Mengapa Donald Trump ‘Mencak-mencak’ soal Serangan Nuklir AS ke Iran? Mengurai Kompleksitas di Baliknya

Dipublikasikan 25 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Geopolitik Timur Tengah selalu menjadi arena yang penuh intrik dan ketegangan. Baru-baru ini, jagat maya dihebohkan dengan berita Donald Trump ‘mencak-mencak’ ke soal AS serang nuklir Iran, kenapa? Reaksi keras mantan Presiden Amerika Serikat ini terhadap laporan media mengenai efektivitas serangan Pentagon ke fasilitas nuklir Iran memicu pertanyaan besar: Apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa insiden ini begitu krusial hingga memancing amarah seorang Donald Trump? Artikel ini akan mengupas tuntas insiden serangan tersebut, menelusuri alasan di balik kemarahan Trump, motif AS di balik serangan, respons Iran, hingga implikasi geopolitik yang lebih luas. Mari kita selami lapisan-lapisan kompleks dari peristiwa yang mengguncang panggung internasional ini.

Mengapa Donald Trump 'Mencak-mencak' soal Serangan Nuklir AS ke Iran? Mengurai Kompleksitas di Baliknya

Serangan ke Jantung Program Nuklir Iran: Kilas Balik Peristiwa

Pada Minggu, 22 Juni 2025, dunia dikejutkan oleh kabar bahwa Amerika Serikat melancarkan serangan udara terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran: Fordow, Natanz, dan Isfahan. Serangan ini dilakukan menggunakan kombinasi kekuatan militer yang canggih dan mematikan. Menurut laporan, operasi yang diberi nama sandi Operasi Midnight Hammer ini melibatkan 125 pesawat militer AS, termasuk tujuh pesawat pengebom siluman B-2 yang mampu menembus pertahanan udara Iran tanpa terdeteksi.

Penargetan fasilitas-fasilitas ini bukan tanpa alasan. Fordow, yang tersembunyi jauh di dalam lereng gunung, dikenal sebagai pabrik pengayaan uranium vital yang berada di bawah tanah. Kedalamannya yang ekstrem membuatnya hampir mustahil dihancurkan oleh bom konvensional, sehingga AS mengerahkan Massive Ordnance Penetrators (MOP) GBU-57, atau yang lebih dikenal sebagai “bom penghancur bunker”. Bom seberat 13.000 kg ini dirancang untuk menembus beton setebal 18 meter atau tanah sedalam 61 meter sebelum meledak. Selain itu, lebih dari dua lusin rudal jelajah Tomahawk diluncurkan dari kapal selam AS untuk menyerang target di Isfahan, sementara Natanz juga menjadi sasaran serangan bom GBU-57.

Serangan ini terjadi hanya sepekan setelah Israel melancarkan serangan mendadak terhadap Iran, yang kemudian dibalas oleh Iran dengan rudal. Hal ini mengindikasikan bahwa serangan AS merupakan eskalasi signifikan dalam konflik bersenjata yang sedang berlangsung antara Iran dan Israel, dengan dukungan penuh dari Amerika Serikat. Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, bahkan mengakui koordinasi erat dengan sekutu Israel, menunjukkan bahwa operasi ini telah direncanakan berbulan-bulan sebelumnya.

Di Balik Kemarahan Trump: Kontradiksi Laporan & Klaim Kerusakan

Pascabom bardir, sorotan publik dan media tertuju pada dampak serangan tersebut. Presiden Donald Trump, melalui akun media sosial Truth dan X miliknya, segera mengklaim bahwa situs nuklir di Iran telah “hancur sepenuhnya!” Ia bahkan menyebut serangan itu sebagai “salah satu serangan militer (AS) paling sukses dalam sejarah.” Klaim ini mengindikasikan keberhasilan telak AS dalam melumpuhkan program nuklir Iran.

Namun, laporan eksklusif dari media terkemuka seperti CNN dan New York Times menyajikan narasi yang sangat berbeda. Berdasarkan keterangan intelijen AS, kedua media tersebut memberitakan bahwa serangan bom GBU-57 tidak sampai menghancurkan ketiga fasilitas nuklir secara total. Penilaian awal oleh Badan Intelijen Pertahanan (DIA) menunjukkan bahwa serangan itu “hanya menundanya selama beberapa bulan” dan tidak menyebabkan kerusakan berat. Temuan ini secara langsung bertentangan dengan klaim berulang Trump tentang “penghancuran total dan sepenuhnya.”

Kontradiksi inilah yang memicu Donald Trump ‘mencak-mencak’ ke soal AS serang nuklir Iran, kenapa? Trump menuding CNN dan New York Times menyebarkan “berita palsu” dan bekerja sama dalam upaya merendahkan keberhasilan militer AS. Meski demikian, pejabat AS lainnya, seperti utusan khusus Timur Tengah Steve Witkoff dan Menteri Pertahanan Pete Hegseth, tetap mendukung klaim Trump, menegaskan bahwa bom-bom penghancur bunker telah menembus target dan melumpuhkan kemampuan Iran.

