Yogyakarta, zekriansyah.com – Tuberkulosis (TB) atau yang sering kita kenal dengan TBC, masih menjadi momok menakutkan di Indonesia. Bayangkan saja, setiap tahunnya, lebih dari satu juta orang terinfeksi penyakit mematikan ini, dan sekitar 125 ribu di antaranya meninggal dunia. Ini berarti, setiap empat menit, ada satu warga Indonesia yang kehilangan nyawa karena TBC. Ironisnya, penyakit ini sebenarnya bisa disembuhkan, dan obatnya pun gratis!
Ilustrasi menggambarkan semangat gotong royong masyarakat dalam program Desa Siaga yang berupaya keras memberantas tuberkulosis (TB) di Indonesia dari akar rumput.
Lalu, mengapa TBC masih begitu sulit diberantas? Tantangannya beragam, mulai dari penularan yang mudah lewat udara, kurangnya informasi, hingga stigma yang membuat pasien enggan berobat atau bahkan menolak memakai masker. Kondisi ini diperparah dengan lamanya durasi pengobatan yang bisa mencapai enam bulan tanpa putus. Nah, di tengah tantangan ini, muncullah sebuah harapan baru: Desa Siaga TBC. Bisakah program ini benar-benar membantu berantas tuberkulosis di Indonesia? Mari kita selami lebih dalam.
Mengapa Tuberkulosis Masih Jadi Ancaman Serius di Indonesia?
Sebagai negara dengan beban kasus TBC tertinggi kedua di dunia setelah India, Indonesia memang punya pekerjaan rumah besar. Data menunjukkan bahwa di tahun 2024, estimasi kasus baru TBC di Indonesia mencapai 1.090.000, dengan angka kematian yang juga sangat tinggi. Ini bukan sekadar angka, melainkan nyawa dan masa depan jutaan keluarga yang terancam.
Salah satu masalah utama adalah banyak pasien yang belum terdiagnosis atau menolak pengobatan karena berbagai alasan. Stigma negatif dari masyarakat seringkali membuat pasien merasa dikucilkan. Selain itu, masalah pendanaan juga menjadi kendala. Pada 2023, sebagian besar layanan TBC di desa masih bergantung pada dana donor internasional yang rawan terhenti. Kondisi ini membuat upaya penanggulangan tuberkulosis di Indonesia menjadi sangat kompleks dan membutuhkan pendekatan yang berbeda.
Mengenal Lebih Dekat Program Desa Siaga TBC: Pemberdayaan dari Akar Rumput
Melihat besarnya tantangan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meluncurkan program Desa Siaga TBC. Program ini dirancang untuk memberdayakan komunitas hingga tingkat Rukun Warga (RW) agar lebih sadar, peduli, dan berperan aktif dalam melawan TBC. Tujuannya jelas: mendekatkan upaya pencegahan dan penanganan TBC langsung ke masyarakat.
Pemberdayaan ini dilakukan melalui edukasi kesehatan, skrining aktif untuk menemukan kasus baru, hingga pendampingan psikososial bagi pasien TBC. Hebatnya, program ini didukung oleh Peraturan Presiden (Perpres) No. 67/2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, yang bahkan memungkinkan pemerintah desa menggunakan dana desa untuk kegiatan ini. Ini adalah langkah besar menuju penanggulangan TBC yang lebih holistik dan partisipatif.
Kisah Sukses Desa Percontohan: Inspirasi bagi Seluruh Negeri
Program Desa Siaga TBC bukan isapan jempol. Beberapa desa percontohan telah membuktikan keberhasilannya:
- Desa Tembong, Kuningan, Banten: Melalui program “JARING TAS” (Kejar Skrining dan Tangani TB Sampai Tuntas) dan “KAJEDAK” (Kader Ngajemput Dahak), desa ini berhasil meningkatkan cakupan penemuan kasus dan mencapai 100% keberhasilan pengobatan. Mereka bahkan menjadi Desa Bebas TB berkat inovasi dan kolaborasi lintas sektor.
- Desa Klapanunggal, Bogor, Jawa Barat: Puskesmas setempat melaporkan peningkatan cakupan penemuan kasus hingga 126% dengan 100% pasien TBC sensitif obat berhasil menjalani pengobatan.
- Kampung Siaga TBC RW 09 Jelambar Baru, Jakarta Barat: Inovasi ini berhasil mencetak angka kesembuhan hingga 90% berkat dedikasi para kader dan kerja sama lintas sektor.
- Desa Sukamentri, Garut: Menggalakkan Rembuk Desa Siaga TBC dengan pendekatan penataan kawasan kumuh, penyediaan rumah sehat, dan rumah singgah bagi pasien, didukung penuh oleh gotong royong masyarakat dan berbagai pihak.
Keberhasilan desa-desa percontohan ini menjadi bukti nyata bahwa Desa Siaga TBC memiliki potensi besar untuk membantu berantas tuberkulosis di Indonesia.
Tantangan di Balik Harapan: Apa yang Perlu Diperbaiki?
Meski menjanjikan, pelaksanaan Desa Siaga TBC tidak lepas dari tantangan. Beberapa di antaranya adalah:
- Keterbatasan Kader TBC: Jumlah kader terlatih masih sangat minim, hanya sekitar 9.037 orang di 190 kabupaten/kota pada tahun 2022. Belum ada regulasi khusus yang mengatur peran mereka, sehingga banyak kader harus merangkap tugas.
- Rendahnya Pemahaman dan Keterbatasan Dana Desa: Pemerintah daerah dan desa terkadang kurang memahami urgensi TBC, dan alokasi dana desa untuk program ini masih terbatas. Ketergantungan pada dana donor asing juga menjadi isu krusial yang bisa mengancam keberlanjutan program.
- Kurangnya Akses Data dan Stigma Masyarakat: Masih banyak kasus TBC yang belum terdeteksi dan tercatat. Stigma terhadap pasien TBC dan keluarganya juga masih kuat, menghambat pelaporan dan kepatuhan berobat.
Memaksimalkan Potensi Desa Siaga TBC: Kolaborasi adalah Kunci
Untuk memastikan Desa Siaga TBC berjalan optimal dan mampu berantas tuberkulosis di Indonesia secara efektif, beberapa langkah strategis perlu diperkuat:
Perkuat Peran dan Kapasitas Kader TBC
Kader adalah ujung tombak program ini. Mereka yang berinteraksi langsung dengan masyarakat, seperti Indri di Kelurahan Rambutan yang sabar membujuk pasien minum obat atau Juriah di Jelambar Baru yang punya lima poin sukses sebagai kader. Pemerintah perlu membuat regulasi yang mengatur peran kader TBC, melembagakan mereka, dan memberikan pelatihan serta insentif yang layak. Ini akan memotivasi mereka dan memastikan regenerasi kader berjalan baik.
Dorong Komitmen Pemerintah Daerah dan Lintas Sektor
Pemerintah pusat perlu mendorong kepala daerah untuk mengalokasikan dana khusus dari dana desa dan APBD untuk penanggulangan TBC. Contoh sukses seperti proyek “Zero TB” di Yogyakarta, yang melibatkan berbagai instansi pemerintah setempat, harus direplikasi. Selain itu, Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat desa/kelurahan harus diperkuat untuk mengintegrasikan eliminasi TBC ke dalam rencana strategis desa.
Libatkan Seluruh Elemen Masyarakat untuk Hapus Stigma
Stigma adalah penghalang besar. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan pendekatan ENGAGE-TB, di mana masyarakat sipil dan komunitas yang terdampak TBC bekerja sama dalam perencanaan, penerapan, pemantauan, dan evaluasi respons TBC. Keterlibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, budayawan, hingga RT/RW sangat penting untuk menghapus stigma, mendorong pelaporan kasus baru, dan meningkatkan kepatuhan berobat.
Peran Penting Deteksi Dini dan Pengawasan Pengobatan
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menekankan tiga pesan kunci untuk para kader: menemukan seluruh pasien TBC, segera memberikan pengobatan tanpa ditunda, dan mengawasi pengobatan hingga tuntas. Deteksi dini sangat krusial karena TBC menular lewat pernapasan. Jika tidak segera diobati, pasien bisa terus menularkan ke orang lain.
Pengawasan pengobatan juga tak kalah penting. Pasien TBC memerlukan berbulan-bulan untuk sembuh. Jika pengobatan dihentikan di tengah jalan, bakteri bisa menjadi resisten obat (TBC-RO), yang penanganannya jauh lebih sulit dan mahal. Inovasi seperti “jemput bola” dahak dan menjadikan kader jumantik sebagai “jumantuk” (juru pemantau batuk) untuk mencari terduga TBC adalah langkah konkret yang perlu diperluas.
Vaksinasi dan Inovasi Lainnya: Pelengkap Perjuangan
Selain upaya berbasis komunitas, Indonesia juga aktif dalam pengembangan solusi jangka panjang. Uji klinis vaksin TBC M72/AS01E, yang didanai oleh The Gates Foundation, sedang berlangsung di Indonesia. Meskipun sempat menimbulkan polemik, Menteri Kesehatan menegaskan bahwa uji klinis ini telah melalui tahapan ilmiah yang aman dan bermanfaat bagi Indonesia, termasuk untuk mempelajari teknologi vaksin dan membangun daya tawar produksi.
Vaksin TBC yang ada saat ini, BCG, efektif utamanya hanya untuk anak-anak dalam mencegah TBC berat. Oleh karena itu, vaksin baru yang lebih efektif sangat dibutuhkan untuk mengeliminasi TBC secara menyeluruh.
Kesimpulan: Harapan Nyata untuk Indonesia Bebas TBC
Program Desa Siaga TBC adalah langkah maju yang sangat penting dalam upaya berantas tuberkulosis di Indonesia. Dengan memberdayakan masyarakat di tingkat paling dasar, program ini terbukti mampu meningkatkan deteksi dini, kepatuhan pengobatan, dan keberhasilan penyembuhan.
Namun, keberhasilan ini tidak bisa dicapai sendiri. Diperlukan kolaborasi dan sinergi yang kuat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, fasilitas kesehatan, kader kesehatan, tokoh masyarakat, hingga seluruh elemen masyarakat. Dengan komitmen bersama, dukungan dana yang memadai, peningkatan kapasitas kader, dan penghapusan stigma, cita-cita Indonesia bebas TBC pada tahun 2030 bukan lagi sekadar impian, melainkan tujuan yang bisa kita raih bersama. Mari bergerak dari lingkungan terkecil, dari desa kita, untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sehat dan bebas dari TBC!
FAQ
Tanya: Apa itu Desa Siaga TBC?
Jawab: Desa Siaga TBC adalah program berbasis komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, deteksi dini, dan kepatuhan pengobatan tuberkulosis di tingkat desa.
Tanya: Bagaimana Desa Siaga TBC dapat membantu memberantas TBC di Indonesia?
Jawab: Desa Siaga TBC memberdayakan masyarakat untuk berperan aktif dalam pencegahan, penemuan kasus, dan pendampingan pasien, sehingga mengatasi kendala informasi dan stigma.
Tanya: Mengapa TBC masih menjadi masalah besar di Indonesia meskipun obatnya gratis?
Jawab: TBC tetap menjadi masalah karena penularan yang mudah, kurangnya informasi, stigma, dan lamanya durasi pengobatan yang membutuhkan kepatuhan tinggi dari pasien.