Angka Kematian Ibu dan Bayi Masih Tinggi: Begini Penjelasan Lengkap dan Upaya Mengatasinya

Dipublikasikan 6 Agustus 2025 oleh admin
Kesehatan

Yogyakarta, zekriansyah.com – Mendengar berita tentang angka kematian ibu dan bayi yang masih tinggi di berbagai daerah di Indonesia tentu membuat kita prihatin. Di era serba modern ini, seharusnya setiap ibu bisa melahirkan dengan selamat dan setiap bayi mendapatkan awal kehidupan yang sehat. Namun, kenyataannya, tantangan ini masih membayangi.

Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah besar. Kita akan melihat berbagai faktor penyebabnya, mulai dari masalah kesehatan hingga tantangan sosial budaya, serta apa saja upaya yang sedang dan perlu dilakukan untuk mengatasi isu penting ini. Yuk, kita pahami bersama agar bisa ikut berkontribusi dalam menciptakan masa depan yang lebih sehat bagi ibu dan anak di Indonesia.

Mengapa Angka Kematian Ibu dan Bayi Masih Tinggi di Indonesia?

Indonesia masih menghadapi tantangan serius terkait kematian ibu dan bayi. Data menunjukkan bahwa AKI dan AKB di negeri kita masih tergolong tinggi dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara. Meskipun ada penurunan dalam dekade terakhir, angka ini masih jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs) yang ingin dicapai.

Permasalahan ini bukan hanya soal satu atau dua faktor, melainkan kompleks dan multidimensional. Ada banyak hal yang saling terkait, mulai dari kondisi kesehatan ibu, kualitas layanan medis, hingga kebiasaan sosial dan budaya masyarakat.

Penyebab Utama Kematian Ibu: Bukan Sekadar Penyakit

Kematian ibu, yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi selama kehamilan, persalinan, atau dalam 42 hari setelah persalinan, seringkali disebabkan oleh komplikasi yang sebenarnya bisa dicegah. Dulu, perdarahan adalah penyebab nomor satu, diikuti hipertensi. Kini, ada pergeseran.

Berikut adalah beberapa penyebab utama kematian ibu:

  • Komplikasi Non-Obstetri: Ini adalah kumpulan penyakit yang tidak langsung berhubungan dengan kehamilan, seperti penyakit jantung, obesitas, dan diabetes melitus. Penyakit kronis yang tidak terkontrol bisa sangat berbahaya bagi ibu hamil.
  • Perdarahan (Hemorrhage): Terutama perdarahan pasca-persalinan (PPH), yang bisa terjadi akibat robekan rahim atau masalah plasenta.
  • Hipertensi dalam Kehamilan (Preeklampsia dan Eklampsia): Kondisi tekanan darah tinggi yang parah, bisa menyebabkan kejang dan mengancam jiwa jika tidak ditangani.
  • Infeksi (Sepsis): Infeksi selama atau setelah kehamilan/persalinan dapat memicu sepsis yang fatal.
  • Komplikasi Persalinan: Seperti persalinan macet (obstructed labor) karena posisi bayi tidak tepat atau ukuran bayi terlalu besar.
  • Abortus Tidak Aman: Praktik aborsi yang tidak dilakukan oleh tenaga medis profesional juga menjadi penyebab serius.

Penyebab Utama Kematian Bayi: Rentannya Kehidupan Awal

Angka kematian bayi mengukur jumlah kematian bayi di bawah satu tahun per 1.000 kelahiran hidup. Mayoritas kematian bayi terjadi pada masa neonatal, yaitu usia 0-7 hari setelah lahir, yang sangat rentan dan erat kaitannya dengan kesehatan ibu saat hamil.

Beberapa penyebab utama kematian bayi meliputi:

  • Prematuritas dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR): Bayi yang lahir sebelum waktunya atau dengan berat kurang dari 2,5 kg memiliki organ yang belum sempurna, membuat mereka lebih rentan.
  • Asfiksia Neonatal: Kondisi bayi kekurangan oksigen saat atau setelah lahir, yang bisa merusak otak dan organ vital lainnya.
  • Infeksi: Sepsis, pneumonia, meningitis, atau tetanus neonatorum adalah infeksi yang bisa fatal jika tidak ditangani cepat.
  • Kelainan Kongenital (Bawaan): Masalah jantung, sistem saraf, atau kelainan bawaan lainnya meningkatkan risiko kematian bayi.
  • Gizi Buruk pada Ibu: Ibu hamil yang mengalami Kurang Energi Kronis (KEK) atau anemia berat berisiko melahirkan bayi dengan kondisi kesehatan buruk, termasuk BBLR.
  • Gangguan Pernapasan dan Jantung: Ini menjadi penyebab terbanyak kematian bayi di beberapa daerah.

