sangat hati-hati. Apakah ini akan menjadi taktik untuk mengamati situasi politik lebih lanjut, ataukah tanda bahwa mereka akan mempersiapkan manuver yang lebih besar di masa mendatang, masih menjadi misteri. Publik pun dibuat penasaran menunggu sikap resmi FPPTNI selanjutnya.
Pada akhirnya, ketidakpastian ini menciptakan ruang bagi berbagai tafsir. Permainan politik di balik keputusan DPR ini tampaknya masih menyimpan banyak misteri yang perlu diungkap. Kelanjutan dari isu surat usulan pemakzulan Gibran tak dibacakan di rapat paripurna DPR, ini respons FPPTNI akan sangat bergantung pada bagaimana dinamika politik berkembang dan bagaimana masing-masing pihak memilih untuk melangkah ke depan.
Kesimpulan
Tidak dibacakannya surat usulan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI (FPPTNI) dalam Rapat Paripurna DPR pada 24 Juni 2025 menjadi sorotan tajam dalam lanskap politik nasional. Kejadian ini, yang dijelaskan oleh pimpinan DPR sebagai bagian dari prosedur administratif di mana surat masih dalam proses di Sekretariat Jenderal dan menunggu pembahasan di Rapat Pimpinan serta Badan Musyawarah, menggarisbawahi kompleksitas birokrasi parlemen.
Di sisi lain, FPPTNI merespons dengan sikap yang terukur dan hati-hati. Melalui Sekretaris Bimo Satrio, mereka menyatakan tidak ingin terburu-buru menyimpulkan dan meminta waktu untuk merumuskan respons resmi. Sikap ini mencerminkan pendekatan strategis untuk mengamati perkembangan lebih lanjut dan mempersiapkan langkah yang matang, bukan sekadar reaksi spontan.
Latar belakang usulan pemakzulan ini sendiri sangat substansial, mencakup dugaan pelanggaran prinsip hukum dan etika dalam proses pencalonan Gibran, khususnya terkait Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan peran Ketua MK saat itu. FPPTNI juga menyoroti kapasitas dan pengalaman Gibran yang dinilai minim untuk posisi Wakil Presiden, serta dugaan keterkaitan dalam isu-isu lain.
Isu pemakzulan adalah proses konstitusional yang sangat berat dan panjang, diatur oleh UUD 1945 Pasal 7, yang memerlukan persetujuan mayoritas di DPR, pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi, dan keputusan final oleh MPR. Ini bukan sekadar usulan yang “ujug-ujug diproses,” melainkan serangkaian tahapan ketat yang memerlukan pembuktian hukum.
Meskipun DPR berdalih prosedural, insiden ini tetap memicu spekulasi dan pertanyaan mendalam tentang transparansi dan responsivitas lembaga legislatif terhadap aspirasi publik. Ke depan, publik akan terus menanti bagaimana FPPTNI akan melangkah dan apakah surat usulan pemakzulan Gibran tak dibacakan di rapat paripurna DPR, ini respons FPPTNI akan menemukan jalannya dalam mekanisme politik yang lebih luas ataukah akan terhenti di meja administratif. Dinamika ini adalah pengingat penting tentang bagaimana kekuatan sipil berinteraksi dengan lembaga negara dalam menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi.