aturan baru pajak toko online tak langsung

Dipublikasikan 15 Juli 2025 oleh admin
Finance

Yogyakarta, zekriansyah.com – Aturan Baru Pajak Toko Online: Siap-Siap Marketplace Pungut Pajak Langsung!

aturan baru pajak toko online tak langsung

Pemerintah melalui peraturan terbaru akan menerapkan pemungutan pajak secara langsung oleh marketplace terhadap transaksi toko online, menandai perubahan signifikan dalam skema perpajakan digital.

Halo para pebisnis online dan kamu yang suka belanja di marketplace! Ada kabar penting nih dari pemerintah terkait aturan baru perpajakan yang mungkin akan memengaruhi transaksi jual beli di platform favorit kita. Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) baru saja mengeluarkan kebijakan yang membuat banyak pihak bertanya-tanya: apakah toko online akan dipungut pajak langsung oleh marketplace? Nah, artikel ini akan membantu kamu memahami secara gamblang apa sebenarnya aturan baru pajak toko online tak langsung ini, siapa saja yang terdampak, dan apa yang perlu kamu persiapkan. Yuk, kita bedah bersama agar tidak ada lagi kebingungan!

PMK 37 Tahun 2025: Apa Isinya dan Kapan Mulai Berlaku?

Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Aturan ini resmi diundangkan pada 14 Juli 2025. Inti dari PMK ini adalah menunjuk platform marketplace, atau yang biasa disebut Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) seperti Shopee, Tokopedia, Lazada, Blibli, hingga TikTok Shop, untuk langsung memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari para pedagang online yang berjualan di platform mereka.

Namun, tenang dulu. Meskipun sudah diundangkan, DJP menegaskan bahwa implementasi aturan baru pajak toko online ini tidak akan berlaku secara serentak dan langsung dalam waktu dekat. Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, menjelaskan bahwa DJP masih memerlukan waktu sekitar satu hingga dua bulan untuk berkoordinasi dengan para pemilik marketplace. Tujuan koordinasi ini adalah untuk memastikan kesiapan sistem mereka dalam menjalankan kebijakan ini. Pelaksanaan akan dilakukan secara bertahap, dimulai dari platform-platform besar yang sudah siap, kemudian menyusul marketplace lainnya sesuai dengan kesiapan sistem masing-masing.

Siapa Saja yang Kena Aturan Pajak Toko Online Ini?

Aturan baru ini berlaku untuk pedagang online atau penyedia jasa yang memenuhi beberapa kriteria. Mereka adalah Warga Negara Indonesia (baik perorangan maupun badan usaha) yang menggunakan rekening bank atau alat pembayaran sejenis, menggunakan IP address Indonesia saat bertransaksi, atau nomor telepon dengan kode +62. Selain itu, tentu saja mereka yang menjual barang atau jasa secara online melalui platform digital. Kebijakan ini bahkan juga mencakup perusahaan jasa pengiriman (ekspedisi), perusahaan asuransi, dan penyedia jasa lain yang bertransaksi secara daring.

Lalu, berapa besarannya? Marketplace nantinya akan memotong pajak penghasilan final sebesar 0,5 persen dari omzet penjualan. Penting untuk dicatat, pemotongan ini khusus ditujukan bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang memiliki omzet tahunan antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar. Ini berarti PPh Pasal 22 yang dipungut oleh e-commerce ini akan dianggap sebagai pembayaran di muka terhadap kewajiban pajak penghasilan tahunan pedagang yang bersangkutan, dan sifatnya tidak final sehingga dapat dikreditkan.

Pelajari lebih lanjut tentang pajak 0,5 persen untuk pedagang di sini: pajak 0,5 persen untuk pedagang.

Ada kabar baik bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun. Mereka tidak akan dikenakan pemungutan pajak dalam skema ini. Ini sesuai dengan ketentuan yang sudah berlaku bahwa UMKM dengan omzet di bawah batas tersebut tidak wajib membayar PPh. Jadi, kebijakan ini tidak menambah beban pajak baru, melainkan mengubah cara pemungutannya.

Mengapa Pemerintah Menerapkan Pajak Toko Online Ini?

Pemerintah memiliki beberapa alasan kuat di balik penerapan aturan baru pajak toko online tak langsung ini. Salah satu tujuannya adalah efisiensi administrasi perpajakan. Bayangkan, DJP tidak perlu lagi menagih jutaan Wajib Pajak satu per satu. Dengan melibatkan marketplace sebagai pemungut, prosesnya menjadi lebih sederhana dan terintegrasi, sekaligus mengurangi beban pelaporan bagi UMKM.

Selain itu, kebijakan ini dirancang untuk meminimalkan risiko penghindaran pajak. Dengan pajak yang langsung dipotong sebelum dana masuk ke rekening penjual, potensi celah penghindaran pajak dapat ditekan. Ini juga merupakan upaya pemerintah untuk memperbaiki rasio pajak (tax ratio) dan menambal potensi kekurangan penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari sektor ekonomi digital yang terus tumbuh pesat.

