DPR Minta Tolak Gugatan Uji Formil UU TNI: Menelusuri Babak Baru Pergulatan Hukum dan Demokrasi di Mahkamah Konstitusi

Dipublikasikan 24 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Gelombang gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) terus bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK), memicu perdebatan sengit antara aspirasi publik dan klaim legitimasi pembentuk undang-undang. Dalam sidang-sidang lanjutan yang penuh dinamika, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah secara kompak meminta MK untuk menolak gugatan uji formil UU TNI yang diajukan oleh berbagai elemen masyarakat sipil dan mahasiswa. Peristiwa ini bukan sekadar polemik hukum biasa, melainkan cerminan penting dari tensi antara proses legislasi dan tuntutan partisipasi bermakna dalam negara demokrasi.

DPR Minta Tolak Gugatan Uji Formil UU TNI: Menelusuri Babak Baru Pergulatan Hukum dan Demokrasi di Mahkamah Konstitusi

Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa UU TNI digugat, alasan kuat di balik permintaan penolakan dari pihak DPR dan Pemerintah, serta bagaimana Mahkamah Konstitusi menyikapi kompleksitas perkara ini. Mari kita selami lebih dalam narasi di balik isu krusial ini yang membentuk lanskap hukum dan politik Indonesia.

Latar Belakang Gugatan Uji Formil UU TNI: Suara Masyarakat Sipil dan Akademisi

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI, yang disahkan pada 21 Maret 2025, menjadi sorotan tajam dan memicu gelombang penolakan dari berbagai pihak. Tak lama setelah disahkan, UU ini langsung dibanjiri gugatan ke Mahkamah Konstitusi, menjadikannya salah satu produk hukum yang paling banyak diuji di MK dalam sejarah. Tercatat, sebanyak 11 gugatan dilayangkan, meskipun tidak semua berlanjut ke tahap persidangan lanjutan. Lima gugatan berlanjut, lima ditolak, dan satu gugatan dicabut oleh pemohon.

Gugatan-gugatan ini, yang sebagian besar berjenis uji formil, diajukan oleh mahasiswa dari berbagai kampus terkemuka seperti Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, hingga Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, serta koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan, termasuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, dan KontraS.

Apa itu Uji Formil?
Uji formil adalah pengujian terhadap prosedur atau tata cara pembentukan suatu undang-undang, apakah telah sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berbeda dengan uji materiil yang menguji substansi norma dalam undang-undang, uji formil fokus pada bagaimana undang-undang itu dibuat.

Para pemohon uji formil UU TNI pada umumnya menyuarakan kekhawatiran mendalam terkait beberapa aspek dalam proses pembentukannya:

  • Ketiadaan Partisipasi Publik yang Bermakna: Pemohon menuding proses pembentukan UU TNI dilakukan secara tertutup, tidak transparan, dan tidak akuntabel. Rapat-rapat pembahasan di DPR dan pemerintah disebut digelar secara sembunyi-sembunyi di ruang tertutup, sehingga menghambat akses publik terhadap informasi.
  • Akses Dokumen Terbatas: Dokumen-dokumen krusial seperti naskah akademik, daftar inventarisasi masalah (DIM), hingga draf undang-undang diklaim tidak dapat diakses secara luas oleh publik.
  • Tidak Terdaftar dalam Prolegnas Prioritas: Revisi UU TNI disebut tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR RI Tahun 2025, bahkan hingga 2029, dan bukan merupakan carry over dari Prolegnas sebelumnya yang memenuhi syarat.
  • Proses yang Tergesa-gesa dan Tidak Sesuai Prosedur: Beberapa pemohon menilai pengesahan RUU TNI dalam Rapat Paripurna DPR pada 20 Maret 2025 melanggar ketentuan UUD 1945 dan Tata Tertib DPR. Mereka juga berargumen tidak ada kondisi darurat yang membenarkan percepatan pembahasan.

Gugatan-gugatan ini mencerminkan keresahan bahwa proses legislasi, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, tidak berjalan sesuai prinsip keterbukaan dan pelibatan masyarakat yang esensial.

Mengapa Pemerintah dan DPR Meminta MK Menolak Gugatan? Argumen Kunci

Menanggapi rentetan gugatan tersebut, Pemerintah dan DPR RI bersatu suara dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, meminta majelis hakim untuk menolak seluruh permohonan uji formil UU TNI. Kedua lembaga negara ini hadir dengan “kekuatan penuh”, diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas dan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsooeddin dari pihak Presiden, serta Ketua Komisi I DPR Utut Adianto dan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Bob Hasan. Mereka menyodorkan sejumlah argumen fundamental untuk mendukung penolakan gugatan.

Isu Krusial: Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

Pemerintah dan DPR secara konsisten menekankan bahwa para pemohon gugatan tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing yang sah untuk mengajukan uji formil UU TNI. Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, menegaskan bahwa para pemohon tidak memiliki pertautan langsung yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang tersebut.

“Karena tidak berkapasitas sebagai TNI aktif, calon prajurit, atau pegawai di instansi yang berpotensi dirugikan dengan masa jabatan yang memungkinkan dijabat oleh TNI,” kata Utut dalam persidangan.

Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. Ia menyoroti bahwa pemohon, seperti organisasi masyarakat sipil atau mahasiswa, aktivis, bahkan ibu rumah tangga, tidak memiliki hubungan langsung dengan substansi UU TNI yang digugat. Menurut Supratman, parameter legal standing dalam uji formil, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 91/PUU/XVIII/2020, hanya mencakup adanya kaitan langsung antara pemohon dan undang-undang yang diuji. Dengan demikian, karena para pemohon dinilai tidak mengalami kerugian konstitusional secara spesifik dan langsung akibat berlakunya UU tersebut, permohonan mereka seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima.

Klaim Partisipasi Bermakna dan Proses Pembentukan yang Sah

Selain isu legal standing, DPR dan Pemerintah juga membantah dalil para pemohon mengenai ketiadaan partisipasi bermakna dan proses pembentukan undang-undang yang tidak transparan. Mereka mengklaim bahwa seluruh unsur dan mekanisme yang diperlukan dalam pembentukan UU TNI telah terpenuhi, sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan putusan MK terkait partisipasi publik.

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menjelaskan bahwa Pemerintah telah menyelenggarakan penyerapan aspirasi dengan masyarakat secara luas. Proses ini, katanya, dilakukan melalui berbagai rapat dan focus group discussion (FGD) dalam rangka pembentukan daftar inventarisasi masalah (DIM) UU TNI. Supratman juga menegaskan bahwa penyerapan aspirasi telah diatur dalam keterangan Presiden Nomor 1 huruf c angka 3 tentang tahap penyusunan UU TNI, yang menunjukkan ruang partisipasi publik dibuka seluas-luasnya.

“Pemerintah telah menyelenggarakan penyerapan aspirasi dengan masyarakat, baik melalui rapat atau focus group discussion dalam rangka pembentukan daftar inventaris masalah UU TNI,” kata Supratman.

Lebih lanjut, Supratman mengklaim bahwa proses ini telah dilakukan sejak tahun 2023, dua tahun sebelum UU TNI disahkan pada 21 Maret 2025, membantah tudingan proses yang tergesa-gesa. Ini menunjukkan bahwa pembentukan UU telah memenuhi asas dan prinsip yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), khususnya UU Nomor 13 Tahun 2022.

Dari pihak DPR, Utut Adianto juga menyatakan bahwa Komisi I DPR sebagai komisi bidang pertahanan telah memenuhi asas kedayagunaan dan hasil kegunaan sebagaimana putusan MK. Ia mengklaim DPR telah menyelenggarakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan para ahli dan masyarakat, serta melakukan kunjungan kerja ke berbagai provinsi seperti Jawa Timur, Kalimantan Utara, Sumatera Utara, Lampung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tenggara pada periode Oktober hingga November 2024. Ini, menurutnya, merupakan bukti pemenuhan kewajiban menyelenggarakan partisipasi bermakna.

Urgensi Nasional dan Batasan Uji Formil

Pemerintah juga memaparkan bahwa perubahan UU TNI diajukan berdasarkan urgensi nasional yang mendesak. Urgensi ini terkait dengan upaya melindungi dan menyelamatkan Warga Negara Indonesia (WNI) di tengah meningkatnya dinamika keamanan regional, penguatan stabilitas pertahanan nasional dan internasional, serta ancaman militer, non-militer, dan hibrida, termasuk terorisme dan perang siber. Argumentasi ini menyoroti bahwa UU TNI merupakan respons strategis terhadap tantangan keamanan kontemporer.

Selain itu, DPR dan Pemerintah menegaskan adanya error in objecto atau kekeliruan pada objek yang disengketakan oleh para pemohon. Utut Adianto menjelaskan bahwa beberapa dalil pemohon menyoroti substansi norma dalam UU TNI, khususnya terkait isu dwifungsi yang merupakan ranah pengujian materiil, bukan formil.

“Terdapat dalil para pemohon yang menyoroti substansi norma dalam Undang-Undang, khususnya terkait isu dwifungsi yang merupakan ranah pengujian materil, sehingga merupakan bentuk error in objecto,” jelas Utut.

DPR juga membela penggunaan naskah akademik (NA) lama dalam proses pembahasan RUU, menyatakan bahwa tidak ada aturan yang melarangnya sesuai UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Perbedaan muatan materi pengaturan dalam naskah akademik dengan undang-undang yang dihasilkan tidak serta-merta menyebabkan proses pembentukan undang-undang tersebut inkonstitusional, sebagaimana putusan MK sebelumnya.

Dinamika Persidangan di Mahkamah Konstitusi: Peran Hakim dan Tantangan Pemohon

Mahkamah Konstitusi menjadi arena utama pergulatan hukum ini, dengan para hakim konstitusi yang memimpin jalannya persidangan. Ketua MK Suhartoyo menyebutkan bahwa setidaknya 14 gugatan terkait UU TNI masuk ke MK, menunjukkan antusiasme tinggi dari masyarakat untuk mengajukan permohonan pengujian. Ini merupakan kali pertama dalam sejarah MK, isu yang sama disidangkan serentak dalam tiga panel yang berbeda.

