Digitalisasi Pendidikan dan Ketergantungan Chromebook: Antara Harapan, Polemik, dan Solusi Nyata

Dipublikasikan 6 September 2025 oleh admin
Pendidikan Dan Pengetahuan Umum

Yogyakarta, zekriansyah.com – Di era serbadigital ini, pendidikan tak luput dari sentuhan teknologi. Program digitalisasi pendidikan menjadi angin segar yang menjanjikan akses belajar lebih luas dan merata bagi anak-anak Indonesia. Salah satu perangkat yang digadang-gadang menjadi tulang punggung program ini adalah Chromebook. Laptop ringan besutan Google ini didistribusikan ke ribuan sekolah dengan harapan merevolusi cara belajar mengajar.

Digitalisasi Pendidikan dan Ketergantungan Chromebook: Antara Harapan, Polemik, dan Solusi Nyata

Ilustrasi menunjukkan penggunaan Chromebook dalam program digitalisasi pendidikan di Indonesia, menyoroti harapan, polemik, dan solusi nyata yang perlu dipertimbangkan demi pemerataan akses dan kemandirian teknologi pendidikan.

Namun, di balik optimisme tersebut, muncul berbagai polemik. Mulai dari dugaan korupsi dalam pengadaan, hingga masalah krusial terkait ketergantungan Chromebook pada infrastruktur dan ekosistem tertentu. Artikel ini akan mengajak Anda menyelami lebih dalam tentang Chromebook, berbagai tantangan yang muncul, hingga potensi solusi nyata untuk memastikan pendidikan digital di Indonesia benar-benar berdaulat dan bermanfaat bagi semua. Mari kita bedah bersama!

Mengenal Lebih Dekat Chromebook: Si Praktis yang Penuh Tantangan

Mungkin banyak dari kita yang bertanya-tanya, sebenarnya apa sih Chromebook itu dan mengapa ia dipilih untuk program sepenting ini?

Apa Itu Chromebook?

Secara sederhana, Chromebook adalah jenis laptop yang menggunakan sistem operasi ChromeOS, buatan Google. Berbeda dengan laptop konvensional yang memakai Windows atau macOS, Chromebook dirancang agar ringan, cepat menyala, dan sebagian besar fungsinya mengandalkan akses ke internet atau komputasi awan (cloud).

Beberapa keunggulan utama Chromebook meliputi:

  • Harga terjangkau: Sistem operasi ChromeOS yang gratis membuat harga perangkat ini lebih murah dibandingkan laptop dengan OS berbayar.
  • Ringan dan cepat: Karena OS-nya yang minimalis, Chromebook bisa booting dalam hitungan detik.
  • Daya tahan baterai panjang: Ideal untuk penggunaan di sekolah.
  • Keamanan: Dilengkapi fitur bawaan seperti sandbox untuk mengisolasi program berbahaya dan pembaruan keamanan otomatis.
  • Integrasi Google: Terhubung erat dengan ekosistem Google seperti Google Drive, Docs, dan Meet.

Meski begitu, Chromebook juga memiliki kelemahan yang tak bisa diabaikan, terutama ketergantungan pada koneksi internet yang stabil. Sebagian besar data dan aplikasi disimpan di cloud, sehingga fungsinya bisa sangat terbatas jika tidak ada internet.

Ambisi Digitalisasi Pendidikan dengan Chromebook

Pada rentang tahun 2019 hingga 2022, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan program digitalisasi pendidikan besar-besaran. Inisiatif ini bertujuan menyediakan bantuan peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Total anggaran yang dialokasikan mencapai sekitar Rp9,98 triliun, dengan target distribusi lebih dari 1,2 juta unit Chromebook ke sekitar 80.000 sekolah di seluruh Indonesia. Tujuannya jelas: mendukung pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan pelaksanaan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK).

Jeratan Ketergantungan: Internet, Data, dan Sistem Tertutup

Harapan akan kemajuan pendidikan digital melalui Chromebook ternyata dihadapkan pada realitas lapangan yang kompleks, terutama terkait masalah ketergantungan.

Ketika Internet Jadi Penghalang Utama

Salah satu masalah terbesar yang muncul adalah ketergantungan laptop Chromebook pada koneksi internet. Dalam uji coba awal yang dilakukan Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekkom) pada 2018–2019, ditemukan bahwa perangkat ini tidak optimal digunakan di banyak wilayah di Indonesia, khususnya daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), karena keterbatasan jaringan internet.

