Insiden Balita Ditinggal di Stasiun: Menguak Polemik Tiket dan Empati dalam Pelayanan Kereta Api

Dipublikasikan 25 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Dunia maya kembali dihebohkan dengan sebuah viral video petugas KA minta balita tak punya tiket ditinggal di stasiun, ini respons KAI yang segera menjadi sorotan publik. Klip singkat yang menampilkan seorang ibu meluapkan kekecewaannya di Stasiun Mandai, Maros, Sulawesi Selatan, telah memicu gelombang diskusi luas mengenai standar pelayanan publik, etika petugas, dan interpretasi aturan yang berlaku. Peristiwa ini bukan sekadar insiden biasa; ia menyentuh inti dari ekspektasi masyarakat terhadap empati dan profesionalisme dalam layanan transportasi umum, sekaligus menyoroti kompleksitas penerapan regulasi di lapangan.

Insiden Balita Ditinggal di Stasiun: Menguak Polemik Tiket dan Empati dalam Pelayanan Kereta Api

Dalam artikel ini, kita akan menyelami lebih dalam kronologi kejadian yang memicu kemarahan publik, menelaah respons cepat dari pihak berwenang, serta menganalisis implikasi yang lebih luas terkait aturan tiket untuk anak-anak dan pentingnya pelayanan prima. Mengapa insiden ini begitu beresonansi? Apa yang bisa dipelajari dari kasus ini untuk perbaikan layanan di masa depan? Mari kita telusuri bersama.

Kronologi Insiden yang Mengguncang Publik: Ketika Aturan Berbenturan dengan Empati

Peristiwa yang menjadi pangkal dari kegaduhan ini terjadi pada Minggu, 20 Juni 2025, di Stasiun Mandai, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Sebuah keluarga besar yang terdiri dari sekitar 30 orang, dipimpin oleh Sri Ushwa Ningrum (29) dan suaminya, Andi Sudarmanto, hendak melanjutkan perjalanan pulang ke Pangkep menggunakan layanan kereta api. Mereka telah memulai perjalanan dari Stasiun Pangkajene, transit di Garongkong dan Barru, sebelum tiba di Mandai.

Menurut penuturan Sri, mereka telah membeli 30 lembar tiket untuk rute perjalanan tersebut. Namun, masalah muncul ketika proses boarding di Stasiun Mandai. Petugas kereta api menolak mengizinkan balita berusia 2-3 tahun yang merupakan bagian dari rombongan mereka untuk naik kereta api karena tidak memiliki tiket. Situasi ini langsung memicu kekecewaan dan kemarahan Sri, mengingat sebelumnya di Stasiun Pangkajene, balitanya bisa ikut dalam perjalanan tanpa masalah terkait tiket.

Adu mulut pun tak terhindarkan. Sri dan keluarganya mencoba mencari solusi dengan menawarkan untuk membayar tiket tambahan, bahkan bersedia jika harus dikenakan denda atau membayar di atas harga normal. Namun, permohonan tersebut ditolak oleh petugas dengan alasan tiket sudah habis. Puncak dari kekesalan Sri adalah ketika petugas tersebut, dengan enteng dan tanpa empati, melontarkan kalimat yang sangat menyinggung: “Tidak bisa berangkat ini anak, tiket sudah habis, simpan saja ini anak di sini.”

Pernyataan yang seolah-olah menyarankan agar seorang anak balita ditinggalkan di stasiun sendirian ini sontak memantik amarah Sri. Ia merasa tidak dilayani dengan baik dan sikap petugas tersebut dianggap arogan serta tidak manusiawi. Video yang merekam momen kemarahan Sri, di mana ia sempat membentak petugas laki-laki tersebut, dengan cepat menyebar luas di media sosial dan memicu reaksi keras dari warganet.

Meskipun seorang sekuriti di stasiun sempat berupaya melerai dan bahkan mengizinkan keluarga untuk naik karena ada tempat berdiri kosong, Sri dan keluarganya sudah terlanjur kecewa. Mereka akhirnya memilih untuk tidak melanjutkan perjalanan dengan kereta api dan pulang ke Pangkajene menggunakan taksi online, membawa serta kekecewaan mendalam atas pengalaman buruk tersebut. Insiden ini menjadi cerminan nyata bagaimana komunikasi yang buruk dan kurangnya empati dalam pelayanan dapat merusak pengalaman pelanggan, bahkan di tengah kepatuhan terhadap prosedur.

