Memahami Ancaman Perang Tetangga RI yang Kian Memanas: Konflik Thailand dan Kamboja

Dipublikasikan 25 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Kawasan Asia Tenggara, yang dikenal dengan keragaman budaya dan pertumbuhan ekonominya yang dinamis, kini dihadapkan pada bayang-bayang ketegangan serius di salah satu sudutnya. Isu ancaman perang tetangga RI makin panas, Thailand vs Kamboja bukan lagi sekadar rumor, melainkan sebuah realitas yang menuntut perhatian. Konflik perbatasan antara dua negara anggota ASEAN ini, yang berulang kali meruncing, kini kembali memanas hingga memicu penutupan perbatasan dan langkah-langkah diplomatik yang drastis. Bagi Indonesia, sebagai salah satu pilar utama di kawasan, stabilitas di negara-negara tetangga adalah keniscayaan yang tak terpisahkan dari keamanan dan kemajuan nasional. Artikel ini akan mengupas tuntas akar permasalahan, eskalasi terbaru, dampak yang ditimbulkan, serta peran krusial yang harus dimainkan oleh komunitas internasional, khususnya ASEAN, dalam meredam potensi konflik yang lebih besar.

Memahami Ancaman Perang Tetangga RI yang Kian Memanas: Konflik Thailand dan Kamboja

Akar Ketegangan: Sengketa Berabad-Abad di Perbatasan

Konflik antara Thailand dan Kamboja bukanlah fenomena baru. Akarnya terentang jauh ke belakang, mencengkeram sejarah kolonialisme dan penentuan garis batas yang ambigu di awal abad ke-20 oleh Prancis. Salah satu pemicu utama ketegangan yang terus berulang adalah sengketa kepemilikan atas Candi Preah Vihear, sebuah situs warisan dunia UNESCO yang megah.

Candi Preah Vihear, yang terletak di perbatasan Provinsi Preah Vihear di Kamboja dan dekat distrik Kantharalak di Thailand, telah menjadi pusat perselisihan selama beberapa dekade. Meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 1962 memutuskan bahwa candi tersebut secara resmi milik Kamboja, area di sekitarnya yang seluas 4,6 kilometer persegi tetap menjadi titik pertikaian. Keputusan UNESCO pada 7 Juli 2008 yang secara definitif menetapkan Candi Preah Vihear sebagai warisan sejarah dunia milik Kamboja, bukannya meredakan, justru kembali menyulut api nasionalisme di kedua belah pihak. Sejak saat itu, bentrokan militer di wilayah perbatasan menjadi pemandangan yang kerap terjadi, menelan korban jiwa. Tercatat, setidaknya 28 orang telah tewas akibat konflik ini sejak tahun 2008.

Sengketa ini merupakan cerminan dari kompleksitas penetapan batas wilayah pasca-kolonial, di mana garis-garis imajiner yang ditarik di peta seringkali tidak selaras dengan realitas geografis, sejarah lokal, atau bahkan sentimen kebangsaan yang mendalam. Bagi kedua negara, kepemilikan atas wilayah di sekitar candi ini bukan hanya soal kedaulatan, tetapi juga tentang identitas dan warisan budaya yang tak ternilai.

Eskalasi Terbaru: Penutupan Perbatasan dan Dampak Langsung

Ketegangan yang selama ini memendam, kini kembali memuncak dengan serangkaian tindakan drastis. Pemicu terbarunya adalah bentrokan militer mematikan bulan lalu yang menyebabkan seorang tentara Kamboja tewas. Sebagai respons, militer Thailand mengambil langkah serius dengan menutup sebagian besar perlintasan perbatasan di enam provinsi yang berbatasan langsung dengan Kamboja. Penutupan ini mulai berlaku pada Senin, 23 Juni 2025, dan mencakup provinsi-provinsi penting seperti Surin, Buriram, Sri Sa Ket, Sa Kaeo, Chanthaburi, dan Trat.

Penutupan ini diberlakukan untuk semua jenis kendaraan dan pejalan kaki, termasuk warga lokal dan wisatawan asing. Pengecualian hanya diberikan bagi pelajar dan pasien medis, serta untuk memastikan pasokan barang-barang esensial tetap tersedia. Dampak paling terasa adalah di titik-titik penting seperti Aranyaprathet-Poipet, yang merupakan jalur utama bagi wisatawan dan perdagangan lintas batas.

