Di Balik Euforia Pawai Kemenangan di Teheran: Memahami Dukungan Iran untuk Militernya dalam Konflik Melawan Israel

Dipublikasikan 25 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Di tengah gejolak geopolitik Timur Tengah yang tak kunjung mereda, sebuah peristiwa menarik perhatian dunia: pawai kemenangan di Teheran puji militer Iran dalam perang melawan Israel. Pada tanggal 24 Juni 2025, ribuan warga Iran membanjiri Lapangan Enghelab, jantung ibu kota Teheran, dalam sebuah demonstrasi dukungan masif bagi angkatan bersenjata mereka. Peristiwa ini bukan sekadar perayaan euforia sesaat, melainkan sebuah manifestasi kompleks dari narasi kemenangan yang kuat, pesan politik yang tegas, dan gambaran ketegangan abadi di kawasan. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa pawai ini begitu penting, apa yang ingin disampaikan oleh Iran, serta bagaimana peristiwa ini beresonansi di tengah klaim kemenangan yang saling bertolak belakang dari kedua belah pihak.

Di Balik Euforia Pawai Kemenangan di Teheran: Memahami Dukungan Iran untuk Militernya dalam Konflik Melawan Israel

Simbolisme dan Gaung di Lapangan Enghelab: Mengapa Teheran Berpesta?

Lapangan Enghelab di Teheran menjadi saksi bisu dari luapan emosi dan dukungan yang tak terhingga. Ribuan warga, dari berbagai lapisan masyarakat—pria, wanita, dan anak-anak—tumpah ruah memenuhi area tersebut. Pawai ini digelar hanya beberapa jam setelah gencatan senjata diberlakukan menyusul gelombang serangan udara Israel yang mematikan. Namun, alih-alih merayakan perdamaian, massa justru memuji militer Iran dan menyuarakan dukungan penuh mereka dalam menghadapi agresi rezim Zionis.

Suasana pawai dipenuhi dengan slogan-slogan yang membakar semangat dan sarat makna politis. Teriakan seperti “Matilah Amerika,” “Matilah Israel pembunuh anak-anak,” dan “Tidak ada kompromi, tidak ada penyerahan diri — lawan Amerika” menggema di antara kerumunan. Slogan-slogan ini tidak hanya mencerminkan sentimen anti-Israel dan anti-Amerika yang mendalam di kalangan rakyat Iran, tetapi juga menegaskan posisi garis keras pemerintah dalam menolak segala bentuk kompromi yang dipaksakan.

Di tangan para peserta pawai, terlihat jelas simbol-simbol kebanggaan nasional dan ideologi revolusioner. Mereka mengibarkan bendera Iran, mengangkat potret Pemimpin Revolusi Islam Ayatollah Sayyid Ali Khamenei, dan membawa gambar-gambar para martir yang gugur baru-baru ini. Plakat-plakat bertuliskan pesan-pesan kuat seperti “Kami berdiri sampai akhir,” “Amerika adalah mitra dalam semua kejahatan Israel,” “Tidak untuk perdamaian yang dipaksakan, ya untuk perdamaian abadi,” dan “Labbaik Ya Khamenei” semakin mempertegas tekad dan kesetiaan mereka.

Pawai ini juga menjadi ajang bagi warga untuk menyampaikan rasa terima kasih mereka kepada Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), Angkatan Darat, pasukan Basij, dan kepolisian atas keteguhan serta pengorbanan mereka di garis depan. Media pemerintah menggambarkan demonstrasi ini sebagai bukti nyata solidaritas rakyat Iran terhadap tentara mereka, sekaligus sinyal bahwa publik Iran menilai konflik militer Iran-Israel masih sah dan perlu diteruskan. Fenomena ini meluas tidak hanya di Teheran, tetapi juga di kota-kota besar lainnya seperti Mashhad, Isfahan, dan Shiraz, bahkan memicu gelombang solidaritas regional di Lebanon, Suriah, dan Irak. Menurut analis politik Iran, Mehdi Motaharnia, unjuk rasa ini adalah “deklarasi jalanan bahwa konflik belum usai,” sebuah pesan politik yang jelas di tengah tekanan internasional untuk menghentikan konflik.

Salah satu momen paling menonjol dalam pawai ini adalah kemunculan Brigadir Jenderal Esmail Qaani, Komandan Pasukan Quds dari IRGC. Qaani, yang sebelumnya dilaporkan tewas dalam serangan udara Israel sejak 13 Juni 2025, hadir dalam kondisi hidup dan sehat, disambut meriah oleh kerumunan yang bergembira. Kehadirannya menjadi simbol ketahanan dan keberhasilan Iran dalam menghadapi klaim Israel, sekaligus menepis narasi musuh tentang kerugian besar di pihak militer Iran.

Di Balik Gencatan Senjata: Klaim Kemenangan dari Dua Kutub yang Berlawanan

Pawai kemenangan Iran ini terjadi beberapa jam setelah gencatan senjata antara Israel dan Iran mulai berlaku pada Selasa, 24 Juni 2025, pukul 11.00 WIB. Namun, gencatan senjata ini tidak menghentikan perang narasi yang sengit, di mana kedua belah pihak saling mengklaim kemenangan.

Dari sisi Israel, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dengan tegas menyatakan bahwa Israel meraih “kemenangan bersejarah.” Ia mengklaim bahwa serangan Israel berhasil melenyapkan “ancaman eksistensial ganda” dari Iran, baik dari sisi program nuklir maupun proyek 20.000 rudal balistik. Israel bahkan mengklaim telah mencapai kendali penuh atas wilayah udara di Teheran, menewaskan para pemimpin militer Iran, dan menghancurkan puluhan target pemerintah pusat. Kepala Staf Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Zamir, menegaskan bahwa kampanye melawan Iran belum berakhir, meskipun fokus sementara dialihkan ke Jalur Gaza. Ini menunjukkan bahwa Israel melihat gencatan senjata sebagai jeda taktis, bukan akhir dari konflik.

Di lain pihak, Iran juga mengklaim kemenangan dengan narasi yang sepenuhnya berbeda. Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, menyebut konflik tersebut sebagai “perang yang dipaksakan oleh kecerobohan rezim Zionis.” Ia menegaskan bahwa gencatan senjata terjadi atas keputusan Iran sendiri setelah musuh mengalami “kerugian yang tak terbayangkan.” Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, dalam pernyataan resminya, bahkan menyebut hasil perang ini sebagai “kemenangan politik dan militer yang tegas.” Mereka menyoroti keberhasilan meruntuhkan “mitos ketangguhan Iron Dome” Israel melalui hujan rudal ke wilayah Israel, menunjukkan bahwa sistem pertahanan canggih Israel tidak sepenuhnya kebal.

Gencatan senjata ini sendiri dicapai setelah diinisiasi oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, setelah AS membombardir tiga fasilitas nuklir Iran yang dibalas Iran dengan menyerang pangkalan udara AS di Qatar. Negosiasi yang difasilitasi oleh Qatar akhirnya membuahkan hasil, meskipun aksi saling serang sempat berlanjut sebelum Trump turun tangan dan bahkan menegur Netanyahu.

Perang Narasi: Propaganda sebagai Senjata Utama

Klaim kemenangan yang saling bertolak belakang ini bukan hanya sekadar retorika, melainkan bagian dari perang narasi yang fundamental dalam konflik modern. Analis Timur Tengah dari Universitas George Washington, Sina Azodi, menilai bahwa narasi kemenangan kedua negara lebih banyak berfungsi sebagai alat propaganda politik domestik ketimbang refleksi dari realitas militer di lapangan.

Menurut Azodi, Israel memang berhasil melumpuhkan sebagian infrastruktur militer Iran dan mengurangi kemampuan rudal Teheran. Namun, tujuan utama Israel untuk menghancurkan sepenuhnya program nuklir Iran tidak tercapai. “Mereka bisa mengklaim beberapa kemenangan jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, kepemimpinan Netanyahu tidak berhasil memenuhi kepentingan strategis Israel,” kata Azodi. Apalagi, pergantian rezim di Iran juga tidak terjadi, yang mungkin menjadi salah satu tujuan tersirat Israel.