Secara teknis, analisis citra satelit pascaserangan Fordow memang memperlihatkan enam kawah baru dan puing-puing abu-abu, yang menunjukkan titik masuk amunisi AS. Namun, para ahli menjelaskan bahwa bom penghancur bunker dirancang untuk meledak di dalam tanah, bukan di permukaan, sehingga efek ledakan besar di titik masuk tidak akan terlihat. Meskipun demikian, laporan intelijen awal yang menyatakan kerusakan minimal ini tetap menjadi dasar perbedaan pandangan yang tajam antara klaim Trump dan investigasi media. Sementara itu, Iran sendiri mengakui serangan tersebut, namun membantah kerusakan dahsyat, bahkan mengklaim telah mengevakuasi personel dan material penting sebelumnya.

Mengapa AS Menyerang Fasilitas Nuklir Iran? Lebih dari Sekadar Reaksi

Keputusan AS untuk menyerang fasilitas nuklir Iran bukanlah tindakan impulsif, melainkan akumulasi dari berbagai faktor geopolitik dan strategis:

  • Pencegahan Nuklir: Tujuan utama AS dan Israel adalah memastikan Iran tidak pernah memiliki senjata nuklir. Program pengayaan uranium Iran, terutama di Fordow yang tersembunyi, selalu menjadi ancaman serius bagi stabilitas regional dan keamanan Israel. Serangan ini merupakan upaya langsung untuk menghambat kemajuan program tersebut.
  • Eskalasi Konflik Israel-Iran: Serangan AS terjadi di tengah memanasnya konflik antara Israel dan Iran, yang ditandai dengan aksi saling serang rudal. AS, sebagai sekutu dekat Israel, merasa perlu untuk mendukung Israel dan menunjukkan kekuatan militer dalam menghadapi ancaman Iran. Serangan ini bertujuan untuk melemahkan kemampuan Iran sekaligus mengirimkan pesan tegas.
  • Gagalnya Upaya Diplomatik: Sebelum serangan, Donald Trump dilaporkan berupaya mengatur pembicaraan potensial antara pejabat AS dan Iran di Istanbul, bahkan di sela-sela pertemuan puncak G7 di Kanada. Namun, upaya ini gagal karena Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei tidak dapat dihubungi dan serangan udara Israel membuat perjalanan pejabat Iran menjadi terlalu berbahaya. Kegagalan diplomasi ini membuka jalan bagi opsi militer.
  • Tekanan dari Sekutu: Israel secara konsisten menekan AS untuk mengambil tindakan militer terhadap fasilitas nuklir Iran, terutama Fordow, yang Israel tidak memiliki kapasitas militer untuk menghancurkannya sendiri. Keterlibatan AS, yang memiliki bom penghancur bunker khusus, menjadi krusial dalam memenuhi tujuan Israel untuk melumpuhkan target bawah tanah.
  • Strategi “Teori Orang Gila” Trump: Beberapa pihak melihat pendekatan Trump terhadap Iran sebagai bagian dari “teori orang gila” dalam hubungan internasional. Teori ini menyarankan bahwa dengan menunjukkan ketidakpastian dan potensi tindakan ekstrem, seorang pemimpin dapat memaksa lawan atau bahkan sekutu untuk patuh. Ancaman kekerasan yang diselingi dorongan diplomasi adalah ciri khas taktik ini, yang bertujuan membuat Iran tidak nyaman dan lebih cenderung untuk bernegosiasi atau menyerah.

Respons Iran dan Pilihan Balasan yang Menegangkan

Merespons serangan AS, Iran tidak tinggal diam. Beberapa jam setelah pemboman, Iran meluncurkan rentetan rudal yang menghantam sebagian Tel Aviv dan Haifa di Israel, melukai puluhan orang. Presiden Iran Masoud Pezeshkian menegaskan bahwa AS “harus menerima tanggapan atas agresi mereka.”