Reaksi dari Kamboja pun tak kalah tegas. Perdana Menteri Hun Manet memerintahkan penghentian impor bahan bakar, gas, serta buah dan sayuran dari Thailand. Selain itu, langkah-langkah budaya dan teknologi juga diambil: larangan penayangan drama Thailand dan pemutusan jaringan internet dari negara tetangga tersebut. Keputusan ini jelas menunjukkan bahwa Kamboja tidak akan tinggal diam dan siap membalas dengan langkah-langkah yang bersifat multi-sektoral, dari ekonomi hingga budaya. Dalam persiapan menghadapi kemungkinan terburuk, Kamboja juga telah memindahkan hampir 3.850 warganya dari wilayah perbatasan, menunjukkan tingkat keseriusan situasi ini. Secara diplomatik, Kamboja kembali meminta bantuan Mahkamah Internasional (ICJ) untuk menyelesaikan sengketa di empat titik perbatasan, termasuk tiga kuil kuno lainnya selain Preah Vihear.

Rippel Efek: Guncangan Politik Internal Thailand

Konflik perbatasan ini tidak hanya berdampak pada hubungan bilateral Thailand-Kamboja, tetapi juga menciptakan gelombang turbulensi di dalam negeri Thailand. Krisis ini turut mengguncang lanskap politik Thailand yang memang sudah rentan. Puncaknya adalah kebocoran percakapan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra yang dianggap meremehkan militer di wilayah perbatasan. Rekaman tersebut memicu kemarahan publik dan meningkatkan tekanan terhadap pemerintahannya.

Akibat insiden ini, salah satu partai koalisi pemerintahan memutuskan untuk menarik diri, semakin melemahkan posisi Paetongtarn Shinawatra. Ia kini menghadapi desakan kuat dari berbagai pihak, baik dari oposisi maupun masyarakat, untuk mundur dari jabatannya atau segera menggelar pemilihan umum lebih awal. Tekanan ini menunjukkan betapa sensitifnya isu kedaulatan dan militer di Thailand, dan bagaimana konflik eksternal dapat dengan cepat merembet menjadi krisis politik internal yang serius. Pemerintah Thailand sendiri telah memanggil duta besar Kamboja pada Jumat lalu untuk menyampaikan protes resmi terkait pernyataan kontroversial yang beredar, menegaskan bahwa ketegangan diplomatik dan militer terus meningkat, membuat prospek penyelesaian damai semakin tidak pasti.

Peran ASEAN dan Hukum Internasional dalam Meredam Konflik

Dalam konteks ketegangan yang terus meningkat antara Thailand dan Kamboja, peran organisasi regional seperti ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) menjadi sangat vital. ASEAN didirikan dengan tujuan fundamental untuk memelihara dan meningkatkan perdamaian, keamanan, dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Piagam ASEAN, organisasi ini berkomitmen untuk memperkuat nilai-nilai yang berorientasi pada perdamaian, menjamin bahwa rakyat dan negara-negara anggotanya hidup damai di lingkungan yang adil, demokratis, dan harmonis, serta untuk memperkuat demokrasi, pemerintahan yang baik, supremasi hukum, dan melindungi hak asasi manusia.

Sengketa perbatasan, seperti yang terjadi antara Thailand dan Kamboja, merupakan salah satu jenis konflik yang seringkali menguji komitmen ASEAN. Konflik terkait Candi Preah Vihear adalah contoh nyata bagaimana sengketa wilayah dapat memicu bentrokan dan mengancam stabilitas regional. Dalam kasus ini, Dewan Keamanan PBB (DK-PBB) bahkan pernah mendesak kedua negara untuk menyelesaikan sengketanya melalui jalur ASEAN, menunjukkan kepercayaan komunitas internasional terhadap mekanisme penyelesaian konflik yang dimiliki organisasi ini. Baik Thailand maupun Kamboja pada akhirnya sepakat untuk menyelesaikan perselisihan mereka melalui platform ASEAN.

Meskipun demikian, ketegangan saat ini menunjukkan bahwa upaya resolusi konflik membutuhkan komitmen berkelanjutan dan diplomasi yang gigih. Permintaan Kamboja untuk melibatkan kembali Mahkamah Internasional (ICJ) juga menegaskan pentingnya penegakan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa antarnegara. Hukum internasional menyediakan kerangka kerja yang objektif untuk menginterpretasikan perjanjian dan hak-hak kedaulatan, yang dapat menjadi dasar bagi resolusi damai.