Dalam beberapa sidang pendahuluan, hakim konstitusi memberikan masukan dan nasihat kepada para pemohon. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, misalnya, meminta para pemohon untuk lebih memahami format pengujian undang-undang berdasarkan Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

Salah satu poin menarik yang disoroti MK adalah permintaan ganti rugi puluhan miliar rupiah kepada Presiden, DPR, dan Baleg DPR yang diajukan oleh salah satu pemohon dari mahasiswa Universitas Internasional Batam. Hakim Enny Nurbaningsih menilai permintaan tersebut tidak lazim dan tidak sesuai hukum acara di MK, karena bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menghukum pihak-pihak tersebut dengan ganti rugi finansial.

“Ini yang ada ke mana-mana, yang tidak kewenangan Mahkamah, yang tidak mungkin kemudian memaksa Presiden untuk meminta seperti yang saudara minta. Apalagi, sedemikian detailnya saudara sampaikan, ini merupakan sesuatu yang tidak lazim dilakukan Mahkamah,” kata Enny.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat juga mengingatkan para pemohon untuk mengikuti petunjuk dalam peraturan MK. Jika permohonan tidak mengikuti aturan yang ada, permohonan itu bisa tidak diterima atau tidak dilanjutkan pada sidang agenda pembuktian. Selain itu, Arief menekankan pentingnya keterangan mengenai batas waktu pengajuan permohonan uji formil, yaitu 45 hari sejak regulasi tersebut disahkan, berbeda dengan uji materiil yang tidak memiliki batasan waktu.

Spektrum Pandangan: Dari DPR hingga Akademisi Kritis

Permintaan DPR yang tegas agar MK menolak gugatan uji formil UU TNI juga tidak luput dari perhatian dan kritik. Akademisi Ardianto Satriawan, yang dikenal kritis, ikut angkat suara mempertanyakan wewenang DPR untuk “menyuruh” MK menolak gugatan.

“Apa wewenang DPR nyuruh MK nolak?” kata Ardianto melalui akun media sosialnya.

Komentar ini menyoroti persepsi publik tentang independensi lembaga peradilan dan peran DPR sebagai wakil rakyat yang seharusnya menghormati proses hukum. Di satu sisi, DPR dan Pemerintah berdalih bahwa permintaan penolakan adalah bagian dari pembelaan hukum mereka yang sah di hadapan pengadilan. Di sisi lain, kritikus melihatnya sebagai upaya untuk menekan atau memengaruhi putusan MK, padahal MK adalah lembaga independen yang bertugas mengawal konstitusi.

Perspektif koalisi masyarakat sipil juga memperkuat argumentasi bahwa DPR dan Pemerintah keliru dalam menilai legal standing pemohon. Mereka berpendapat bahwa meskipun objek pengaturan dalam UU TNI adalah tentara secara kelembagaan, setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang, karena setiap undang-undang dipandang memiliki pertautan langsung dengan hajat hidup masyarakat luas. Koalisi bahkan menyoroti peran mereka dalam mengawal perumusan dan pembahasan UU TNI sejak sebelum tahun 2004, menegaskan rekam jejak perhatian mereka terhadap reformasi sektor keamanan dan demokrasi di Indonesia.

Kesimpulan: Menanti Putusan MK dan Masa Depan UU TNI

Pergulatan hukum terkait uji formil UU TNI di Mahkamah Konstitusi adalah cerminan kompleksitas dalam membangun regulasi di negara demokrasi. Di satu sisi, DPR dan Pemerintah berupaya mempertahankan legitimasi proses legislasi yang mereka klaim telah memenuhi prinsip partisipasi bermakna dan urgensi nasional. Mereka berargumen bahwa para pemohon tidak memiliki legal standing dan bahwa gugatan mereka salah sasaran (error in objecto).

Di sisi lain, koalisi masyarakat sipil dan mahasiswa berjuang untuk menegakkan prinsip keterbukaan, transparansi, dan hak partisipasi publik yang substansial dalam setiap pembentukan undang-undang. Mereka menyoroti dugaan ketertutupan proses dan ketiadaan akses informasi yang memadai.

Mahkamah Konstitusi kini berada di persimpangan jalan, memegang kunci atas masa depan UU TNI. Putusan MK nanti tidak hanya akan menentukan nasib undang-undang ini, tetapi juga akan memberikan penegasan penting mengenai interpretasi prinsip legal standing, standar partisipasi bermakna dalam proses legislasi, dan batasan kewenangan lembaga negara di hadapan konstitusi.

Apapun putusan yang akan dikeluarkan, kasus DPR minta tolak gugatan uji formil TNI ini telah membuka ruang diskusi publik yang krusial tentang bagaimana undang-undang seharusnya dibentuk di Indonesia, memastikan bahwa setiap regulasi tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga diterima dan dirasakan keadilannya oleh seluruh elemen masyarakat. Masyarakat, termasuk kita semua, memiliki peran untuk terus memantau dan mengawal setiap tahapan proses hukum demi tegaknya supremasi hukum dan demokrasi yang sehat di Indonesia.