Dari sudut pandang Iran, klaim kemenangan muncul dari fakta bahwa mereka mampu memaksa Israel—negara dengan kekuatan militer paling dominan di kawasan dan satu-satunya yang memiliki senjata nuklir—untuk menyetujui gencatan senjata. Narasi ini sangat efektif untuk konsumsi domestik di Iran, memperlihatkan bahwa mereka tetap berdiri tegak menghadapi tekanan Israel dan Amerika Serikat. Pawai besar-besaran di Teheran adalah manifestasi fisik dari keberhasilan narasi ini, memperkuat citra ketahanan dan kekuatan di mata rakyat.

Situasi ini memperlihatkan bagaimana konflik di Timur Tengah tidak hanya berlangsung di medan perang fisik, tetapi juga dalam medan perang persepsi dan opini publik. Ketika senjata berhenti dipakai untuk sementara, perang persepsi masih terus berlanjut, dengan setiap pihak berusaha membentuk narasi yang menguntungkan mereka.

Kekuatan Militer dan Realitas Medan: Sebuah Tinjauan Objektif

Untuk memahami konteks klaim-klaim ini, penting untuk melihat perbandingan kekuatan militer kedua negara. Menurut Global Fire Power 2025, Israel menempati peringkat 15 dalam daftar negara dengan militer terkuat di dunia, sementara Iran berada di posisi ke-16. Indonesia sendiri berada di peringkat 13, menunjukkan dinamika kekuatan yang menarik di kancah global. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam peringkat ini mencakup jumlah unit militer, kondisi keuangan, hingga kemampuan logistik dan geografi.

Israel memang mengklaim telah mencapai dominasi udara atas Iran, sebuah langkah besar yang digambarkan Perdana Menteri Netanyahu sebagai “pengubah permainan.” Mereka menyatakan jet-jet tempur Israel dapat “menyerang jauh lebih banyak target di Teheran” berkat hancurnya puluhan sistem pertahanan udara Iran. Operasi mereka dilaporkan menyasar fasilitas nuklir, gudang peluru kendali, ilmuwan, dan jenderal senior Iran, termasuk penghancuran dua fasilitas produksi sentrifus di Karaj. Pengiriman bom penghancur bunker dari Amerika Serikat pada bulan April juga mengindikasikan persiapan Israel untuk target-target yang terlindungi.

Namun, para analis meyakini bahwa Israel akan kesulitan untuk menghancurkan fasilitas nuklir terdalam Iran, seperti Fordow yang dibangun di bawah gunung, tanpa campur tangan langsung militer Amerika Serikat. Seorang mantan pejabat keamanan senior Israel bahkan mengakui bahwa hanya AS yang memiliki kemampuan militer, terutama melalui bom penghancur bunker kelas berat dan pesawat pengebom strategis, untuk menghantam fasilitas semacam Fordow. Ini menegaskan bahwa meskipun Israel unggul secara taktis dan operasional di udara, keberhasilan strategis penuh mungkin memerlukan lebih dari sekadar kekuatan udara.

Di sisi lain, Iran juga menunjukkan kapabilitasnya. Dalam serangan balasan, Iran mengklaim telah meluncurkan sekitar 180 rudal ke Israel, beberapa di antaranya mengenai sasaran. Militer Iran bahkan menyatakan pasukannya menggunakan rudal hipersonik untuk pertama kalinya dan mengklaim bahwa 90% rudal mengenai sasarannya, menargetkan tiga pangkalan militer Israel. Meskipun Israel menekankan bahwa “sejumlah besar” rudal Iran berhasil dicegat oleh sistem pertahanan udara berlapis mereka (Iron Dome, David’s Sling, Arrow 2 & 3), serangan ini tetap menjadi bukti kemampuan Iran untuk melancarkan serangan signifikan.

Selain itu, Iran juga memiliki kekuatan proksi yang signifikan di kawasan, seperti Hizbullah di Lebanon. Hizbullah diperkirakan memiliki antara 20.000 hingga 50.000 personel yang terlatih dan tangguh dalam pertempuran, serta gudang roket dan rudal yang masif (diperkirakan 120.000-200.000 unit), rudal antipesawat, dan antikapal. Kekuatan proksi ini menambah dimensi kompleks dalam dinamika militer di Timur Tengah, memperluas jangkauan pengaruh Iran melampaui batas negaranya.

Dampak Kemanusiaan dan Respon Internasional

Di tengah klaim kemenangan dan pertunjukan kekuatan militer, dampak kemanusiaan dari konflik ini tidak dapat diabaikan. Menteri Kesehatan Iran Mohammad Reza Zafarqandi mengungkapkan bahwa 606 warga Iran telah menjadi martir sejak awal agresi pada 13 Juni lalu. Hanya dalam 24 jam sebelum gencatan senjata diberlakukan, sebanyak 107 orang tewas dan 1.342 lainnya terluka, sebagian besar akibat tertimbun reruntuhan bangunan. Kementerian Kesehatan bahkan terpaksa mengevakuasi tiga rumah sakit yang berisiko untuk menyelamatkan nyawa pasien.

Konflik ini juga berdampak pada warga negara asing yang berada di kawasan. Kementerian Luar Negeri Indonesia melaporkan bahwa dari 97 Warga Negara Indonesia (WNI) yang dievakuasi dari Iran, 68 orang masih menunggu jadwal pemulangan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Teheran dan Baku. Sementara 11 WNI telah tiba di Indonesia, 18 lainnya tertahan di Qatar karena penutupan bandara, menunjukkan bagaimana konflik ini dapat mengganggu mobilitas dan keselamatan warga sipil.

Secara internasional, serangan Iran ke Israel memicu kecaman luas. Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jepang mengutuk tindakan Iran dan menegaskan dukungan mereka terhadap Israel. Presiden AS Joe Biden memerintahkan pasukannya di wilayah tersebut untuk “membantu pertahanan Israel” dan menembak jatuh rudal Iran. Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengonfirmasi “beberapa” intersepsi oleh AS, mengutuk “tindakan agresi keterlaluan oleh Iran.” Sementara itu, Inggris juga terlibat dalam mendukung Israel. Ini menggarisbawahi peran penting sekutu Israel dalam meredam eskalasi dan menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan.

Kesimpulan: Narasi Kemenangan yang Menentukan Masa Depan

Pawai kemenangan di Teheran, dengan segala euforia dan pesan politiknya, adalah sebuah cerminan dari kompleksitas konflik Iran-Israel yang jauh melampaui medan perang fisik. Ini adalah pertunjukan kekuatan narasi, di mana Iran berusaha meyakinkan dunia—dan terutama rakyatnya—bahwa mereka telah mencapai kemenangan signifikan melawan musuh yang lebih dominan. Meskipun gencatan senjata telah berlaku, “perang” sesungguhnya, yaitu perang persepsi dan pengaruh, masih terus berlangsung.

Klaim kemenangan dari kedua belah pihak, didukung oleh data dan interpretasi masing-masing, menciptakan lanskap geopolitik yang penuh ketidakpastian. Pawai ini menegaskan bahwa bagi Iran, konflik ini belum usai, dan semangat perlawanan tetap menyala. Di sisi lain, Israel juga tidak menganggap konflik telah berakhir, tetap waspada terhadap program nuklir Iran dan ancaman regional lainnya.

Memahami pawai kemenangan di Teheran puji militer Iran dalam perang melawan Israel berarti menyelami lapisan-lapisan makna di baliknya: sebuah ekspresi dukungan rakyat, strategi propaganda yang cerdas, dan indikator bahwa ketegangan di Timur Tengah akan terus menjadi isu krusial. Ke depannya, bagaimana narasi-narasi ini berkembang dan berinteraksi akan sangat menentukan arah stabilitas regional, di mana perdamaian yang dipaksakan mungkin tidak akan pernah menjadi perdamaian abadi.

Bagikan pandangan Anda tentang konflik ini di kolom komentar, atau diskusikan bagaimana narasi dan dukungan publik dapat memengaruhi dinamika geopolitik.