Yang tak kalah penting, pemerintah ingin menciptakan kesetaraan (level playing field) antara pelaku usaha online dan toko fisik atau konvensional. Selama ini, banyak toko fisik merasa bahwa mereka tunduk pada kewajiban pajak yang ketat, sementara sebagian pedagang online belum terpantau penuh. Dengan skema ini, diharapkan tidak ada lagi perlakuan berbeda antara perdagangan secara langsung dan online. DJP menegaskan bahwa kebijakan ini bukan tentang menambah jenis pajak baru, melainkan sekadar mengubah mekanisme pembayaran PPh yang sudah ada, sekaligus memperkuat pengawasan dan menutup celah ekonomi tersembunyi.

Tantangan dan Kekhawatiran di Balik Aturan Baru

Meski memiliki tujuan positif, penerapan aturan ini tentu saja tidak luput dari tantangan dan kekhawatiran. Bagi platform e-commerce, kebijakan ini berarti adanya beban administrasi yang lebih tinggi, mulai dari kebutuhan untuk meningkatkan sistem, mengintegrasikan data, hingga memperketat kontrol kepatuhan internal. Hal ini bisa menambah biaya operasional mereka.

Ada juga kekhawatiran dari beberapa pihak bahwa aturan ini bisa mendorong penjual untuk beralih ke jalur informal, seperti media sosial, livestream, atau transaksi langsung, demi menghindari pemotongan pajak otomatis di marketplace. Anggota DPR bahkan sempat meminta Kementerian Keuangan untuk mengkaji ulang kebijakan ini agar tidak menambah beban bagi rakyat, terutama UMKM, dan memastikan instrumen pendukungnya sudah memadai.

Namun, pemerintah berkomitmen untuk menyosialisasikan aturan ini secara transparan dan lengkap. Pengalaman di tahun 2018, ketika kebijakan serupa sempat dibatalkan karena adanya penolakan dan kurangnya sosialisasi, menjadi pelajaran berharga. Pemerintah kini berupaya melibatkan pemangku kepentingan dalam proses penyusunan aturan turunan, memastikan bahwa semua pihak memahami dan siap.

Apa yang Perlu Disiapkan Pedagang Online?

Bagi kamu para pedagang online, tidak perlu panik. Ada beberapa langkah sederhana yang bisa kamu lakukan untuk menghadapi era baru perpajakan digital ini:

  1. Pastikan data identitas seperti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) serta alamat korespondensi kamu sudah akurat dan terdaftar di platform e-commerce tempat kamu berjualan. Ini penting agar marketplace bisa melakukan pemotongan pajak dengan benar.
  2. Mulailah memisahkan rekening bisnis dan pribadi. Hal ini akan sangat membantu dalam pencatatan arus kas yang lebih terstruktur dan akurat, memudahkan kamu memantau omzet.
  3. Catat transaksi secara rutin. Bahkan dengan aplikasi akuntansi sederhana pun akan sangat membantu agar data penjualan kamu selalu siap saat dibutuhkan.
  4. Pahami dasar-dasar perpajakan, terutama perbedaan antara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Dengan pemahaman yang baik, kamu tidak akan salah dalam melaporkan kewajiban pajakmu.
  5. Optimalkan biaya operasional bisnismu. Dengan adanya potongan pajak, efisiensi menjadi kunci agar margin keuntungan tetap terjaga.
  6. Fokus pada peningkatan nilai produk atau jasa yang kamu tawarkan. Daripada hanya mengandalkan volume penjualan, meningkatkan nilai produk dapat membantu kamu menghadapi perubahan ini dengan lebih percaya diri.

Langkah Awal Menuju Ekosistem Digital yang Lebih Adil

Aturan baru pajak toko online tak langsung ini sejatinya merupakan bagian dari tren global untuk menciptakan arena bermain yang setara antara bisnis offline dan online. Ini bukan tentang memungut pajak lebih banyak, melainkan tentang keadilan dan transparansi dalam ekosistem ekonomi digital yang terus berkembang pesat.

Sebagai pelaku usaha, kamu memiliki dua pilihan: mengeluhkan kebijakan baru ini, atau memanfaatkannya sebagai momentum untuk membenahi administrasi bisnismu dan meningkatkan profesionalisme. Bisnis yang baik adalah bisnis yang berjalan sesuai aturan. Dengan persiapan yang matang dan pemahaman yang baik, kamu bisa menjadikan aturan ini sebagai jembatan menuju bisnis yang lebih kuat, teratur, dan berkelanjutan. Sudah siapkah tokomu menghadapi era baru perdagangan digital yang lebih transparan ini?

FAQ

Tanya: Apa inti dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 mengenai pajak toko online?
Jawab: PMK ini menunjuk platform marketplace untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 langsung dari pedagang online yang berjualan di platform mereka.

Tanya: Siapa saja yang akan terdampak oleh aturan baru pajak toko online ini?
Jawab: Aturan ini akan berdampak pada para pedagang online yang berjualan di platform marketplace seperti Shopee, Tokopedia, Lazada, Blibli, dan TikTok Shop.

Pelajari lebih lanjut tentang aturan baru pajak toko online di sini: aturan baru pajak toko online.

Tanya: Kapan aturan baru pajak toko online ini akan mulai berlaku secara efektif?
Jawab: Meskipun sudah diundangkan pada 14 Juli 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa implementasinya tidak akan berlaku secara serentak dan langsung dalam waktu dekat.