Respons Cepat dari Balai Pengelola Kereta Api Sulawesi Selatan (BPKASS)

Insiden yang viral ini tidak luput dari perhatian Balai Pengelola Kereta Api Sulawesi Selatan (BPKASS), yang merupakan entitas di bawah Direktorat Jenderal Perkeretaapian dan Kementerian Perhubungan, yang memiliki wewenang dalam pengelolaan perjalanan kereta api di Sulawesi Selatan. Menanggapi kegaduhan publik ini, Kepala BPKASS, Deby Hospital, segera menyampaikan permintaan maaf atas ketidaknyamanan yang dialami oleh penumpang dan menyatakan komitmen untuk menanggapi kasus ini dengan serius.

BPKASS tidak tinggal diam. Berdasarkan hasil penelusuran internal, diketahui bahwa petugas yang terlibat dalam insiden tersebut adalah karyawan PT Angkasa Pura Support (APS), sebuah perusahaan pendukung operasional yang bertugas di area layanan stasiun, bukan petugas langsung dari PT KAI. Meskipun demikian, BPKASS menegaskan bahwa mereka memegang tanggung jawab penuh atas insiden tersebut dan telah mengambil langkah-langkah korektif yang konkret.

Beberapa langkah yang diambil oleh BPKASS sebagai bentuk komitmen perbaikan layanan antara lain:

  • Penelusuran Kronologi Objektif: Melakukan investigasi mendalam untuk memahami secara pasti urutan kejadian dan konteks di baliknya.
  • Evaluasi Prosedur Pelayanan: Meninjau kembali standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku dalam pelayanan pelanggan, khususnya terkait boarding dan pemeriksaan tiket.
  • Penegakan Sanksi Disipliner: BPKASS telah meminta PT APS untuk segera mengambil langkah-langkah pembinaan dan menjatuhkan sanksi sesuai ketentuan internal perusahaan kepada petugas yang terbukti melanggar standar pelayanan atau etika kerja.
  • Pelatihan Ulang (Refreshment Training): Mewajibkan PT APS untuk menyelenggarakan pelatihan ulang bagi seluruh personel yang bertugas di bawah koordinasi BPKASS. Pelatihan ini akan menekankan pentingnya pelayanan prima, keramahan dalam menghadapi pelanggan, serta penerapan nilai-nilai hospitality.
  • Evaluasi Sistem dan Prosedur Boarding: Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem dan prosedur boarding serta pemeriksaan penumpang di seluruh stasiun di bawah pengelolaannya. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa proses pelayanan berjalan lancar, adil, sesuai dengan standar kenyamanan, dan yang terpenting, menjamin keselamatan serta ketertiban bersama, sekaligus mencegah kejadian serupa terulang di masa mendatang.

Respons cepat dan komprehensif dari BPKASS ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya menjaga kepercayaan publik dan memperbaiki kualitas layanan. Mereka juga mengingatkan seluruh calon penumpang untuk mematuhi ketentuan perjalanan, termasuk aturan soal kewajiban tiket bagi anak-anak, sebagai bagian dari upaya kolektif untuk menciptakan lingkungan perjalanan yang aman dan tertib.

Memahami Aturan Tiket untuk Balita di Kereta Api: Antara Regulasi dan Realitas

Insiden ini secara fundamental mengangkat pertanyaan penting tentang aturan tiket untuk balita dalam perjalanan kereta api. Sebagian besar orang mungkin berasumsi bahwa anak-anak di bawah usia tertentu tidak memerlukan tiket, atau setidaknya, ada kelonggaran khusus. Namun, dalam banyak kasus, termasuk PT KAI, anak-anak, termasuk balita, pada dasarnya tetap wajib memiliki tiket.