Ibarat mobil mewah yang tidak bisa berjalan tanpa bensin, Chromebook tanpa internet stabil menjadi perangkat yang kurang efektif. Padahal, kondisi infrastruktur internet di banyak daerah, terutama pelosok Indonesia, masih jauh dari memadai. Akibatnya, efektivitas penggunaan Chromebook untuk mendukung pembelajaran digital di banyak sekolah pun dipertanyakan.

Kedaulatan Data dan Ancaman “Vendor Lock-in” Google

Selain masalah internet, muncul pula kekhawatiran serius terkait kedaulatan data pendidikan nasional dan potensi ketergantungan terhadap entitas asing seperti Google. Komisi I DPR RI bahkan mengingatkan pemerintah untuk memprioritaskan penggunaan server mandiri guna mencegah intervensi pihak luar dan penyalahgunaan data pelajar.

Salah satu isu krusial yang mengemuka adalah skema Chrome Device Management (CDM). Ini adalah platform milik Google yang memungkinkan aktivasi dan pengelolaan ribuan perangkat Chromebook. Tanpa aktivasi melalui CDM, perangkat Chromebook yang sudah dibeli negara tidak dapat digunakan. Ironisnya, aktivasi ini hanya bisa dilakukan melalui satu mitra eksklusif.

Indonesian Audit Watch (IAW) menilai bahwa skema ini menciptakan kondisi “vendor lock-in” yang sempurna. Negara menjadi sangat bergantung pada entitas privat untuk membuka akses atas alat yang sudah dibeli. Biaya aktivasi CDM, yang disebut-sebut berkisar Rp500.000 hingga Rp600.000 per unit, disisipkan dalam harga pengadaan dan diperkirakan mencapai lebih dari Rp1 triliun secara tersembunyi. Ini bukan hanya soal perangkat keras, tapi juga sistem, lisensi (seperti Chrome Education Upgrade), dan bahkan distribusi yang terkunci pada satu pihak.

Polemik Pengadaan Chromebook: Dugaan Korupsi dan Pergantian Kebijakan

Program digitalisasi pendidikan dengan Chromebook ini kini juga terseret dalam pusaran dugaan kasus korupsi, menambah kompleksitas masalah yang ada.

Kasus Korupsi yang Menyeret Nama Besar

Kejaksaan Agung (Kejagung) telah meningkatkan penanganan perkara dugaan korupsi dalam program pengadaan laptop Chromebook oleh Kemendikbudristek periode 2019–2022 ke tahap penyidikan. Kasus ini telah menyeret beberapa nama, termasuk mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, yang resmi ditetapkan sebagai tersangka pada September 2025 bersama beberapa pejabat lainnya.

Baca juga: Kejagung Geledah Kantor GoTo Terkait Dugaan Korupsi Laptop Chromebook: Apa yang Terjadi?

Dugaan korupsi ini mencakup:

  • Mark up harga laptop sebesar Rp1,5 triliun.
  • Biaya tersembunyi untuk perangkat lunak Chrome Device Management (CDM) senilai Rp480 miliar.
  • Total kerugian negara diperkirakan mencapai Rp1,98 triliun.

Penyidik menduga adanya permufakatan jahat dan rekayasa dalam proses pengadaan, termasuk perubahan kajian teknis yang mengunggulkan Chromebook.

Kontroversi di Balik Rekomendasi Teknis

Sebelumnya, tim teknis perencanaan pengadaan TIK sebenarnya merekomendasikan sistem operasi Windows yang dinilai lebih fleksibel untuk penggunaan daring maupun luring. Rekomendasi ini tertuang dalam kajian awal atau white paper. Namun, kajian tersebut kemudian diganti dengan dokumen baru yang tetap mempertahankan spesifikasi Chromebook.

Mantan Mendikbudristek, Muhadjir Effendy, bahkan sempat menolak usulan Google untuk pengadaan Chromebook di daerah 3T karena uji coba menunjukkan perangkat tersebut tidak efektif. Namun, setelah kepemimpinan berganti, usulan ini justru diterima.

Nadiem Makarim sendiri membantah tuduhan mengarahkan kajian teknis. Ia menjelaskan bahwa pengadaan laptop Chromebook di masa jabatannya tidak ditargetkan untuk daerah 3T, melainkan untuk sekolah-sekolah yang sudah memiliki akses internet memadai. Nadiem juga menyebut alasan efisiensi biaya (Chromebook 10-30% lebih murah dan OS gratis) serta fitur kontrol aplikasi yang dapat melindungi siswa dari konten negatif. Namun, klarifikasi ini tetap menjadi bagian dari fokus penyelidikan yang sedang berlangsung.

