Yogyakarta, zekriansyah.com – Di era serba digital ini, Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) sedang naik daun. Banyak perusahaan berbondong-bondong mengadopsi AI, seperti ChatGPT atau Google Gemini, dengan harapan bisa menghemat waktu dan biaya operasional. Konon, AI bisa membantu menulis konten, membuat kode, atau bahkan merancang strategi pemasaran dalam sekejap.
Ilustrasi: Profesional terampil memecahkan masalah kompleks teknologi yang muncul, membuka jalan rezeki baru.
Namun, di balik gembar-gembor efisiensinya, AI juga tak jarang menciptakan masalah baru. Konten yang hambar, kode yang eror, atau informasi yang tidak akurat adalah beberapa contohnya. Nah, uniknya, justru dari masalah-masalah inilah muncul sebuah fenomena menarik: para profesional yang dibayar mahal untuk memperbaiki “kekacauan” yang disebabkan oleh AI. Ingin tahu lebih lanjut bagaimana ini bisa terjadi dan apa saja peluangnya? Mari kita telusuri bersama!
AI: Solusi Kilat yang Sering Berujung Masalah Tak Terduga
Banyak perusahaan, terutama usaha kecil menengah (UKM), melihat AI sebagai jalan pintas untuk mempercepat pekerjaan dan mengurangi pengeluaran. Riset dari Federation of Small Businesses menunjukkan lebih dari sepertiga (35%) UKM berencana memperluas penggunaan AI dalam dua tahun ke depan. Angka ini melonjak jadi 60% bagi mereka yang mengejar pertumbuhan penjualan cepat.
Namun, semangat yang terburu-buru ini seringkali menghasilkan bumerang. Konten yang dihasilkan AI, misalnya, terkadang jauh dari ekspektasi. Sarah Skidd, seorang manajer pemasaran produk yang sering menulis untuk perusahaan teknologi, merasakan betul hal ini.
“Itu adalah jenis tulisan yang biasa Anda lihat di hasil AI – sangat dasar; tidak menarik,” kata Sarah Skidd. “Seharusnya tulisan itu bisa menjual dan memikat, tapi malah sangat hambar.”
Sarah pernah diminta oleh sebuah agensi konten untuk segera menulis ulang salinan situs web yang dibuat AI untuk klien perhotelan. Apa yang seharusnya menghemat uang, justru menimbulkan banyak masalah. Alih-alih hanya melakukan perubahan kecil, ia “harus mengerjakan ulang semuanya.” Untuk pekerjaan 20 jam ini, Sarah dibayar $100 (sekitar Rp1,6 juta) per jam. Itu berarti sekitar $2.000 (sekitar Rp32 juta) hanya untuk memperbaiki kesalahan AI!
Masalah tak hanya di konten. Sophie Warner, pemilik bersama agensi pemasaran digital Create Designs di Inggris, juga mengalami lonjakan permintaan bantuan dari klien yang mencoba “solusi cepat” dari AI.
“Sebelumnya klien akan menghubungi kami jika mereka punya masalah dengan situs atau ingin menambah fungsionalitas baru,” ujar Sophie. “Sekarang mereka langsung ke ChatGPT dulu.”
Akibatnya fatal. Kliennya seringkali menambahkan kode yang disarankan ChatGPT ke situs web mereka, yang kemudian menyebabkan situs crash dan rentan terhadap peretasan. Salah satu kliennya, yang seharusnya hanya perlu 15 menit untuk memperbarui halaman acara secara manual, justru menggunakan ChatGPT untuk instruksi yang lebih mudah. Kesalahan itu akhirnya “merugikan mereka sekitar £360 (sekitar Rp7,4 juta) dan bisnis mereka lumpuh selama tiga hari.”
Mengapa AI Bisa “Bikin Kacau”?
Meskipun AI seperti ChatGPT dan Google Gemini sangat canggih, ada beberapa alasan mengapa hasil kerjanya bisa menimbulkan masalah:
-
“Halusinasi” AI: Profesor Feng Li, wakil dekan riset dan inovasi di Bayes Business School, menjelaskan bahwa AI dikenal bisa “berhalusinasi.” Ini berarti AI bisa menghasilkan konten yang tidak relevan, dibuat-buat, atau tidak konsisten.
“Pengawasan manusia sangat penting,” tegasnya. “Kami telah melihat perusahaan menghasilkan konten situs web berkualitas rendah atau menerapkan kode yang salah yang merusak sistem penting.”
Penerapan AI yang buruk bisa berujung pada kerusakan reputasi, biaya tak terduga, dan bahkan tanggung jawab hukum, yang seringkali mengharuskan pengerjaan ulang oleh para profesional. -
Kurangnya Nuansa dan Konteks Manusia: Kashish Barot, seorang copywriter di India, sering mengedit konten AI untuk kliennya di AS agar terdengar lebih manusiawi dan menghilangkan pola kalimat yang khas AI. Menurutnya, klien terbiasa dengan kecepatan AI dan ini menciptakan ekspektasi yang tidak realistis.
“AI benar-benar membuat semua orang berpikir itu pekerjaan beberapa menit,” kata Kashish. “Padahal copyediting yang baik, seperti menulis, membutuhkan waktu karena Anda perlu berpikir dan tidak sekadar mengkurasi seperti AI, yang juga tidak memahami nuansa dengan baik karena hanya mengkurasi data.”