Ketentuan ini bukan tanpa alasan. Kewajiban tiket bagi setiap penumpang, termasuk anak-anak, didasarkan pada beberapa pertimbangan utama:

  • Kapasitas Angkut: Setiap gerbong kereta api memiliki batas kapasitas angkut yang telah ditetapkan demi keselamatan dan kenyamanan penumpang. Setiap individu yang menempati ruang, baik duduk maupun berdiri (jika diizinkan), secara teknis menggunakan kapasitas tersebut.
  • Keselamatan dan Evakuasi: Dalam situasi darurat, jumlah penumpang yang tercatat sangat krusial untuk proses evakuasi dan identifikasi. Setiap individu yang berada di dalam kereta api harus terdaftar untuk mempermudah manajemen krisis.
  • Ketertiban dan Pengelolaan Penumpang: Pencatatan setiap penumpang membantu dalam pengelolaan arus orang, mencegah penumpukan, dan memastikan ketertiban di dalam gerbong serta stasiun.
  • Asuransi: Tiket seringkali juga mencakup perlindungan asuransi bagi penumpang selama perjalanan. Tanpa tiket, seorang penumpang mungkin tidak tercover dalam skema asuransi jika terjadi insiden.

Kasus Sri Ushwa Ningrum menyoroti celah dalam pemahaman dan penerapan aturan ini. Keterkejutannya bahwa balitanya yang sebelumnya bisa naik kereta tanpa tiket kini dilarang, mengindikasikan adanya inkonsistensi dalam sosialisasi atau penerapan di lapangan. Mungkin ada perbedaan interpretasi antarstasiun, atau kurangnya informasi yang jelas dan seragam kepada calon penumpang.

Penting bagi PT KAI dan BPKASS untuk memastikan bahwa aturan mengenai tiket anak-anak tersosialisasi secara masif, jelas, dan konsisten di seluruh titik layanan. Penumpang juga memiliki tanggung jawab untuk mencari tahu dan memahami peraturan perjalanan sebelum berangkat. Transparansi dan kemudahan akses informasi adalah kunci untuk menghindari kesalahpahaman dan insiden serupa di masa depan.

Dilema Empati vs. Prosedur: Sebuah Refleksi Pelayanan Publik

Pernyataan “simpan saja ini anak di sini” menjadi inti dari kemarahan publik. Terlepas dari keabsahan aturan yang mengharuskan balita memiliki tiket, cara penyampaian petugas tersebut dianggap sangat tidak etis dan tidak manusiawi. Ini memunculkan dilema klasik dalam pelayanan publik: bagaimana menyeimbangkan kepatuhan terhadap prosedur dengan kebutuhan akan empati dan solusi yang manusiawi, terutama dalam situasi yang melibatkan individu rentan seperti anak-anak.

Dalam industri jasa, pelayanan prima dan hospitality adalah nilai fundamental. Pelayanan prima bukan hanya tentang menjalankan prosedur dengan benar, tetapi juga tentang bagaimana prosedur itu disampaikan dan diterapkan. Ini mencakup:

  • Komunikasi yang Efektif dan Empatis: Petugas harus mampu menyampaikan informasi dan aturan dengan jelas, sopan, dan memahami situasi emosional pelanggan. Menawarkan solusi alternatif atau menjelaskan alasan di balik aturan dengan cara yang menenangkan akan jauh lebih baik daripada pernyataan yang memicu kemarahan.
  • Fleksibilitas dalam Batasan: Meskipun aturan harus ditegakkan, ada kalanya situasi memerlukan sedikit fleksibilitas atau setidaknya upaya untuk mencari solusi yang paling tidak merugikan pelanggan, jika memungkinkan dan tidak melanggar prinsip keselamatan. Dalam kasus ini, jika tiket memang habis, petugas bisa menjelaskan dengan lebih baik atau membantu mencari solusi transportasi lain, bukan menyarankan “meninggalkan” anak.
  • Pelatihan Etika dan Sikap: Insiden ini menunjukkan pentingnya pelatihan yang tidak hanya fokus pada teknis operasional, tetapi juga pada etika, manajemen emosi, dan kemampuan berinteraksi dengan berbagai tipe pelanggan. Ini sangat krusial, terutama bagi personel yang berinteraksi langsung dengan publik, baik itu karyawan langsung KAI maupun vendor pihak ketiga seperti APS.

Perilaku satu petugas, meskipun ia adalah karyawan vendor, dapat mencoreng citra keseluruhan penyedia layanan. Insiden ini berfungsi sebagai pengingat tajam bahwa setiap titik kontak dengan pelanggan adalah kesempatan untuk membangun atau merusak kepercayaan. Masyarakat mengharapkan tidak hanya efisiensi dan keamanan, tetapi juga sentuhan kemanusiaan dalam setiap layanan yang mereka gunakan.

Pembelajaran dan Harapan ke Depan bagi Layanan Kereta Api

Insiden viral video petugas KA minta balita tak punya tiket ditinggal di stasiun, ini respons KAI ini, meskipun disayangkan, membawa sejumlah pembelajaran berharga bagi PT KAI, BPKASS, dan seluruh ekosistem pelayanan publik di Indonesia:

  1. Konsistensi Penerapan Aturan: Penting untuk memastikan bahwa semua petugas, di semua stasiun, menerapkan aturan yang sama secara konsisten. Inkonsistensi seperti yang dialami Sri dapat menciptakan kebingungan dan rasa tidak adil di kalangan penumpang.
  2. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia: Pelatihan refreshment yang diwajibkan oleh BPKASS adalah langkah tepat. Fokus pada soft skills seperti komunikasi, empati, dan hospitality sama pentingnya dengan pengetahuan teknis operasional. Ini berlaku tidak hanya untuk karyawan langsung KAI tetapi juga mitra outsourcing.
  3. Mekanisme Pengaduan dan Respons yang Efektif: Ketersediaan saluran pengaduan yang mudah diakses dan respons yang cepat serta konstruktif sangat penting dalam mengelola krisis dan membangun kembali kepercayaan publik.
  4. Transparansi Informasi: Informasi mengenai aturan perjalanan, terutama yang krusial seperti kewajiban tiket untuk anak-anak, harus disosialisasikan secara proaktif melalui berbagai media (website, media sosial, pengumuman di stasiun).
  5. Peran Pengawasan Terhadap Pihak Ketiga: Mengingat petugas yang terlibat adalah karyawan vendor, KAI dan BPKASS perlu memperketat pengawasan dan standar kinerja bagi semua pihak ketiga yang berinteraksi langsung dengan pelanggan.

Kejadian ini adalah pengingat bahwa di era digital, setiap interaksi pelayanan dapat dengan cepat menjadi viral dan memengaruhi reputasi. Masyarakat semakin menuntut layanan yang tidak hanya efisien tetapi juga humanis. Harapannya, insiden ini menjadi momentum bagi PT KAI dan BPKASS untuk terus berbenah, menghadirkan layanan transportasi publik yang tidak hanya memenuhi standar keselamatan dan ketertiban, tetapi juga memancarkan empati dan kepedulian terhadap setiap penumpangnya. Kritik dan masukan dari masyarakat, sebagaimana yang terjadi dalam kasus ini, adalah bagian penting dari proses perbaikan berkelanjutan menuju layanan yang lebih baik.

Kesimpulan

Insiden viral mengenai petugas KA yang meminta balita tak punya tiket ditinggal di stasiun telah menjadi pelajaran berharga bagi banyak pihak, terutama PT KAI dan Balai Pengelola Kereta Api Sulawesi Selatan. Dari kronologi yang memilukan hingga respons cepat yang diambil, kita melihat kompleksitas antara penegakan aturan dan tuntutan akan empati dalam pelayanan publik.

Kasus ini menegaskan bahwa meskipun regulasi dan prosedur adalah fondasi operasional yang tak terhindarkan, cara penerapannya—terutama dalam interaksi langsung dengan pelanggan—memiliki dampak emosional dan reputasional yang sangat besar. Pernyataan yang tidak sensitif dapat memicu kemarahan, bahkan jika secara prosedural ada dasar aturan yang melatarinya.

Respons proaktif BPKASS dengan permintaan maaf, investigasi, sanksi, dan pelatihan ulang adalah langkah yang tepat menuju perbaikan. Namun, tantangan sesungguhnya terletak pada implementasi konsisten nilai-nilai pelayanan prima, keramahan, dan hospitality di setiap lini, termasuk bagi personel dari pihak ketiga.

Pada akhirnya, kejadian ini adalah cerminan bahwa layanan transportasi publik bukan hanya tentang mengangkut penumpang dari satu titik ke titik lain, tetapi juga tentang menciptakan pengalaman perjalanan yang aman, nyaman, dan manusiawi. Mari kita bersama-sama mendukung upaya perbaikan ini, karena kualitas layanan transportasi publik adalah cerminan dari kemajuan dan kepedulian sebuah bangsa.