ASEAN, dengan prinsip konsensus dan non-intervensinya, dihadapkan pada tantangan untuk secara efektif memediasi dan mendorong dialog konstruktif antara kedua anggotanya. Ini bukan hanya tentang mencegah perang, tetapi juga tentang menjaga kredibilitas ASEAN sebagai penjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan yang strategis ini.

Menilik Dampak Lebih Luas bagi Stabilitas Asia Tenggara

Ketika ancaman perang tetangga RI makin panas, Thailand vs Kamboja, dampaknya tidak hanya terbatas pada kedua negara yang bersengketa. Sebagai negara tetangga yang sama-sama berada di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki kepentingan besar dalam menjaga stabilitas regional. Setiap gejolak, apalagi yang berpotensi menjadi konflik bersenjata skala penuh, akan memiliki efek domino yang luas.

  • Gangguan Ekonomi Regional: Penutupan perbatasan dan larangan impor-ekspor akan berdampak pada rantai pasok regional dan perdagangan lintas batas. Jika eskalasi berlanjut, kepercayaan investor terhadap stabilitas kawasan bisa menurun, menghambat pertumbuhan ekonomi di seluruh Asia Tenggara.
  • Krisis Kemanusiaan: Evakuasi warga yang telah dilakukan Kamboja adalah sinyal awal potensi krisis pengungsi. Konflik bersenjata dapat menyebabkan perpindahan penduduk besar-besaran, menciptakan beban kemanusiaan yang harus ditanggung oleh negara-negara tetangga, termasuk potensi arus pengungsi ke wilayah Indonesia.
  • Perpecahan dalam ASEAN: Ketidakmampuan ASEAN untuk secara efektif menyelesaikan konflik internal antar anggotanya dapat merusak citra dan solidaritas organisasi. Hal ini bisa melemahkan posisi tawar ASEAN di panggung global dan menghambat upaya integrasi regional yang lebih luas.
  • Interferensi Eksternal: Ketidakstabilan di kawasan dapat menarik perhatian kekuatan-kekuatan global yang mungkin memiliki kepentingan strategis, berpotensi memperkeruh suasana dan mengubah konflik bilateral menjadi proxy war yang lebih besar.

Oleh karena itu, dialog yang jujur, diplomasi yang intensif, dan kepatuhan pada hukum internasional adalah kunci untuk meredam ancaman perang tetangga RI makin panas, Thailand vs Kamboja. Indonesia, bersama negara-negara anggota ASEAN lainnya, harus terus mendorong kedua belah pihak untuk kembali ke meja perundingan dan mencari solusi damai yang berkelanjutan, demi kepentingan bersama dan masa depan Asia Tenggara yang stabil dan sejahtera.

Kesimpulan

Situasi yang berkembang antara Thailand dan Kamboja dengan ancaman perang tetangga RI makin panas, Thailand vs Kamboja adalah pengingat tajam akan kerapuhan perdamaian, bahkan di kawasan yang dikenal akan semangat persaudaraannya. Akar konflik yang kompleks, dipicu oleh sengketa historis dan diperparah oleh insiden perbatasan, telah membawa kedua negara ke titik didih yang mengkhawatirkan. Penutupan perbatasan, perang dagang kecil, hingga gejolak politik internal Thailand, semua menunjukkan bahwa eskalasi ini adalah ancaman nyata bagi stabilitas regional.

Di tengah ketidakpastian ini, peran ASEAN dan hukum internasional menjadi semakin krusial. Mekanisme dialog dan mediasi yang ada harus dioptimalkan untuk mendorong kedua belah pihak kembali pada solusi damai dan adil. Bagi Indonesia, sebagai negara besar di Asia Tenggara, menjaga perdamaian di antara negara-negara tetangga bukan hanya tanggung jawab regional, tetapi juga investasi strategis untuk keamanan dan kemakmuran nasional. Masa depan Asia Tenggara yang harmonis dan progresif sangat bergantung pada kemampuan kita bersama untuk meredam api konflik dan mengedepankan jalur diplomasi. Mari kita terus memantau situasi ini dengan cermat dan mendukung setiap upaya menuju resolusi damai.