Tantangan di Balik Angka: Faktor Sosial, Budaya, dan Akses Kesehatan

Tingginya AKI dan AKB juga menunjukkan belum optimalnya pembangunan layanan kesehatan dan pemenuhan hak asasi manusia di beberapa wilayah. Ada dua faktor besar yang menjadi penyebabnya:

Keterbatasan Akses dan Infrastruktur Kesehatan

Meskipun pemerintah telah mengalokasikan dana triliunan rupiah untuk kesehatan, terutama di daerah tertinggal, implementasinya masih menghadapi kendala:

  • Lokasi Puskesmas yang Jauh: Banyak fasilitas kesehatan dibangun jauh dari pemukiman tanpa akses jalan atau transportasi umum yang memadai, menyulitkan masyarakat untuk menjangkaunya.
  • Fasilitas Dasar yang Minim: Tidak sedikit puskesmas yang belum dilengkapi air bersih, listrik, atau jaringan komunikasi.
  • Kekurangan Tenaga Medis: Banyak puskesmas, terutama di daerah terpencil, hanya dilayani oleh bidan dan perawat, tanpa kehadiran dokter atau tenaga kesehatan lain seperti ahli gizi dan farmasi, padahal peraturan mewajibkannya.
  • Ancaman Keamanan: Di daerah terisolir, ancaman keamanan membuat petugas kesehatan enggan bertugas.

Jerat Budaya dan Tradisi yang Berisiko

Faktor sosial dan budaya juga sangat memengaruhi perilaku kesehatan ibu dan anak, terutama di masyarakat adat seperti di Papua. Ketimpangan gender, di mana perempuan kurang memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan kesehatan, turut memperparah kondisi.

Beberapa persoalan lain termasuk:

  • Pernikahan Dini: Kehamilan pada usia 10-16 tahun sangat berisiko bagi ibu dan bayi karena ketidaksiapan fisik dan mental.
  • Kehamilan Dianggap Alami: Banyak ibu hamil yang masih melakukan pekerjaan berat hingga usia kehamilan tua, percaya bahwa ini mempermudah persalinan. Mereka juga sering melewatkan pemeriksaan kehamilan rutin karena sibuk bekerja.
  • Persalinan di Luar Fasilitas Kesehatan: Tradisi mengisolasi ibu bersalin di “pondok pengasingan” karena dianggap “kotor”, atau kepercayaan pada dukun dan pantangan menunjukkan area intim kepada orang asing, membuat mereka enggan mencari bantuan tenaga medis.
  • Fatalisme: Keyakinan bahwa semua hal adalah kehendak Tuhan, tanpa usaha maksimal, membuat sebagian masyarakat pasrah ketika terjadi kematian.
  • Praktik Setelah Melahirkan: Bayi tidak boleh keluar rumah sebelum usia dua bulan (dianggap “bau amis”), serta pemberian makanan padat terlalu dini (pisang, bubur nasi) dan pantangan makan bagi ibu menyusui, semuanya dapat mengganggu tumbuh kembang bayi.

Kisah dari Daerah: Variasi Tantangan di Lapangan

Angka kematian ibu dan bayi tinggi ini adalah isu nasional, namun manifestasinya berbeda di setiap daerah.

  • Tarakan: Meskipun kasus kematian ibu menurun dari 6 (2023) menjadi 4 (2024), angka kematian bayi justru meningkat dari 29 (2023) menjadi 31 (2024). Penyebab utama kematian bayi adalah Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR).
  • Papua: Angka kematian di tanah Papua jauh melampaui rata-rata nasional. AKI mencapai 565 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 35 per 1.000 kelahiran hidup, menunjukkan tantangan akses dan budaya yang sangat kompleks.
  • Demak: Kabupaten Demak berhasil menurunkan AKI (dari 12 kasus di 2023 menjadi 8 di 2024), namun AKB meningkat (dari 92 di 2023 menjadi 123 di 2024). Mayoritas kematian bayi terjadi pada masa neonatal, dengan penyebab utama asfiksia dan BBLR, seringkali karena ibu hamil memiliki risiko tinggi (penyakit kronis, kekurangan gizi).
  • Jombang: Mencatat 176 kasus kematian ibu dan bayi sepanjang 2024 (21 AKI dan 155 AKB). Penyebab utama kematian bayi adalah gangguan pernapasan dan kelainan jantung. AKI dan AKB banyak terjadi pada ibu muda (20-35 tahun) dan kehamilan pertama.
  • Cilacap: AKI dan AKB masih cukup tinggi, dengan penyebab utama hipertensi, perdarahan, BBLR, dan asfiksia. Menariknya, terjadi pergeseran wilayah kasus dari daerah terpencil ke perkotaan.
  • Gorontalo: Menunjukkan tren penurunan AKI dan AKB. Penyebab terbanyak kematian ibu adalah eklampsia dan perdarahan, sementara kematian bayi karena BBLR dan asfiksia.