Para analis keamanan internasional mengidentifikasi tiga skenario strategis yang mungkin diambil Iran dalam menanggapi serangan AS:

  1. Tidak Melakukan Apa Pun: Pilihan ini dapat menyelamatkan Iran dari serangan AS lebih lanjut dan membuka jalur diplomatik. Namun, ini berisiko membuat pemerintah Iran tampak lemah di mata domestik dan internasional, terutama setelah ancaman konsekuensi mengerikan jika AS menyerang.
  2. Membalas dengan Keras dan Cepat: Iran memiliki persediaan rudal balistik yang besar dan dapat menargetkan sekitar 20 pangkalan AS di Timur Tengah. Mereka juga mampu melancarkan “serangan berkelompok” menggunakan pesawat nirawak dan kapal torpedo cepat terhadap kapal perang Angkatan Laut AS. Potensi ancaman Iran untuk mengaktifkan “jaringan sel tidur” untuk melancarkan serangan teror di wilayah Amerika juga sempat disampaikan melalui jalur diplomatik tidak langsung.
  3. Membalasnya Nanti pada Waktu yang Dipilih Sendiri: Strategi ini melibatkan menunggu hingga ketegangan mereda dan kemudian meluncurkan serangan mendadak saat pangkalan AS tidak lagi dalam keadaan siaga maksimum. Ini memungkinkan Iran untuk memilih waktu dan tempat yang paling menguntungkan.

Meskipun fokus utama adalah program nuklir, patut dicatat bahwa Iran juga memiliki kemampuan militer konvensional yang patut diwaspadai, terutama dalam pengembangan drone. Donald Trump sendiri pernah menyatakan ketertarikannya pada drone Iran, seperti Arash-2, yang dikenal murah, canggih, dan mematikan, bahkan membandingkannya dengan drone AS. Ini menunjukkan bahwa Iran memiliki spektrum ancaman yang lebih luas daripada sekadar ambisi nuklir, menambah kompleksitas dalam penilaian AS terhadap kemampuan Iran.

Reaksi Global dan Dinamika Politik Domestik AS

Serangan AS dan respons Iran memicu reaksi beragam dari seluruh dunia dan di dalam negeri AS sendiri.

Di Amerika Serikat, dukungan dan kritik terhadap tindakan Trump terbagi:

  • Dukungan Republik: Senator seperti Ted Cruz dan Mitch McConnell dari Partai Republik menyatakan dukungan terhadap serangan tersebut sebagai “tanggapan bijaksana.” Mereka memandang ini sebagai langkah penting untuk menghadapi “penghasut perang di Teheran.”
  • Oposisi Republik dan “America First”: Namun, tidak semua Republikan setuju. Anggota Kongres Marjorie Taylor Greene, pendukung setia Trump, menyatakan bahwa “ini bukan pertarungan kita,” sementara Thomas Massie menyebut serangan itu “tidak konstitusional” karena kewenangan menyatakan perang berada di tangan Kongres. Suara-suara dari gerakan “Make America Great Again” (MAGA) yang pro-Trump juga menekan agar AS tidak terseret dalam perang Timur Tengah yang berpotensi mengorbankan kepentingan Amerika.
  • Kecaman Demokrat: Tokoh Demokrat terkemuka, Hakeem Jeffries, menuduh Trump membuat AS “terlibat dalam perang yang berpotensi membawa bencana di Timur Tengah” dan mengabaikan Kongres.

Secara internasional, negara-negara besar menyerukan de-eskalasi:

  • UK, Prancis, Jerman: Ketiga negara ini meminta Iran untuk menghindari tindakan apa pun yang dapat “mendestabilisasi” Timur Tengah lebih lanjut, sambil menegaskan bahwa Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir dan mendukung keamanan Israel.
  • Perserikatan Bangsa-Bangsa: Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, juga menyerukan ketenangan dan menahan diri dari tindakan yang dapat memperburuk situasi.

Bahkan di tengah gencatan senjata yang sempat berlaku singkat, Trump menyatakan frustrasinya baik terhadap Israel maupun Iran. Ia merasa Israel terlalu cepat melanggar gencatan senjata. Ini menunjukkan betapa rumitnya memediasi konflik di wilayah tersebut, bahkan bagi pemimpin sekuat AS.


Peristiwa Donald Trump ‘mencak-mencak’ ke soal AS serang nuklir Iran, kenapa? adalah cerminan dari kompleksitas hubungan internasional yang sarat kepentingan, strategi, dan ego politik. Kemarahan Trump bukan sekadar soal ego pribadi, melainkan juga upaya menegaskan narasi keberhasilan militer AS di tengah laporan yang meragukan, sekaligus bagian dari strategi besar untuk menekan Iran.

Serangan ke fasilitas nuklir Iran adalah langkah agresif yang bertujuan menghambat program nuklir Teheran dan merupakan bagian dari dinamika konflik Israel-Iran yang lebih besar. Respons Iran yang cepat menunjukkan bahwa mereka tidak akan mundur, sementara pilihan balasan mereka tetap menjadi misteri yang menegangkan. Di tengah semua ini, dunia menanti dengan cemas langkah selanjutnya dari para aktor utama di panggung geopolitik Timur Tengah. Konflik ini adalah pengingat bahwa perdamaian di wilayah tersebut masih merupakan tujuan yang jauh dan penuh tantangan.

Bagaimana menurut Anda, apakah strategi Trump ini efektif dalam jangka panjang, atau justru akan memperparah ketegangan di Timur Tengah? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar.