Di Balik Bantahan Dirut Sritex: Mengurai Simpang Siur Dana Kredit Rp 692 Miliar dalam Pusaran Kasus Korupsi

Dipublikasikan 24 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Dunia korporasi Indonesia kembali dihebohkan dengan mencuatnya kasus dugaan korupsi penyalahgunaan dana kredit bank negara yang melibatkan salah satu raksasa tekstil Tanah Air, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Angka fantastis Rp 692 miliar menjadi sorotan utama, memicu pertanyaan besar tentang transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan perusahaan. Di tengah pusaran penyelidikan intensif oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), Direktur Utama Sritex saat ini, Iwan Kurniawan Lukminto, tampil ke publik dengan bantahan tegas. Ia menepis tudingan bahwa dana kredit sebesar itu digunakan untuk kepentingan pribadi sang kakak, Iwan Setiawan Lukminto, yang merupakan mantan Dirut Sritex dan kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Artikel ini akan mengupas tuntas dinamika di balik bantahan dirut Sritex bantah dana kredit 692 dipakai untuk keperluan pribadi, menelisik klaim dari berbagai pihak, serta implikasi luas dari kasus yang mengguncang ini.

Prahara Kredit Sritex: Akar Permasalahan dan Angka Fantastis Rp 692 Miliar

PT Sritex, yang pernah menjadi kebanggaan industri tekstil nasional dengan rekam jejak panjang, kini dihadapkan pada babak paling kelam dalam sejarahnya. Perusahaan yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah ini, terjerat dalam dugaan kasus korupsi penyalahgunaan fasilitas kredit dari dua bank negara, yakni Bank DKI dan Bank BJB, dengan total nilai mencapai Rp 692.987.592.188. Dana jumbo ini, yang seharusnya dialokasikan sebagai modal kerja untuk operasional perusahaan, diduga kuat telah disalahgunakan.

Kejaksaan Agung, melalui Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa dana kredit tersebut tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Alih-alih untuk modal kerja, dana ini diduga dialihkan untuk membayar utang perusahaan kepada pihak lain dan bahkan digunakan untuk membeli aset-aset non-produktif. Tuduhan ini semakin diperkuat dengan adanya indikasi pembelian tanah di beberapa lokasi, termasuk Yogyakarta dan Solo, yang tidak relevan dengan kebutuhan operasional inti Sritex.

Kasus ini juga menyeret nama-nama besar dari pihak perbankan. Selain mantan Direktur Utama Sritex periode 2005-2022, Iwan Setiawan Lukminto (ISL), Kejagung juga telah menetapkan dua tersangka lainnya: Zainuddin Mappa (ZM) selaku Direktur Utama Bank DKI tahun 2020, dan Dicky Syahbandinata (DS) selaku Pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB tahun 2020. Penetapan tersangka dari pihak bank mengindikasikan adanya dugaan ketidakpatuhan terhadap prosedur dan persyaratan standar perbankan. Kedua bank tersebut diduga tidak melakukan analisis yang memadai terhadap kondisi finansial Sritex sebelum menyalurkan kredit, bahkan disinyalir mengabaikan hasil penilaian lembaga pemeringkat kredit seperti Fitch dan Moodys yang memberikan predikat BB- kepada Sritex, menandakan risiko gagal bayar yang lebih tinggi. Situasi ini memunculkan pertanyaan serius tentang prinsip kehati-hatian dalam praktik perbankan dan tata kelola perusahaan.

Suara dari Internal: Bantahan Tegas Iwan Kurniawan Lukminto

Di tengah panasnya penyelidikan dan berbagai tudingan yang mengemuka, Direktur Utama PT Sritex saat ini, Iwan Kurniawan Lukminto (IKL), angkat bicara. Iwan Kurniawan, yang merupakan adik kandung dari Iwan Setiawan Lukminto (ISL), tampil membantah keras tudingan bahwa dana kredit Rp 692 miliar tersebut digunakan untuk kebutuhan pribadi sang kakak atau pembelian aset non-produktif.

“Setahu saya sebagai adik, tidak (digunakan untuk keperluan pribadi Iwan Setiawan). Tetapi nanti coba dari hasil penyidikannya seperti apa,” ujar Iwan Kurniawan kepada awak media usai menjalani pemeriksaan lanjutan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan. Bantahan ini ia sampaikan secara konsisten dalam berbagai kesempatan. Ia juga menegaskan bahwa sepanjang pengetahuannya, tidak ada dana kredit yang dialihkan untuk membeli aset pribadi. “Setahu saya tidak ada (digunakan untuk beli aset pribadi). Kami sudah sampaikan juga di dalam,” tegasnya.

Menurut Iwan Kurniawan, hasil pencairan kredit bank tersebut sepenuhnya dipergunakan untuk operasional Sritex dan anak-anak usahanya. Ia memastikan bahwa penggunaan dana telah sesuai peruntukan awal. “Untuk operasional semuanya. Untuk operasional Sritex-lah,” imbuhnya, seraya menambahkan bahwa dana tersebut juga dimanfaatkan untuk pengembangan usaha dan pembayaran gaji pekerja. Pernyataan ini secara langsung bertolak belakang dengan narasi yang dibangun oleh Kejaksaan Agung.

Pemeriksaan Iwan Kurniawan Lukminto bukanlah yang pertama kali. Ia tercatat telah menjalani pemeriksaan oleh penyidik Jampidsus sebanyak empat kali, dengan durasi yang cukup panjang. Pada pemeriksaan terakhir yang ia jalani, Iwan diperiksa sekitar 11 jam dan dicecar kurang lebih 25 pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, menurutnya, masih seputar operasional perusahaan dan bagaimana ia me-manage Sritex setelah menjabat sebagai direktur utama. Meskipun masih ada beberapa dokumen yang diminta penyidik, Iwan Kurniawan menyatakan bahwa ia akan kooperatif dan dokumen tersebut dapat dikirimkan melalui ekspedisi, tanpa harus diantar langsung. Komitmen ini menunjukkan keseriusan pihak manajemen Sritex dalam menghadapi proses hukum yang sedang berjalan.

Narasi Kejaksaan Agung: Tuduhan dan Bukti Awal

Kontradiksi antara pernyataan Iwan Kurniawan Lukminto dengan temuan awal Kejaksaan Agung menjadi inti dari polemik kasus ini. Kejagung, sebagai pihak penyidik, memiliki narasi yang jelas dan didukung oleh hasil penyelidikan awal. Mereka menduga kuat adanya penyalahgunaan wewenang dan pengalihan dana yang merugikan keuangan negara.

Fokus utama Kejaksaan Agung adalah pada dugaan penyalahgunaan dana kredit yang seharusnya dialokasikan untuk modal kerja. Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, secara spesifik menyebutkan bahwa dana kredit Rp 692 miliar tersebut “tidak digunakan sebagaimana tujuan dari pemberian kredit yaitu untuk modal kerja tetapi disalahgunakan.” Lebih lanjut, Qohar merinci dugaan penyalahgunaan tersebut, yakni untuk membayar utang Sritex kepada pihak lain dan juga untuk pembelian aset-aset yang dinilai tidak produktif bagi perusahaan, seperti tanah di berbagai lokasi.

Selain itu, Kejagung juga menyoroti peran dua bank pemberi kredit, Bank DKI dan Bank BJB. Dugaan kuat adalah bahwa pemberian kredit ini menyalahi ketentuan perbankan dan tidak mengedepankan prinsip kehati-hatian. Salah satu poin krusial yang diungkapkan adalah tidak terpenuhinya syarat kredit modal kerja, mengingat Sritex hanya memperoleh predikat BB- dari lembaga pemeringkat Fitch dan Moodys. Predikat ini secara jelas mengindikasikan risiko gagal bayar yang lebih tinggi, seharusnya menjadi red flag bagi bank dalam menyalurkan dana sebesar itu. Kejaksaan Agung berargumen bahwa tindakan para tersangka dari perbankan ini, yaitu ZM dan DS, telah menyebabkan kerugian negara karena tidak mematuhi prosedur serta persyaratan yang telah ditetapkan.

Meskipun Iwan Kurniawan Lukminto membantah klaim penggunaan dana untuk kepentingan pribadi, Kejagung tetap berpegang pada bukti-bukti awal yang mereka kumpulkan. Perbedaan klaim ini menunjukkan bahwa proses penyidikan masih terus bergulir, dan bukti-bukti hukum akan menjadi penentu kebenaran di pengadilan. Kejaksaan Agung berkomitmen untuk mendalami setiap aspek kasus ini, termasuk aliran dana dan keterlibatan berbagai pihak di lingkup internal manajemen Sritex.

Mengapa Iwan Kurniawan Belum Tersangka? Perspektif Hukum dan Proses Penyidikan

Salah satu pertanyaan yang kerap muncul di benak publik adalah mengapa Iwan Kurniawan Lukminto, meskipun telah diperiksa berkali-kali dan merupakan Direktur Utama Sritex, belum ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa penetapan status tersangka dalam sebuah kasus pidana, termasuk korupsi, sangat bergantung pada fakta-fakta hukum yang diperoleh serta adanya bukti permulaan yang cukup.

“Tak boleh suudzon. Jadi, yang menentukan seseorang atau pihak yang menjadi tersangka itu sangat tergantung dengan fakta-fakta hukum yang diperoleh. Sangat tergantung dengan adanya bukti permulaan yang cukup, yang diperoleh dari setidaknya dua alat bukti,” kata Harli Siregar. Pernyataan ini menegaskan prinsip due process of law, di mana status hukum seseorang tidak bisa ditetapkan tanpa dasar bukti yang kuat dan memenuhi standar hukum.

Iwan Kurniawan saat ini berstatus sebagai saksi. Peran saksi dalam sebuah penyidikan adalah memberikan keterangan yang ia ketahui terkait suatu peristiwa pidana untuk membantu penyidik mengungkap kebenaran materiil. Pemeriksaan yang berulang kali, bahkan hingga empat kali dengan durasi panjang dan puluhan pertanyaan, adalah bagian dari upaya penyidik untuk menggali informasi selengkap-lengkapnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa penyidik masih dalam tahap pengumpulan dan validasi bukti. Jika di kemudian hari ditemukan dua alat bukti yang cukup dan mengarah pada keterlibatan Iwan Kurniawan secara langsung dalam dugaan penyalahgunaan dana atau pelanggaran hukum lainnya, barulah statusnya dapat ditingkatkan menjadi tersangka.

Kejagung nampaknya sangat berhati-hati dalam menetapkan tersangka, terutama mengingat kompleksitas kasus korupsi yang melibatkan entitas korporasi besar dan bank negara. Mereka ingin memastikan bahwa setiap penetapan tersangka didasarkan pada fondasi hukum yang kokoh, untuk menghindari potensi praperadilan atau gugatan balik di kemudian hari. Oleh karena itu, meskipun ada sinyal atau dugaan awal keterlibatan, proses hukum memerlukan pembuktian yang cermat dan sistematis.

Dampak Kasus: Dari Sritex Pailit hingga PHK Massal

Skandal dana kredit Rp 692 miliar yang melilit Sritex ini tidak hanya menjadi catatan hitam dalam dunia hukum dan korporasi, tetapi juga membawa dampak riil yang sangat serius. PT Sritex, yang dulunya merupakan salah satu perusahaan tekstil terbesar dan paling strategis di Indonesia, kini telah dinyatakan pailit. Kebangkrutan ini bukan sekadar catatan finansial, melainkan sebuah tragedi ekonomi yang berdampak langsung pada ribuan jiwa.

Sebagai konsekuensi dari kebangkrutan, Sritex terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Tercatat, gelombang PHK ini menimpa sekitar 11.000 karyawan pada Februari 2025 lalu. Angka ini mencerminkan skala dampak sosial yang luar biasa. Ribuan keluarga kehilangan mata pencaharian, menambah beban ekonomi dan sosial di tengah kondisi yang tidak menentu. Situasi ini menjadi pengingat pahit tentang bagaimana penyalahgunaan dana dan tata kelola perusahaan yang buruk dapat menghancurkan sebuah institusi besar dan kehidupan banyak orang.

Kasus Sritex juga menyoroti pentingnya pengawasan ketat terhadap praktik perbankan dan pemberian fasilitas kredit. Dugaan bahwa bank-bank negara memberikan kredit tanpa analisis yang memadai dan mengabaikan risiko gagal bayar, menunjukkan celah dalam sistem pengawasan keuangan. Ini memicu kekhawatiran tentang potensi kerugian negara yang lebih besar di masa depan jika praktik serupa tidak ditindak tegas dan sistem pengawasan tidak diperkuat.

Di tingkat yang lebih luas, skandal ini juga mengikis kepercayaan publik terhadap integritas korporasi dan lembaga keuangan. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kata kunci yang semakin relevan. Kasus Sritex menjadi pelajaran berharga bagi seluruh pemangku kepentingan untuk memperkuat tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) dan memastikan bahwa dana publik maupun dana pinjaman digunakan sesuai peruntukannya demi keberlanjutan bisnis dan kesejahteraan bersama, bukan untuk kepentingan segelintir individu.

Kesimpulan

Bantahan Direktur Utama Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, terkait penggunaan dana kredit Rp 692 miliar untuk kepentingan pribadi, menambah kompleksitas dalam kasus dugaan korupsi yang tengah diselidiki Kejaksaan Agung. Di satu sisi, pihak internal perusahaan bersikukuh bahwa dana tersebut dialokasikan untuk operasional dan pengembangan usaha Sritex. Di sisi lain, Kejagung memiliki temuan awal yang mengindikasikan penyalahgunaan dana untuk pembayaran utang dan pembelian aset non-produktif, bahkan menyeret pihak bank pemberi kredit atas dugaan pelanggaran prosedur.

Perbedaan klaim ini menegaskan bahwa kasus Sritex masih dalam proses hukum yang panjang dan dinamis. Publik menantikan hasil akhir dari penyelidikan yang transparan dan adil, yang pada akhirnya akan membuktikan siapa yang benar di balik pusaran angka miliaran rupiah ini. Kasus ini bukan hanya tentang kerugian finansial semata, melainkan juga tentang integritas tata kelola korporasi, pengawasan perbankan, dan nasib ribuan karyawan yang terdampak langsung.

Transparansi dan akuntabilitas menjadi krusial dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini. Semoga proses hukum dapat berjalan lancar, menghasilkan keadilan, dan memberikan pembelajaran berharga bagi seluruh entitas bisnis di Indonesia untuk senantiasa menjunjung tinggi etika dan kepatuhan dalam setiap aktivitas keuangannya. Kita akan terus mengikuti perkembangan kasus ini, yang tidak hanya menjadi sorotan berita, tetapi juga cerminan dari tantangan besar dalam penegakan hukum dan reformasi korporasi di Tanah Air.