Mencari Solusi Nyata: Memaksimalkan Aset Digital Tanpa Ketergantungan

Di tengah berbagai tantangan dan polemik, solusi nyata untuk memaksimalkan aset digitalisasi pendidikan yang sudah ada sangat dibutuhkan, sekaligus mengurangi potensi ketergantungan yang merugikan.

Salah satu inovasi yang patut disoroti adalah Kipin Classroom. Ini adalah server lokal hybrid yang dirancang khusus untuk kebutuhan pembelajaran di Indonesia. Kipin Classroom memungkinkan perangkat Chromebook yang sebelumnya terbatas penggunaannya karena internet, kini dapat dimanfaatkan secara aktif setiap hari dalam kegiatan belajar mengajar tanpa koneksi internet.

Manfaat dari integrasi Chromebook dengan Kipin Classroom ini sangat signifikan:

  • Optimalisasi perangkat: Chromebook dapat digunakan maksimal untuk membaca lebih dari 5.000 buku pelajaran, menonton 2.000 video edukatif, hingga mengerjakan 50.000 soal latihan secara digital, semuanya offline.
  • Efisiensi anggaran: Mengurangi kebutuhan buku cetak, kertas ujian, dan biaya kuota internet bulanan siswa.
  • Akses aman: Seluruh konten disediakan dalam jaringan lokal yang terkendali, bebas dari potensi paparan konten negatif.
  • Pemerataan digitalisasi: Sekolah di daerah tanpa internet pun tetap bisa menjalankan pembelajaran digital secara setara.

Beberapa sekolah di daerah 3T seperti SMPN 2 Serawai di Kalimantan Barat dan SD Naskat Namaar di Maluku Tenggara telah membuktikan efektivitas integrasi ini. Kipin mendorong pemerintah untuk mengevaluasi pemanfaatan Chromebook yang telah tersedia dan mempertimbangkan integrasi dengan solusi serupa, didukung pendanaan melalui BOS, APBD, atau APBN.

Selain itu, Indonesian Audit Watch (IAW) juga merekomendasikan langkah-langkah strategis untuk mengatasi akar masalah ketergantungan sistemik, seperti audit menyeluruh terhadap penggunaan CDM, penyelidikan oleh KPPU terkait spesifikasi tender, dan pengambilalihan kendali Google Admin Console oleh Kominfo dan BSSN demi kedaulatan data pendidikan nasional.

Kesimpulan

Program digitalisasi pendidikan di Indonesia adalah langkah maju yang esensial. Namun, kasus ketergantungan Chromebook pada internet dan ekosistem tertutup Google, ditambah dengan dugaan korupsi dalam pengadaannya, menjadi pengingat penting bahwa transisi teknologi harus dilakukan dengan perencanaan yang matang, transparan, dan mempertimbangkan konteks lokal.

Ketersediaan perangkat seperti Chromebook, yang sejatinya memiliki banyak keunggulan, tidak akan maksimal jika tidak disertai dengan infrastruktur digital yang merata dan solusi pendukung yang adaptif. Penting bagi kita untuk terus mendorong pemerintah agar tidak hanya berinvestasi pada perangkat keras, tetapi juga pada ekosistem pendidikan digital yang mandiri, akuntabel, dan benar-benar berpihak pada kebutuhan siswa serta guru di seluruh pelosok negeri. Mari bersama-sama memastikan bahwa masa depan pendidikan Indonesia adalah masa depan yang berdaulat secara digital.

FAQ

Tanya: Apa keunggulan utama Chromebook dibandingkan laptop konvensional?
Jawab: Chromebook unggul dalam kecepatan menyala, keringanan, dan integrasi dengan komputasi awan, menjadikannya praktis untuk tugas-tugas online.

Tanya: Apa yang dimaksud dengan “ketergantungan Chromebook pada infrastruktur dan ekosistem tertentu”?
Jawab: Ketergantungan ini merujuk pada kebutuhan Chromebook akan koneksi internet yang stabil dan ekosistem aplikasi Google untuk berfungsi optimal.

Tanya: Mengapa Chromebook dipilih sebagai tulang punggung program digitalisasi pendidikan di Indonesia?
Jawab: Chromebook dipilih karena potensinya untuk menyediakan akses belajar yang lebih luas dan merata dengan biaya yang relatif terjangkau.