Langkah Konkret untuk Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi

Melihat kompleksitas masalah ini, diperlukan pendekatan yang menyeluruh dan berkesinambungan, yang dikenal sebagai continuum of care.

Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan

  • Skrining dan Deteksi Dini: Penting untuk melakukan skrining layak hamil sejak remaja putri, termasuk pemberian tablet tambah darah untuk mencegah anemia. Skrining dan deteksi dini kelainan pada janin seawal mungkin juga sangat bermanfaat.
  • Pemeriksaan Kehamilan Rutin (ANC): Ibu hamil disarankan untuk memeriksakan kehamilan minimal 6 kali selama hamil, terutama jika memiliki risiko tinggi. Ini membantu mendeteksi komplikasi seperti preeklampsia atau anemia sejak dini.
  • Perbaikan Fasilitas dan Tenaga Medis: Pemerintah harus terus membangun dan melengkapi puskesmas, serta memastikan ketersediaan dokter, bidan, dan tenaga kesehatan lain yang memadai.
  • Sistem Rujukan yang Efektif: Membangun sistem rujukan yang cepat dan efisien untuk kasus darurat, terutama dari puskesmas ke rumah sakit.
  • Pelayanan Berbasis “Personal Medicine”: Setiap ibu hamil ditangani secara unik sesuai kondisinya, bukan dengan pendekatan seragam.

Edukasi dan Pemberdayaan Masyarakat

  • Pola Hidup Sehat: Edukasi tentang pentingnya asupan gizi yang cukup, menghindari kebiasaan merokok, minum kopi, dan begadang bagi calon ibu.
  • Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan ASI Eksklusif: Sosialisasi manfaat ASI eksklusif hingga bayi berusia 6 bulan, serta mencegah pemberian makanan padat terlalu dini.
  • Keluarga Berencana (KB): Mendorong kehamilan pada usia ideal (20-35 tahun), mengatur jarak kelahiran lebih dari 2 tahun, dan menunda pernikahan dini.
  • Melibatkan Tokoh Masyarakat: Tokoh formal, adat, maupun agama perlu dilibatkan untuk mendukung upaya kesehatan dan membantu mengintegrasikan praktik budaya dengan medis yang aman.

Kolaborasi Lintas Sektor

Menurunkan angka kematian ibu dan bayi tinggi membutuhkan sinergi dari berbagai pihak:

  • Pemerintah Pusat dan Daerah: Menyusun kebijakan, membangun infrastruktur, dan menyalurkan tenaga medis.
  • Akademisi dan LSM: Melakukan penelitian, memberikan edukasi, dan advokasi (seperti PKBI yang fokus pada KB dan kesehatan reproduksi).
  • Organisasi Profesi: Meningkatkan kualitas bidan dan dokter.
  • Program Audit Maternal Perinatal (AMP-SR): Melakukan pengkajian mendalam terhadap setiap kasus kematian ibu dan bayi untuk mendapatkan rekomendasi perbaikan sistem.

Kesimpulan

Angka kematian ibu dan bayi yang masih tinggi di Indonesia adalah masalah serius yang memerlukan perhatian dan tindakan bersama. Penyebabnya beragam, mulai dari komplikasi medis, keterbatasan akses fasilitas kesehatan, hingga pengaruh kuat faktor sosial dan budaya.

Namun, dengan upaya yang berkelanjutan dan terintegrasi—mulai dari peningkatan kualitas layanan kesehatan, edukasi dan pemberdayaan masyarakat, hingga kolaborasi lintas sektor—kita bisa optimis. Setiap kehamilan adalah berisiko, dan setiap nyawa ibu dan bayi sangat berharga. Mari bersama-sama berjuang untuk memastikan bahwa setiap ibu dapat melahirkan dengan selamat, dan setiap bayi mendapatkan awal kehidupan yang sehat, demi masa depan Indonesia yang lebih cerah.

FAQ

Tanya: Apa saja faktor utama penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi di Indonesia?
Jawab: Faktor penyebabnya kompleks, meliputi kondisi kesehatan ibu, kualitas layanan medis, serta tantangan sosial budaya masyarakat.

Tanya: Mengapa angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih tinggi meskipun sudah ada kemajuan?
Jawab: Meskipun ada penurunan, angka ini masih jauh dari target global karena berbagai faktor yang saling terkait belum sepenuhnya teratasi.

Tanya: Apa yang dimaksud dengan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)?
Jawab: AKI adalah jumlah kematian ibu saat kehamilan, persalinan, atau dalam 42 hari setelah persalinan per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan AKB adalah jumlah kematian bayi dalam 28 hari pertama kehidupan per 1.000 kelahiran hidup.