Yogyakarta, zekriansyah.com – Pernahkah Anda berhenti sejenak dan merenung tentang benda-benda yang kita anggap punya kekuatan? Bukan cuma yang sakral di mata agama, tapi juga yang dipercaya bisa membawa keberuntungan, perlindungan, atau bahkan menyembuhkan. Ternyata, kisah benda bertuah atau yang sering kita sebut jimat, sudah ada sejak ribuan tahun lalu, jauh sebelum peradaban modern seperti sekarang. Dari fosil laut purba yang jadi jimat Romawi, hingga jejak tangan misterius di gua-gua kuno, bahkan sampai ke teknologi canggih seperti radar di Papua yang “melihat” langit.
Penemuan jimat kuno dari Zaman Laut Mati hingga jejak leluhur di Papua mengungkap evolusi kepercayaan manusia terhadap objek berkekuatan pelindung lintas zaman dan budaya.
Artikel ini akan mengajak Anda menelusuri kisah-kisah menarik di balik keyakinan manusia terhadap benda-benda yang dianggap punya kekuatan. Kita akan melihat bagaimana jimat zaman laut mati memiliki cerita yang tak kalah memukau dengan jejak-jejak leluhur yang terukir di batu, dan bagaimana konsep “melihat” atau “melindungi” itu berevolusi hingga menjadi sistem radar modern yang menjaga kedaulatan kita, khususnya di wilayah Papua. Siap? Mari kita mulai perjalanan ini!
Jimat Trilobit: Benda Bertuah dari Lautan Purba yang Telah Mati
Bayangkan ini: di sebuah bekas pemukiman Romawi kuno di Spanyol, para arkeolog menemukan sesuatu yang luar biasa. Bukan emas atau permata, melainkan sebuah fosil trilobit berwarna merah bata. Trilobit ini adalah makhluk laut purba yang sudah punah jutaan tahun lalu, bahkan sebelum manusia ada. Tapi, yang bikin kaget, fosil kecil ini ternyata sengaja dibentuk dan dipoles oleh tangan manusia kuno!
Para peneliti menduga, fosil ini bukan sekadar pajangan. Ia adalah jimat atau benda bertuah yang dibawa jauh, sekitar 430 kilometer dari tempat asalnya. Ada bagian-bagian yang sengaja diratakan, seolah disiapkan untuk dipasang pada perhiasan seperti liontin emas atau gelang perunggu. Ini menunjukkan bahwa orang Romawi kuno meyakini benda ini punya kekuatan, mungkin untuk melindungi, menyembuhkan, atau sekadar penanda status. Bahkan, Kaisar Augustus sendiri dikenal sebagai kolektor fosil, menunjukkan betapa benda-benda purba ini begitu dihargai. Penemuan ini benar-benar membuktikan bahwa daya tarik jimat dari zaman laut mati ini begitu kuat, melampaui waktu dan peradaban.
Jejak Tangan Leluhur di Gua Waribruk: Kisah ‘Jimat’ Tak Berwujud di Tanah Australia
Beralih ke benua lain, di kaki pegunungan bersalju Victoria, Australia, tersembunyi Gua Waribruk. Gua ini suci bagi para Sesepuh GunaiKurnai. Di dalam kegelapannya, para peneliti menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar “seni gua” biasa: ribuan jejak jari dan alur tangan yang terukir di dinding batu kapur yang berkilau.
Dinding gua ini unik karena dilapisi kristal yang terbentuk dari air tanah dan mikroba, membuat permukaannya seolah bercahaya dalam kegelapan. Jejak-jejak tangan ini, sebagian besar adalah goresan tangan orang dewasa, namun ada juga dua baris sempit jejak tangan kecil seorang anak, yang pasti diangkat oleh orang dewasa untuk mengukirnya. Tidak ada tanda-tanda tempat tinggal atau aktivitas sehari-hari di gua ini. Menurut tradisi lisan GunaiKurnai, Waribruk adalah ruang suci bagi para mulla-mullung—orang berilmu atau penyembuh—untuk menjalankan ritual. Mereka diyakini membawa kristal sebagai jimat atau sumber kekuatan spiritual. Jadi, jejak tangan di Waribruk bukan hanya coretan, melainkan bahasa tubuh leluhur, sebuah doa dalam bentuk gerakan, sebuah ritual yang diukir dalam batu. Ini adalah bentuk jimat yang tidak berwujud, sebuah manifestasi keyakinan yang mendalam.
Dari Jimat Kuno ke ‘Radar’ Modern: Bagaimana Teknologi ‘Melihat’ Dunia, Termasuk di Papua
Dari jimat fisik yang diyakini membawa kekuatan, hingga jejak ritual yang menjadi simbol keyakinan, manusia selalu mencari cara untuk memahami dan mengendalikan dunia di sekitarnya. Di era modern, konsep “melihat” atau “melindungi” ini berevolusi menjadi teknologi canggih, seperti radar.
Di Indonesia, khususnya di wilayah timur, peran radar sangat vital. Misalnya, di Kabupaten Merauke, Papua, TNI Angkatan Udara (AU) telah mengoperasikan radar pemantau untuk mengawasi aktivitas udara, terutama di perbatasan antara Indonesia dengan Papua New Guinea dan Australia. Pembangunan fasilitas radar di Papua ini telah direncanakan sejak 2009 dan mulai beroperasi pada 2011.
Radar ini adalah “mata” modern kita di langit, yang mampu mendeteksi pergerakan objek jauh di atas sana. Jika jimat zaman laut mati dan jejak tangan di gua adalah upaya manusia kuno untuk merasakan kehadiran kekuatan tak terlihat dan menjaga diri, maka radar adalah perpanjangan akal dan kemampuan kita untuk mengawasi dan menjaga kedaulatan. Ini adalah bentuk “jimat” modern yang memberikan rasa aman dan kontrol melalui data dan teknologi.
Jimat dalam Budaya Populer: Refleksi Harapan dan Realitas
Konsep jimat sendiri terus hidup dalam berbagai bentuk, bahkan di budaya populer. Ambil contoh “batu jimat” dalam film Korea Selatan “Parasite”. Batu ini awalnya dianggap membawa keberuntungan dan kekayaan mendadak bagi keluarga miskin. Namun, seiring berjalannya cerita, batu tersebut justru menimbulkan komplikasi dan masalah, hingga akhirnya harus dikembalikan ke habitat asalnya.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa terkadang, nilai sejati bukan terletak pada benda itu sendiri, melainkan pada apa yang kita proyeksikan padanya. Baik itu fosil trilobit kuno, jejak tangan di gua gelap, atau bahkan sistem radar modern, semuanya adalah cerminan dari kebutuhan dasar manusia: mencari perlindungan, memahami dunia, dan menemukan makna dalam kehidupan.
Kesimpulan: Jimat, Radar, dan Pencarian Makna Manusia
Perjalanan kita melintasi waktu, dari jimat zaman laut mati Romawi, jejak tangan leluhur di gua Waribruk, hingga fungsi vital radar di Papua, menunjukkan satu hal yang konsisten: manusia selalu mencari cara untuk merasa aman dan terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka. Entah itu melalui keyakinan pada benda bertuah, ritual kuno, atau teknologi canggih yang memantau dunia.
Setiap jimat, baik yang nyata maupun yang konseptual seperti radar, adalah saksi bisu dari evolusi pemahaman dan kepercayaan kita. Mereka bukan hanya objek atau sistem, melainkan narasi tentang harapan, ketakutan, dan keinginan abadi manusia untuk mengukir jejaknya di dunia, sekaligus memahami misteri yang ada di sekelilingnya.