-
Penerapan yang Terburu-buru: Hype seputar AI mendorong banyak perusahaan untuk bereksperimen tanpa tujuan yang jelas, infrastruktur yang memadai, atau pemahaman realistis tentang apa yang bisa diberikan teknologi ini. Prof Li menekankan pentingnya menilai apakah perusahaan memiliki infrastruktur data yang tepat, proses tata kelola, dan kemampuan internal untuk mendukung penggunaan AI. Bergantung pada alat off-the-shelf tanpa memahami batasannya bisa berujung pada hasil yang buruk.
Peluang Baru: Jadi “Dokter” AI yang Dibayar Mahal
Dari kasus-kasus di atas, jelas terlihat bahwa meskipun AI menawarkan efisiensi, keahlian manusia tetap tak tergantikan dalam memastikan kualitas, akurasi, dan nuansa. Inilah yang kemudian membuka peluang baru bagi para profesional:
-
Pakar Perbaikan Konten AI: Seperti Sarah Skidd, para penulis dan copywriter kini bisa menawarkan jasa untuk “memanusiakan” konten yang dihasilkan AI. Permintaan ini bahkan bisa menjadi 90% dari pekerjaan mereka. Kualitas konten AI yang “hambar” atau “vanilla” justru menjadi ladang cuan bagi mereka yang ahli dalam merangkai kata-kata yang menarik dan persuasif.
-
Spesialis Debugging Kode AI: Agensi seperti Create Designs kini berperan sebagai “dokter” yang memperbaiki kode-kode bermasalah hasil AI. Mereka tidak hanya memperbaiki, tetapi juga mengedukasi klien tentang konsekuensi penggunaan AI tanpa pengawasan. Sophie Warner bahkan menyebutkan mereka sering mengenakan “biaya investigasi” untuk mencari tahu apa yang salah, karena klien kadang enggan mengakui bahwa mereka menggunakan AI. Proses perbaikan ini pun jauh lebih lama daripada jika para profesional dilibatkan sejak awal.
-
Konsultan Penerapan AI yang Benar: Dengan semakin banyaknya perusahaan yang ingin mengadopsi AI, kebutuhan akan konsultan yang bisa memandu mereka dalam penerapan yang tepat, dengan tujuan yang jelas dan pemahaman akan batasan AI, akan semakin tinggi. Ini termasuk membantu perusahaan membangun infrastruktur yang sesuai dan proses tata kelola yang efektif.
Sophie Warner mengakui bahwa, meski AI terlihat cepat dan murah, ia jarang mempertimbangkan identitas merek yang unik, target demografi, atau desain yang berfokus pada konversi. Hasilnya sering terlihat generik dan justru bisa merusak reputasi merek.
“Meskipun AI bisa menjadi alat yang sangat membantu, itu tidak bisa menggantikan nilai keahlian dan konteks manusia dalam industri kami,” tambahnya.
Kesimpulan:
Kecerdasan Buatan memang merupakan inovasi yang revolusioner dan terus berkembang. Namun, seperti teknologi lainnya, AI tidak lepas dari kekurangan dan potensi masalah. Fenomena “dibayar untuk memperbaiki masalah akibat AI” ini menunjukkan bahwa ada celah besar antara potensi AI yang digembar-gemborkan dan realitas implementasinya di lapangan.
Bagi para profesional di bidang penulisan, pemasaran digital, pengembangan web, dan bahkan konsultan bisnis, ini adalah peluang emas. Keahlian manusia dalam memberikan sentuhan personal, pemahaman nuansa, analisis kritis, dan pengawasan yang cermat tetap menjadi aset tak ternilai. Daripada takut tergantikan, para profesional kini bisa melihat AI sebagai alat yang, jika digunakan secara tidak tepat, justru menciptakan peluang baru untuk keahlian dan pendapatan mereka. Ini adalah bukti bahwa di tengah laju teknologi, sentuhan dan kecerdasan manusia tetaplah yang paling berharga.
FAQ
Tanya: Mengapa AI bisa menimbulkan masalah meskipun tujuannya efisiensi?
Jawab: AI seringkali menghasilkan konten yang hambar, kode eror, atau informasi tidak akurat karena keterbatasannya dalam memahami nuansa, konteks, dan kebenaran faktual. Penggunaan yang terburu-buru tanpa pengawasan memicu masalah ini.
Tanya: Siapa saja profesional yang dibutuhkan untuk memperbaiki “kekacauan” AI?
Jawab: Profesional yang dibutuhkan meliputi editor konten, proofreader, quality assurance (QA) tester, data scientist, dan spesialis AI yang mampu mengoptimalkan serta memverifikasi output AI. Mereka memastikan akurasi dan kualitas.
Tanya: Peluang bisnis apa yang muncul dari masalah yang disebabkan AI?
Jawab: Muncul peluang bisnis dalam layanan konsultasi AI, audit konten AI, perbaikan kode yang dihasilkan AI, serta pelatihan dan pengembangan keterampilan untuk mengelola dan mengoptimalkan penggunaan AI. Ini membuka pasar baru bagi para ahli.