Yogyakarta, zekriansyah.com – Akhir-akhir ini, dunia investasi dan teknologi lagi ramai banget ngomongin satu hal: gelembung ekonomi di sektor kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Banyak ahli yang mulai membandingkan situasi ini dengan peristiwa kelam Dotcom Bubble di awal tahun 2000-an. Bahkan, ada yang bilang kalau ’bubble AI disebut bakal lebih parah bubble Dotcom’! Wah, kok bisa begitu? Apa sih sebenarnya gelembung ekonomi itu, dan seberapa besar ancaman yang mungkin kita hadapi kali ini? Yuk, kita bedah tuntas supaya Anda bisa lebih bijak dalam melihat tren investasi dan teknologi.
Para ahli memperingatkan potensi gelembung ekonomi AI yang bisa lebih parah dari krisis dotcom, mengajak investor dan publik untuk lebih waspada terhadap tren investasi teknologi saat ini.
Apa Itu “Gelembung Ekonomi” dan Mengapa Kita Perlu Tahu?
Mendengar kata ‘gelembung’, mungkin yang terbayang adalah gelembung sabun yang indah tapi mudah pecah, kan? Nah, dalam dunia ekonomi dan investasi, konsepnya mirip. Gelembung ekonomi (atau economic bubble) adalah kondisi di mana harga suatu aset, seperti saham atau properti, naik drastis melampaui nilai fundamental atau nilai wajarnya. Ini seringkali didorong oleh ekspektasi yang terlalu tinggi dan spekulasi investor yang berlebihan.
Lalu, apa yang terjadi saat gelembung ini ‘pecah’ atau bubble burst? Harganya akan anjlok secara tiba-tiba dan drastis. Dampaknya? Bisa menyebabkan kerugian finansial yang sangat besar, bahkan memicu resesi atau depresi ekonomi.
Sejarah Singkat “Bubble”: Dari Sabun Hingga Saham
Istilah ‘gelembung’ ini sendiri pertama kali populer saat terjadi krisis finansial di perusahaan South Sea pada tahun 1711-1720, yang dikenal sebagai ‘South Sea Bubble’. Sejak itu, sejarah mencatat berbagai fenomena gelembung lainnya, seperti ‘Tulip Mania’ di Belanda abad ke-17, ‘Roaring Twenties’ yang berujung pada The Great Depression di AS, hingga ‘Housing Bubble’ di tahun 2008. Setiap kali gelembung pecah, selalu ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil.
Mengingat Kembali “Dotcom Bubble”: Kisah Gelembung Internet yang Pecah
Salah satu fenomena gelembung ekonomi paling fenomenal dan merusak di era modern adalah Dotcom Bubble, juga dikenal sebagai Internet Bubble. Peristiwa ini terjadi di akhir tahun 1990-an hingga awal 2000-an.
Bagaimana “Dotcom Bubble” Terbentuk?
Pada akhir 1990-an, dunia dilanda euforia internet. Teknologi baru ini dianggap sebagai ‘emas’ masa depan, menjanjikan keuntungan besar. Banyak perusahaan rintisan berbasis internet, yang sering disebut ‘.com’, bermunculan bagai jamur di musim hujan. Investor pun berlomba-lomba menanamkan modal, bahkan pada perusahaan yang belum jelas profitnya. Mereka hanya melihat potensi pertumbuhan pengguna, bukan fundamental bisnis yang kuat.
Indeks Nasdaq, yang sebagian besar dihuni saham teknologi, meroket dari kurang dari 1.000 poin pada 1995 menjadi lebih dari 5.000 poin pada Maret 2000. Banyak startup melakukan Initial Public Offering (IPO) dengan valuasi fantastis, padahal sebagian besar masih ‘bakar uang’ untuk promosi besar-besaran, bahkan sampai 90% anggarannya dihabiskan untuk iklan!
Ketika Gelembung Internet Meletus: Dampak dan Pelajaran
Namun, kegembiraan ini tidak bertahan lama. Para investor mulai menyadari bahwa banyak perusahaan ‘.com’ tidak mampu menghasilkan keuntungan nyata. Gelembung pun pecah. Pada akhir 2001, mayoritas perusahaan dotcom gulung tikar. Indeks Nasdaq anjlok hingga 75% pada Oktober 2002, dan butuh 15 tahun untuk kembali ke puncaknya!
Contoh perusahaan yang kolaps antara lain Pets.com, Webvan, dan Boo.com. Jutaan pekerjaan hilang, dan diperkirakan investor kehilangan hingga USD5 triliun. Meski begitu, ada juga raksasa yang berhasil bertahan dan kini menjadi dominan, seperti Amazon dan eBay. Pelajaran utamanya: ekspektasi berlebihan tanpa fundamental yang kuat adalah resep menuju kehancuran.
“Bubble AI”: Benarkah Lebih Parah dari Dotcom?
Kini, sorotan beralih ke sektor AI. Pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah gelembung AI ini akan menjadi lebih parah dari Dotcom Bubble yang pernah terjadi?
Investasi Mengalir Deras, Tapi Profit Belum Jelas
Investasi ke teknologi AI mengalir deras, menciptakan euforia serupa Dotcom Bubble. Perusahaan-perusahaan raksasa seperti Nvidia, Microsoft, Apple, Amazon, Meta, Google, dan Tesla menjadi tulang punggung pertumbuhan pasar, didorong oleh harapan besar pada AI.
Namun, kekhawatiran muncul karena pertumbuhan ini lebih banyak ditopang oleh harapan terhadap AI, bukan karena keuntungan yang sudah terbukti. Ekonom dari Apollo Global Management, Torsten Slok, bahkan menyebut valuasi perusahaan seperti Nvidia dan Microsoft saat ini sudah terlalu tinggi, melampaui valuasi perusahaan internet menjelang krisis tahun 2000.
Valuasi Raksasa Teknologi yang “Terlalu Tinggi”
CEO Baidu, Robin Li, juga memperingatkan bahwa jika gelembung AI ini pecah, hanya sekitar satu persen perusahaan AI yang akan bertahan. Ia melihat pasar AI terlalu ramai oleh pemain yang belum punya arah jelas. Meskipun demikian, para raksasa teknologi terus ‘gas pol’: Meta menganggarkan lebih dari USD60 miliar untuk pusat data AI, OpenAI mengembangkan browser pintar, dan Amazon gencar dengan agentic AI.
Angka-angka investasi ini sangat fantastis, bahkan Microsoft memangkas sembilan ribu karyawan demi menekan biaya proyek AI yang ditaksir mencapai USD80 miliar. Ini menunjukkan betapa besarnya bet yang diletakkan pada teknologi ini.
PHK Startup: Sinyal Awal atau Proses Normal?
Gelombang PHK yang menghantam banyak startup belakangan ini juga sering dikaitkan dengan potensi pecahnya gelembung. Platform layoffs.fyi mencatat lebih dari 132.000 pekerja startup di berbagai negara mengalami PHK sejak Maret 2020. Meskipun pandemi Covid-19 menjadi salah satu pemicu efisiensi, banyak yang bertanya-tanya, apakah ini sinyal awal bubble burst seperti Dotcom dulu?
Namun, sebagian ahli berpendapat bahwa PHK ini bisa jadi bagian dari proses penyehatan perusahaan, di mana startup mulai fokus pada bisnis inti dan profitabilitas, bukan hanya pertumbuhan pengguna semata. Contohnya Gojek yang menutup layanan non-inti seperti GoMassage dan GoClean untuk lebih fokus pada bisnis utamanya.
Tanda-tanda Gelembung Akan Pecah: Apa yang Perlu Diwaspadai Investor?
Fenomena gelembung ekonomi biasanya melewati beberapa tahap sebelum akhirnya pecah. Mengenali tanda-tandanya bisa membantu kita lebih waspada:
- Likuiditas Berlebihan: Ketika ada terlalu banyak uang di pasar dan pinjaman mudah didapat, ini bisa memicu spekulasi jangka pendek. Harga aset jadi melambung tinggi tanpa dukungan nilai intrinsik yang kuat.
- Spekulasi Liar & “Herd Behavior”: Banyak investor yang membeli aset hanya karena berharap harganya akan terus naik, bukan karena analisis fundamental. Ditambah lagi, ada fenomena herd behavior atau ‘mengikuti keramaian’, di mana orang ikut-ikutan berinvestasi tanpa riset mendalam, hanya karena melihat orang lain sukses.
- Kegembiraan Irasional (Euphoria): Ini adalah puncaknya, ketika pasar terlalu optimis dan investor cenderung kurang hati-hati. Mereka rela membeli aset dengan harga sangat tinggi, bahkan tanpa kepastian profit di masa depan. Investor yang cerdas biasanya akan mulai profit-taking atau menarik keuntungan pada tahap ini, karena menyadari gelembung akan segera pecah.
Kesimpulan
Kekhawatiran akan ’bubble AI yang lebih parah dari Dotcom Bubble’ memang bukan isapan jempol belaka. Ada banyak kemiripan antara euforia internet di masa lalu dan ‘demam’ AI saat ini, terutama dari segi valuasi yang melonjak dan investasi spekulatif.
Namun, kondisi pasar saat ini juga berbeda, dengan kebutuhan nyata akan solusi digital. Penting bagi kita, sebagai investor maupun masyarakat umum, untuk tetap bijak dan realistis. Fokus pada fundamental perusahaan, jangan mudah tergiur spekulasi, dan selalu lakukan riset mendalam. Hanya waktu yang akan membuktikan apakah AI akan menjadi inovasi transformatif jangka panjang atau justru mengulang sejarah kelam gelembung yang pecah.
FAQ
Tanya: Apa yang dimaksud dengan “gelembung ekonomi AI” yang disebut-sebut lebih parah dari krisis Dotcom?
Jawab: Gelembung ekonomi AI merujuk pada kenaikan harga aset terkait AI yang sangat cepat dan spekulatif, melebihi nilai fundamentalnya, yang dikhawatirkan akan pecah dan menyebabkan kerugian besar.
Tanya: Mengapa para ahli membandingkan gelembung AI dengan Dotcom Bubble?
Jawab: Perbandingan ini muncul karena keduanya sama-sama melibatkan lonjakan investasi besar-besaran pada teknologi baru yang sangat populer, namun dengan potensi spekulasi yang berlebihan.
Tanya: Apa dampak potensial jika gelembung ekonomi AI benar-benar pecah?
Jawab: Pecahnya gelembung AI dapat menyebabkan kerugian finansial signifikan bagi investor dan berpotensi memicu ketidakstabilan ekonomi yang lebih luas.
Tanya: Bagaimana cara investor membedakan antara potensi pertumbuhan AI yang sah dan spekulasi gelembung?
Jawab: Investor perlu meneliti nilai fundamental perusahaan AI, bukan hanya euforia pasar, serta berhati-hati terhadap janji keuntungan yang terlalu tinggi dan tidak realistis.